Tampilkan postingan dengan label KARIER DAN PENGHASILAN DOSEN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label KARIER DAN PENGHASILAN DOSEN. Tampilkan semua postingan

Pengusulan Formasi Dosen ASN

Dalam konteks pengusulan formasi dan kebutuhan jabatan akademik bagi dosen, terdapat beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan, terutama dalam kaitannya dengan status kepegawaian dan regulasi yang berlaku.

1. Pengusulan Formasi Dosen ASN

Bagi dosen yang berstatus ASN, proses pengusulan formasi dilakukan sesuai dengan peraturan tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal ini berarti bahwa usulan formasi dosen ASN harus mengikuti mekanisme yang ditetapkan dalam peraturan tentang penerimaan ASN, baik dalam bentuk PNS maupun PPPK. Proses ini biasanya dilakukan secara berkala dan tidak dapat diajukan sewaktu-waktu, karena harus melalui perencanaan yang matang dan disesuaikan dengan kebutuhan perguruan tinggi serta anggaran pemerintah.

Pengusulan formasi ASN dilakukan melalui mekanisme perencanaan kebutuhan pegawai yang diatur oleh instansi pemerintah, termasuk Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Pengajuan ini harus memperhatikan kebijakan nasional terkait dengan jumlah ASN yang dapat direkrut dalam suatu periode tertentu.

2. Tidak Ada Formasi Dosen Selain ASN

Dalam Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024 disebutkan bahwa tidak ada formasi bagi dosen selain ASN. Hal ini berarti bahwa perguruan tinggi yang ingin merekrut dosen di luar ASN harus menggunakan mekanisme lain, seperti pengangkatan langsung oleh perguruan tinggi, khususnya untuk PTN Berbadan Hukum (PTN-BH) yang memiliki kewenangan sendiri dalam mengelola pegawainya.

PTN-BH memiliki keleluasaan dalam mengangkat dan mengelola dosen serta tenaga kependidikannya, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Dengan demikian, PTN-BH dapat menentukan kebutuhan jabatan akademik secara mandiri tanpa harus mengikuti mekanisme formasi ASN, tetapi tetap harus memperhitungkan anggaran dan kebijakan internal perguruan tinggi.

3. Tunjangan Kehormatan bagi Profesor

Salah satu poin penting dalam Permendikbudristek 44/2024 adalah pengaturan tentang jumlah dosen dengan jabatan akademik profesor yang menerima tunjangan kehormatan dari Kementerian. Jumlah ini ditetapkan oleh Kementerian berdasarkan kinerja perguruan tinggi. Jika suatu perguruan tinggi memiliki jumlah profesor lebih banyak dari yang ditetapkan oleh Kementerian, maka tunjangan kehormatan untuk jumlah yang melebihi batas tersebut menjadi tanggung jawab perguruan tinggi yang bersangkutan​

.

Pengaturan ini bertujuan untuk memastikan bahwa tunjangan yang diberikan oleh pemerintah tetap sesuai dengan kemampuan anggaran negara, serta mendorong perguruan tinggi untuk meningkatkan kinerja akademiknya agar dapat mengusulkan lebih banyak profesor yang layak menerima tunjangan kehormatan.

4. Implikasi bagi Perguruan Tinggi

Dengan adanya regulasi ini, perguruan tinggi perlu merencanakan kebutuhan dosen dan jabatan akademiknya dengan lebih cermat. Beberapa implikasi yang perlu diperhatikan antara lain:

  • Bagi PTN-BH: Dapat mengangkat dosen secara mandiri, tetapi harus mempertimbangkan sumber pendanaan, terutama untuk pembayaran tunjangan bagi profesor yang tidak masuk dalam kuota yang ditetapkan oleh Kementerian.
  • Bagi PTN non-BH: Harus mengikuti kebijakan pengusulan formasi ASN dan tidak dapat mengangkat dosen di luar mekanisme yang ditetapkan pemerintah.
  • Bagi Dosen ASN: Harus mengikuti proses seleksi yang telah diatur dalam kebijakan kepegawaian ASN.

5. Harmonisasi Regulasi

Saat ini, pemerintah sedang dalam proses harmonisasi peraturan mengenai penyelenggaraan pendidikan tinggi untuk menyesuaikan antara UU ASN (UU 20/2023) dan UU Pendidikan Tinggi (UU 12/2012). Salah satu poin yang sedang dibahas adalah bagaimana status kepegawaian dosen dan tenaga kependidikan pada PTN-BH akan diatur ke depan.

Berdasarkan rancangan peraturan yang sedang disusun, diusulkan bahwa:

  1. Dosen ASN yang sudah bekerja pada PTN-BH tetap berstatus ASN hingga diberhentikan sesuai peraturan tentang ASN.
  2. Dosen dan tenaga kependidikan yang diangkat ke depan pada PTN-BH akan berstatus sebagai pegawai PTN-BH, bukan ASN.

Ketentuan ini bertujuan untuk memberikan fleksibilitas kepada PTN-BH dalam merekrut dan mengelola tenaga akademiknya sesuai dengan kebutuhan dan visi institusi masing-masing​

.

Kesimpulan

  • Pengusulan formasi dosen ASN tidak bisa dilakukan sewaktu-waktu, melainkan harus melalui mekanisme pengusulan formasi yang ditetapkan oleh pemerintah.
  • Tidak ada formasi bagi dosen selain ASN, sehingga perguruan tinggi yang ingin merekrut dosen di luar ASN harus menggunakan mekanisme pengangkatan sendiri, khususnya bagi PTN-BH.
  • Jumlah profesor yang menerima tunjangan kehormatan ditetapkan berdasarkan kinerja perguruan tinggi. Jika jumlahnya melebihi kuota yang ditetapkan, maka tanggung jawab tunjangan berada pada perguruan tinggi.
  • Pemerintah sedang menyelaraskan regulasi antara UU ASN dan UU Pendidikan Tinggi untuk menentukan status kepegawaian dosen PTN-BH ke depan.

Regulasi ini menunjukkan bahwa pemerintah ingin memperkuat otonomi perguruan tinggi dalam mengelola sumber daya akademiknya, sekaligus memastikan bahwa kebijakan terkait pengangkatan dosen tetap sesuai dengan prinsip tata kelola ASN yang baik.

Status Pegawai Non-ASN di PTN Badan Hukum Pasca UU 20/2023

Status Pegawai Non-ASN di PTN Badan Hukum Pasca UU 20/2023

1. Penghapusan Pegawai Non-ASN per Desember 2024
Pasal 65 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menegaskan bahwa mulai Desember 2024, instansi pemerintah tidak lagi dapat merekrut pegawai non-ASN. Instansi pemerintah hanya boleh merekrut Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) 【14】.

2. Dilema PTN Badan Hukum dalam Rekrutmen Pegawai
Sebagai entitas yang lebih otonom dalam mengelola sumber daya manusia, PTN Badan Hukum (PTN-BH) selama ini memiliki kewenangan untuk merekrut dan mengelola pegawainya sendiri. Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi serta diperjelas dalam Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024 yang mengatur bahwa PTN-BH bertanggung jawab atas pengelolaan dosen dan tenaga kependidikan yang mereka rekrut sendiri.

Namun, kebijakan dalam UU ASN yang menghapus pegawai non-ASN dari instansi pemerintah menimbulkan tantangan bagi PTN-BH, terutama karena banyak tenaga pendidik dan tenaga kependidikan mereka selama ini berstatus pegawai non-ASN.

3. Solusi Melalui Harmonisasi Regulasi
Saat ini, pemerintah sedang menyusun rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang penyelenggaraan pendidikan tinggi yang bertujuan untuk menyelaraskan UU 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi dengan UU 20/2023 tentang ASN. RPP ini nantinya akan menegaskan bahwa:
a) Pegawai ASN yang sudah bekerja di PTN-BH tetap berstatus ASN hingga diberhentikan sesuai ketentuan ASN.
b) Ke depan, pengangkatan dosen dan tenaga kependidikan di PTN-BH akan berstatus sebagai pegawai PTN-BH, bukan ASN 【15】.

4. Implikasi bagi PTN-BH dan Pegawai Non-ASN
Dengan adanya perubahan ini, PTN-BH akan tetap memiliki wewenang untuk merekrut pegawainya sendiri, tetapi dengan status kepegawaian yang berbeda. Pegawai yang direkrut setelah 2024 tidak akan lagi memiliki status ASN (PNS atau PPPK), melainkan menjadi pegawai tetap atau kontrak di bawah PTN-BH.

Dampak dari kebijakan ini dapat mencakup:

  • Kepastian hukum bagi pegawai yang sebelumnya berstatus non-ASN di PTN-BH, karena mereka akan tetap bekerja tetapi dengan skema baru.
  • Perubahan skema pendanaan di mana gaji dan tunjangan pegawai PTN-BH tidak lagi bergantung pada APBN/APBD, melainkan pada kebijakan internal PTN-BH.
  • Kebutuhan regulasi lebih lanjut terkait hak dan kewajiban pegawai PTN-BH agar setara dengan ASN dalam hal kesejahteraan dan perlindungan kerja.

Dengan adanya harmonisasi regulasi, diharapkan PTN-BH tetap dapat merekrut tenaga pendidik dan kependidikan sesuai kebutuhannya tanpa terhambat oleh aturan penghapusan pegawai non-ASN.

Kenapa Jabatan Fungsional Dokter Pendidik Klinis Digolongkan sebagai Dosen Tidak Tetap?

Jabatan Fungsional (JF) Dokter Pendidik Klinis merupakan kategori jabatan yang berbeda dari JF Dosen. Meskipun seorang Dokter Pendidik Klinis memiliki peran dalam pendidikan kedokteran, terdapat alasan mengapa mereka dikategorikan sebagai dosen tidak tetap, bukan dosen tetap. Artikel ini akan membahas secara mendalam alasan-alasan tersebut berdasarkan regulasi yang berlaku.

1. Seorang ASN Tidak Bisa Memiliki Dua Jabatan Fungsional

Salah satu alasan utama adalah bahwa seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak dapat memiliki dua jabatan fungsional secara bersamaan. JF Dokter Pendidik Klinis adalah jabatan fungsional tersendiri yang terpisah dari JF Dosen. Oleh karena itu, seorang ASN yang sudah memiliki JF Dokter Pendidik Klinis tidak dapat sekaligus memiliki JF Dosen tetap di perguruan tinggi negeri (PTN).

Regulasi ini selaras dengan prinsip dalam sistem kepegawaian ASN, di mana setiap individu hanya boleh menempati satu JF untuk menghindari konflik kepentingan dan tumpang tindih tanggung jawab dalam struktur birokrasi pemerintahan.

2. Regulasi dalam PP 28/2024 dan UU 17/2023 tentang Kesehatan

Pasal 606 dalam PP 28/2024 yang merupakan peraturan turunan dari UU 17/2023 tentang Kesehatan, menyatakan bahwa pendidik klinis dapat memiliki jenjang jabatan akademik hingga profesor setelah memenuhi persyaratan. Namun, penting untuk dicatat bahwa ketentuan mengenai pendidik klinis ini akan diatur dalam Peraturan Presiden tersendiri.

Artinya, posisi pendidik klinis tidak digolongkan dalam regulasi umum tentang dosen sebagaimana diatur dalam peraturan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), tetapi berada dalam lingkup regulasi kesehatan. Pemisahan ini memperjelas bahwa Dokter Pendidik Klinis memiliki jalur karier yang berbeda dengan dosen tetap di lingkungan perguruan tinggi​

.

3. Dokter Pendidik Klinis Tidak Memenuhi Syarat Dosen Tetap

Berdasarkan regulasi dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia, seorang dosen tetap adalah individu yang bekerja penuh waktu di perguruan tinggi dan memiliki beban kerja minimal 12 SKS dalam pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Namun, seorang Dokter Pendidik Klinis umumnya tidak bekerja penuh waktu di perguruan tinggi, karena mereka juga memiliki tanggung jawab klinis di rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan lainnya. Kondisi ini menyebabkan mereka tidak memenuhi kriteria sebagai dosen tetap

.

Selain itu, dalam regulasi yang mengatur jabatan akademik dosen, disebutkan bahwa dosen tidak tetap yang sebelumnya tidak pernah menjadi dosen tetap tidak memiliki jabatan akademik yang sama dengan dosen tetap. Dengan demikian, meskipun seorang Dokter Pendidik Klinis dapat memiliki jabatan akademik, statusnya tetap sebagai dosen tidak tetap​

.

4. Implikasi Terhadap Karier Akademik Dokter Pendidik Klinis

Meskipun tidak tergolong sebagai dosen tetap, Dokter Pendidik Klinis tetap dapat memperoleh jabatan akademik hingga profesor. Namun, mekanisme pengangkatan, pengembangan karier, serta evaluasi kinerja mereka akan diatur dalam regulasi tersendiri, yang terpisah dari regulasi jabatan akademik dosen di perguruan tinggi.

Selain itu, karena tidak berstatus dosen tetap, Dokter Pendidik Klinis mungkin memiliki keterbatasan dalam aspek tertentu, seperti hak administratif dan fasilitas akademik yang diperoleh oleh dosen tetap di PTN.

Kesimpulan

JF Dokter Pendidik Klinis digolongkan sebagai dosen tidak tetap karena:

  1. ASN tidak boleh memiliki dua JF, sehingga JF Dokter Pendidik Klinis tidak bisa sekaligus menjadi JF Dosen tetap.
  2. Regulasi dalam PP 28/2024 dan UU 17/2023 menempatkan pendidik klinis dalam jalur akademik tersendiri yang berbeda dengan dosen tetap di perguruan tinggi.
  3. Dokter Pendidik Klinis tidak bekerja penuh waktu di perguruan tinggi dan tidak memenuhi syarat sebagai dosen tetap.
  4. Karier akademik Dokter Pendidik Klinis tetap diakui hingga jabatan profesor, tetapi dengan mekanisme yang berbeda dari dosen tetap.

Dengan pemisahan ini, diharapkan ada kejelasan dalam peran dan tanggung jawab Dokter Pendidik Klinis, sehingga mereka tetap dapat berkontribusi dalam pendidikan kedokteran tanpa harus melebur dalam sistem dosen tetap yang memiliki regulasi berbeda.

Penegasan Ketentuan Peralihan dalam Pasal 63 huruf a Permendikbudristek 44/2024 Terkait Pemberian Jabatan Akademik Asisten Ahli dan Lektor untuk Dosen Tetap

Permendikbudristek No. 44 Tahun 2024 mengatur berbagai aspek profesi, karier, dan penghasilan dosen, termasuk ketentuan terkait jabatan akademik. Dalam ketentuan peralihan Pasal 63 huruf a, terdapat aturan mengenai pemberian jabatan akademik asisten ahli untuk lulusan magister dan lektor untuk lulusan doktor. Namun, penting untuk menegaskan bahwa aturan ini hanya berlaku bagi dosen tetap, bukan calon dosen tetap atau dosen tidak tetap.

Definisi Dosen Tetap dan Dosen Tidak Tetap

Dalam regulasi terbaru ini, tidak dikenal istilah “calon dosen tetap.” Permendikbudristek 44/2024 secara jelas membedakan dosen menjadi dua kategori utama:

  1. Dosen Tetap:

    • Bekerja penuh waktu di perguruan tinggi tertentu.
    • Memenuhi beban kerja minimum 12 SKS (Satuan Kredit Semester).
    • Memiliki hak untuk diangkat dalam jabatan akademik tertentu.
  2. Dosen Tidak Tetap:

    • Tidak bekerja penuh waktu atau memiliki beban kerja kurang dari 12 SKS.
    • Tidak memenuhi syarat untuk diberikan jabatan akademik sebagai bagian dari dosen tetap.

Dengan demikian, dosen yang ingin mendapatkan jabatan akademik asisten ahli atau lektor harus terlebih dahulu memenuhi status sebagai dosen tetap【27】.



Ketentuan Pasal 63 huruf a dan Implikasinya

Pasal 63 huruf a dalam Permendikbudristek 44/2024 mengatur bahwa:

  • Lulusan magister yang diangkat sebagai dosen tetap dapat memperoleh jabatan akademik asisten ahli.
  • Lulusan doktor yang diangkat sebagai dosen tetap dapat memperoleh jabatan akademik lektor.

Ketentuan ini merupakan bagian dari aturan transisi yang bertujuan untuk mempercepat proses pengangkatan jabatan akademik bagi dosen tetap baru. Namun, aturan ini tidak berlaku bagi individu yang belum memiliki status sebagai dosen tetap, termasuk mereka yang baru direkrut dan belum memenuhi persyaratan minimum beban kerja【26】.

Pentingnya Status Dosen Tetap dalam Jabatan Akademik

Beberapa poin yang harus diperhatikan terkait status dosen tetap dan jabatan akademik:

  1. Jabatan akademik hanya diberikan kepada dosen tetap

    • Seorang dosen yang baru diangkat belum otomatis memiliki jabatan akademik, kecuali memenuhi syarat sebagai dosen tetap.
    • Dosen yang tidak tetap, meskipun memiliki gelar magister atau doktor, tidak bisa mendapatkan jabatan akademik berdasarkan ketentuan ini【27】.
  2. Tidak ada syarat masa kerja minimum untuk mendapatkan jabatan akademik

    • Selama seseorang sudah diangkat sebagai dosen tetap dan memenuhi syarat beban kerja minimal 12 SKS, mereka dapat langsung mendapatkan jabatan akademik asisten ahli atau lektor.
    • Tidak diperlukan masa kerja tertentu sebelum mendapatkan jabatan akademik【26】.
  3. Implikasi bagi perguruan tinggi dan dosen baru

    • Perguruan tinggi perlu memastikan bahwa calon dosen tetap memenuhi kriteria sebelum mengajukan jabatan akademik.
    • Dosen yang ingin memperoleh jabatan akademik harus terlebih dahulu ditetapkan sebagai dosen tetap sesuai dengan aturan Permendikbudristek 44/2024.

Kesimpulan

Permendikbudristek 44/2024 menegaskan bahwa pemberian jabatan akademik asisten ahli dan lektor dalam ketentuan peralihan hanya berlaku untuk dosen tetap. Tidak ada istilah “calon dosen tetap” dalam regulasi ini, sehingga seseorang yang ingin mendapatkan jabatan akademik harus terlebih dahulu ditetapkan sebagai dosen tetap dengan memenuhi beban kerja minimal 12 SKS. Dengan pemahaman ini, perguruan tinggi dapat lebih jelas dalam menerapkan kebijakan terkait jabatan akademik bagi dosen baru【26】【27】.

Referensi

  • Permendikbudristek No. 44 Tahun 2024 tentang Profesi, Karier, dan Penghasilan Dosen.
  • LLDIKTI (2024). "Tanya Jawab Permendikbudristek 44/2024." Diakses dari lldikti.kemdikbud.go.id【26】【27】.

Bacaan lainnya

👇👇👇



Jabatan Akademik bagi Dosen Baru: Syarat dan Ketentuan

 

Jabatan Akademik bagi Dosen Baru: Syarat dan Ketentuan

Dalam konteks pengangkatan jabatan akademik bagi dosen baru yang bekerja kurang dari satu tahun, regulasi yang berlaku, termasuk Permendikbudristek 44/2024, menyatakan bahwa dosen tetap harus memiliki jabatan akademik. Namun, terdapat beberapa persyaratan tambahan yang harus dipenuhi sebelum seorang dosen bisa memperoleh jabatan akademik seperti Asisten Ahli (bagi lulusan magister) atau Lektor (bagi lulusan doktor).

1. Tidak Ada Syarat Masa Kerja, Tapi Ada Syarat Angka Kredit

Dalam peraturan terbaru, tidak ada syarat masa kerja minimum untuk mengajukan jabatan akademik. Dosen yang diangkat sebagai dosen tetap dapat langsung diberikan jabatan akademik jika memenuhi persyaratan angka kredit yang ditentukan. Artinya, meskipun seorang dosen baru belum bekerja satu tahun, ia tetap dapat mengajukan jabatan akademik jika telah memenuhi angka kredit dari aspek pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan unsur penunjang lainnya (LLDIKTI Wilayah XIII, 2024)【18】.

2. Syarat Pengangkatan Asisten Ahli dan Lektor

Mengacu pada aturan yang diterbitkan oleh LLDIKTI Wilayah VIII dan LLDIKTI lainnya, berikut adalah syarat utama untuk mengajukan jabatan akademik:



a. Syarat Jabatan Asisten Ahli (bagi lulusan S2)
  1. Memiliki minimal 1 karya ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal nasional terakreditasi peringkat 3, 4, 5, atau 6.
  2. Melaksanakan tugas mengajar minimal 1 tahun (dalam beberapa ketentuan LLDIKTI, meskipun ini bisa dinegosiasikan jika angka kredit terpenuhi)【17】.
  3. Melaksanakan minimal 1 kegiatan pengabdian kepada masyarakat.
  4. Melaksanakan minimal 1 kegiatan penunjang akademik.
  5. Telah memenuhi minimal 10 angka kredit di luar angka kredit ijazah【17】.
b. Syarat Jabatan Lektor (bagi lulusan S3/Doktor)
  1. Telah memenuhi angka kredit yang dipersyaratkan untuk jabatan Lektor.
  2. Memiliki karya ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal nasional terakreditasi (minimal Sinta 3–6 untuk S2, Sinta 1–2 atau jurnal internasional untuk S3)【17】.
  3. Telah memenuhi persyaratan kinerja, etika, dan tanggung jawab akademik, yang disahkan melalui rapat senat perguruan tinggi【17】.

3. Pengusulan Jabatan Akademik

Dosen tetap yang ingin mengajukan jabatan akademik harus menyiapkan dokumen administrasi dan daftar usulan penilaian angka kredit (DUPAK). Pengajuan ini dilakukan melalui LLDIKTI sesuai dengan wilayah perguruan tinggi masing-masing【18】.

4. Masa Transisi dalam Implementasi Peraturan Baru

Berdasarkan Permen PAN-RB Nomor 1 Tahun 2023, ada beberapa ketentuan masa transisi dalam pemenuhan jabatan akademik:

  • Dosen yang baru mendapatkan jabatan fungsional harus memenuhi kewajiban khusus dalam 3 tahun pertama setelah menerima SK jabatan【19】.
  • Dosen yang telah lama menjabat namun belum memenuhi angka kredit harus menyelesaikan persyaratannya sesuai dengan pedoman beban kerja dosen (BKD)【19】.

Kesimpulan

Dosen tetap tidak perlu menunggu satu tahun untuk mendapatkan jabatan akademik jika telah memenuhi angka kredit yang dipersyaratkan. Namun, ada syarat karya ilmiah, kegiatan akademik, serta persetujuan senat yang tetap harus dipenuhi sebelum mengajukan jabatan akademik Asisten Ahli atau Lektor.

Sebagai rekomendasi, dosen baru sebaiknya segera mulai menyusun publikasi ilmiah dan aktif dalam pengajaran serta pengabdian masyarakat, agar dapat memenuhi angka kredit dan mempercepat pengangkatan jabatan akademiknya.


Bacaan lainnya

👇👇👇




Apakah dosen NIDK dapat dihitung dalam pemenuhan rasio dosen dan jenjang jabatan untuk akreditasi?

Akreditasi perguruan tinggi merupakan salah satu instrumen penting dalam menjamin mutu pendidikan tinggi di Indonesia. Salah satu aspek yang dinilai dalam akreditasi adalah rasio dosen terhadap mahasiswa serta kualifikasi jabatan akademik dosen. Permasalahan yang muncul adalah apakah dosen dengan Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK) dapat diperhitungkan dalam pemenuhan rasio ini dan jenjang jabatan akademik yang diperlukan.

Dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia, Permendikbudristek No. 44 Tahun 2024 mengatur bahwa hanya ada dua kategori dosen, yaitu dosen tetap dan dosen tidak tetap. Namun, dalam regulasi sebelumnya, termasuk panduan yang masih berlaku di LLDIKTI, disebutkan bahwa dosen NIDK memiliki peran tersendiri dalam sistem pendidikan tinggi. Oleh karena itu, perlu ditelusuri lebih lanjut bagaimana status dosen NIDK dalam pemenuhan rasio dosen untuk akreditasi.

Pengertian dan Status Dosen NIDK

Berdasarkan panduan yang diterbitkan oleh LLDIKTI, Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK) diberikan kepada dosen yang diangkat oleh perguruan tinggi berdasarkan perjanjian kerja. Dosen ini dapat berasal dari berbagai latar belakang, seperti:

  1. Peneliti
  2. Praktisi
  3. Dosen purna tugas (pensiunan yang masih aktif mengajar)

Dosen NIDK memiliki batas usia maksimal 70 tahun untuk Profesor dan 65 tahun untuk dosen lainnya. Selain itu, dalam beberapa kondisi, masa aktifnya dapat diperpanjang dengan perjanjian kerja tambahan (LLDIKTI XIII, 2024).

Dalam hal pemenuhan rasio dosen terhadap mahasiswa, dosen NIDK dapat diperhitungkan, sebagaimana disebutkan dalam regulasi yang mengatur NIDK. Namun, ketentuan ini masih perlu disesuaikan dengan instrumen akreditasi yang digunakan oleh BAN-PT setelah adanya Permendikbudristek No. 44 Tahun 2024.



Dosen NIDK dalam Pemenuhan Rasio Dosen untuk Akreditasi

Sebelumnya, dosen dengan NIDN (Nomor Induk Dosen Nasional) jelas diperhitungkan dalam rasio dosen terhadap mahasiswa. Namun, status dosen NIDK sering kali menjadi perdebatan. Berdasarkan informasi dari LLDIKTI, dosen NIDK dapat dihitung dalam nisbah dosen terhadap mahasiswa, sebagaimana juga berlaku bagi dosen tetap (LLDIKTI XIII, 2024).

Meskipun demikian, dengan adanya Permendikbudristek No. 44 Tahun 2024, status ini masih memerlukan koordinasi lebih lanjut antara Kemendikbudristek dan BAN-PT untuk memastikan apakah dosen NIDK tetap masuk dalam perhitungan rasio dosen di dalam instrumen akreditasi yang baru (LLDIKTI XIII, 2024).


Dosen NIDK dalam Jenjang Jabatan Akademik

Dalam hal jenjang jabatan akademik, dosen NIDK juga memiliki kesempatan untuk meniti karier akademik hingga jabatan Profesor. Dosen NIDK menjalani Penilaian Angka Kredit (PAK) dengan proses yang sama seperti dosen NIDN, mencakup aspek:

  1. Pendidikan dan pengajaran
  2. Penelitian dan publikasi
  3. Inovasi dalam bidang akademik
  4. Pengabdian kepada masyarakat

Faktanya, terdapat beberapa dosen NIDK yang telah dikukuhkan sebagai Profesor, meskipun jumlahnya masih sangat sedikit (LLDIKTI XIII, 2024). Salah satu contohnya adalah Bambang Waluyo, seorang praktisi hukum yang memperoleh jabatan Profesor di Fakultas Hukum Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Jakarta. Hal ini menunjukkan bahwa dalam aspek jenjang jabatan akademik, dosen NIDK memiliki kesempatan yang sama dengan dosen NIDN (LLDIKTI XIII, 2024).

Kesimpulan

Berdasarkan regulasi sebelumnya dan informasi dari LLDIKTI, dosen dengan Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK) dapat dihitung dalam pemenuhan rasio dosen terhadap mahasiswa. Selain itu, dalam jenjang jabatan akademik, dosen NIDK memiliki peluang yang sama dengan dosen NIDN, termasuk mencapai jabatan Profesor.

Namun, dengan diberlakukannya Permendikbudristek No. 44 Tahun 2024, masih ada ketidakjelasan apakah status dosen NIDK tetap dapat dihitung dalam rasio dosen untuk akreditasi. Saat ini, Kemendikbudristek masih dalam tahap koordinasi dengan BAN-PT untuk menyesuaikan instrumen akreditasi agar selaras dengan regulasi terbaru.

Oleh karena itu, bagi perguruan tinggi yang memiliki dosen NIDK, penting untuk mengikuti perkembangan kebijakan ini guna memastikan strategi pemenuhan rasio dosen dalam proses akreditasi di masa mendatang.

Referensi

  • LLDIKTI Wilayah XIII. (2024). Panduan registrasi dosen, persyaratan pengajuan NIDN, NIDK dan NUP. Diakses dari lldikti13.kemdikbud.go.id【8】.
  • LLDIKTI Wilayah XIII. (2024). Kesetaraan Karier Bagi Dosen dengan Nomor Induk Dosen Khusus (NIDK). Diakses dari lldikti13.kemdikbud.go.id【9】.

Bacaan lainnya

👇👇👇


Apakah dosen NIDK dapat naik menjadi profesor?


Apakah dosen NIDK dapat naik menjadi profesor?

Dalam Permendikbudristek 44/2024 tidak ada lagi “dosen NIDK”. Status dosen terdiri atas dosen tetap dan dosen tidak tetap. Dosen tetap adalah Dosen yang bekerja penuh waktu pada perguruan tinggi dan memenuhi beban kerja >=12 SKS. Dosen tidak tetap adalah Dosen yang tidak bekerja penuh waktu pada perguruan tinggi dan/atau memenuhi beban kerja <12 SKS. Dosen tetap memiliki jabatan akademik. Dosen tidak tetap tidak memiliki jabatan akademik. Dosen tidak tetap hanya dapat memiliki jabatan akademik jika sebelumnya pernah memiliki jabatan tersebut sebagai dosen tetap.



Pemenuhan Tridharma Perguruan Tinggi: Beban Perguruan Tinggi atau Individu Dosen?

 

Pendahuluan

 

Tridharma Perguruan Tinggi merupakan konsep fundamental dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia yang mencakup tiga aspek utama: pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat. Konsep ini menjadi landasan utama bagi dosen dalam menjalankan tugasnya di perguruan tinggi. Namun, sering muncul pertanyaan apakah pemenuhan Tridharma Perguruan Tinggi dibebankan kepada perguruan tinggi sebagai institusi atau kepada individu dosen. Selain itu, apakah seorang dosen dapat memilih untuk hanya fokus pada salah satu dari tiga aspek tridharma, seperti hanya mengajar tanpa melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat? Artikel ini akan menguraikan dasar hukum dan implementasi tridharma dalam konteks beban kerja dosen serta fleksibilitas dalam pemilihannya.

 

Dasar Hukum Tridharma Perguruan Tinggi

 

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa setiap dosen wajib melaksanakan tridharma perguruan tinggi. Pasal 60 Ayat (1) UU 14/2005 menyatakan bahwa:

 

"Dosen berkewajiban melaksanakan tridharma perguruan tinggi dengan beban kerja yang seimbang antara pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat."

 

Selain itu, Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi juga menegaskan bahwa dosen memiliki tanggung jawab dalam ketiga aspek tridharma tersebut. Berdasarkan regulasi ini, pemenuhan tridharma tidak hanya menjadi tanggung jawab institusi, tetapi juga merupakan tanggung jawab individual bagi setiap dosen.

 

Beban Kerja Dosen dalam Pemenuhan Tridharma

 

Dalam praktiknya, beban kerja dosen dalam menjalankan tridharma tidak selalu dibagi secara merata antara pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Beberapa faktor yang mempengaruhi komposisi beban kerja dosen antara lain:

 

Kebijakan Perguruan TinggiMenurut UU 14/2005, komposisi masing-masing darma dalam pemenuhan beban kerja dosen ditetapkan oleh pemimpin perguruan tinggi dengan mempertimbangkan pencapaian target kinerja perguruan tinggi. Artinya, perguruan tinggi memiliki wewenang untuk mengatur proporsi tridharma yang harus dijalankan oleh dosennya.

 

Jenjang Jabatan AkademikDosen dengan jabatan akademik lebih tinggi, seperti Lektor Kepala dan Guru Besar, umumnya memiliki kewajiban penelitian lebih besar dibandingkan dengan dosen pemula. Hal ini sejalan dengan persyaratan kenaikan jabatan akademik yang menuntut publikasi ilmiah.

 

Spesialisasi dan Kompetensi DosenDosen yang lebih aktif dalam penelitian mungkin akan diberikan beban kerja penelitian lebih besar, sedangkan dosen yang lebih unggul dalam pengajaran dapat diberikan tugas lebih banyak dalam pengajaran.

 

Kebutuhan Institusi dan MasyarakatPerguruan tinggi juga mempertimbangkan kebutuhan masyarakat dalam menentukan fokus tridharma. Misalnya, dosen di institusi vokasi mungkin lebih banyak berkontribusi dalam pengabdian masyarakat dan pengajaran dibandingkan penelitian.

 

Apakah Dosen Bisa Memilih Fokus pada Salah Satu Tridharma?

 

Secara teoritis, dosen tidak diperbolehkan hanya memilih satu aspek tridharma dan mengabaikan yang lain. Hal ini karena Undang-Undang secara tegas mengamanatkan bahwa dosen harus menjalankan semua unsur tridharma. Namun, dalam praktiknya, perguruan tinggi dapat menyesuaikan proporsi pelaksanaan tridharma berdasarkan keahlian dan tanggung jawab dosen.

 

Sebagai contoh:

 

Dosen di Universitas Riset: Dosen di perguruan tinggi berbasis riset mungkin memiliki beban kerja lebih besar dalam penelitian dan publikasi ilmiah dibandingkan pengajaran.

 

Dosen di Perguruan Tinggi Vokasi: Dosen di institusi vokasi sering kali lebih fokus pada pengajaran dan pengabdian masyarakat dibandingkan penelitian.

 

Dosen Profesional (Praktisi): Dalam beberapa program studi, dosen yang berasal dari kalangan praktisi industri mungkin lebih banyak mengajar dibandingkan meneliti, meskipun tetap diwajibkan untuk melakukan pengabdian masyarakat.

 

Namun, meskipun ada fleksibilitas dalam pembagian beban kerja, setiap dosen tetap wajib memenuhi semua unsur tridharma dalam porsi yang telah ditentukan oleh institusinya.

 

Jabatan Akademik Profesor: Perguruan Tinggi atau Negara?

 

Dalam regulasi terbaru, Permendikbudristek 44/2024 menetapkan bahwa jabatan akademik profesor kini diatur dan ditetapkan oleh perguruan tinggi, bukan lagi oleh negara. Hal ini menandai perubahan signifikan dalam sistem akademik Indonesia, di mana perguruan tinggi memiliki wewenang penuh dalam menentukan jabatan akademik bagi para dosennya.

 

Perubahan ini juga berdampak pada status jabatan akademik saat seorang profesor berpindah instansi atau memasuki masa pensiun. Dalam aturan terbaru:

 

Profesor yang Pindah Instansi: Jika seorang profesor berpindah ke perguruan tinggi lain, status jabatannya harus disesuaikan dan ditetapkan oleh institusi tujuan. Hal ini berbeda dengan sistem sebelumnya, di mana jabatan profesor tetap melekat pada individu tanpa bergantung pada institusi tertentu.

 

Profesor setelah Pensiun: Karena profesor dianggap sebagai jabatan akademik, bukan gelar, maka setelah pensiun, jabatan tersebut tidak dapat disandang lagi kecuali dalam kapasitas akademik tertentu seperti profesor emeritus.

 

Apakah Dosen NIDK Bisa Naik Menjadi Profesor?

 

Dalam Permendikbudristek 44/2024, istilah dosen NIDK (Nomor Induk Dosen Khusus) tidak lagi digunakan. Status dosen kini terbagi menjadi dua kategori utama:

 

Dosen Tetap: Dosen yang bekerja penuh waktu di perguruan tinggi dan memenuhi beban kerja minimal 12 SKS. Dosen tetap memiliki jabatan akademik, termasuk kemungkinan untuk naik ke jenjang profesor jika memenuhi syarat.

 

Dosen Tidak Tetap: Dosen yang tidak bekerja penuh waktu dan/atau memenuhi beban kerja kurang dari 12 SKS. Dosen tidak tetap tidak memiliki jabatan akademik, kecuali jika sebelumnya pernah memiliki jabatan tersebut sebagai dosen tetap.

 

Dengan demikian, hanya dosen tetap yang berhak mengajukan kenaikan jabatan akademik hingga profesor, sedangkan dosen tidak tetap tidak memiliki kesempatan tersebut kecuali jika sebelumnya telah memiliki jabatan akademik sebagai dosen tetap.

 

Referensi

 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

 Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 44 Tahun 2024.

 Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).


Bacaan lainnya

👇👇👇



Apakah setiap program studi diharapkan memiliki minimal satu profesor sebagai syarat ideal?

 


Apakah setiap program studi diharapkan memiliki minimal satu profesor sebagai syarat ideal?

Permendikbudristek 44/2024 tidak mengatur jumlah minimal profesor dalam setiap program studi. Akan tetapi perguruan tinggi yang dapat mempromosikan dosen ke jenjang akademik profesor secara mandiri, salah satu persyaratannya adalah memiliki profesor pada rumpun ilmu tersebut.

Pemenuhan Tridharma Perguruan Tinggi: Beban Perguruan Tinggi atau Individu Dosen?

 

Pendahuluan

 

Tridharma Perguruan Tinggi merupakan konsep fundamental dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia yang mencakup tiga aspek utama: pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat. Konsep ini menjadi landasan utama bagi dosen dalam menjalankan tugasnya di perguruan tinggi. Namun, sering muncul pertanyaan apakah pemenuhan Tridharma Perguruan Tinggi dibebankan kepada perguruan tinggi sebagai institusi atau kepada individu dosen. Selain itu, apakah seorang dosen dapat memilih untuk hanya fokus pada salah satu dari tiga aspek tridharma, seperti hanya mengajar tanpa melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat? Artikel ini akan menguraikan dasar hukum dan implementasi tridharma dalam konteks beban kerja dosen serta fleksibilitas dalam pemilihannya.

 

Dasar Hukum Tridharma Perguruan Tinggi

 

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen mengamanatkan bahwa setiap dosen wajib melaksanakan tridharma perguruan tinggi. Pasal 60 Ayat (1) UU 14/2005 menyatakan bahwa:

 

"Dosen berkewajiban melaksanakan tridharma perguruan tinggi dengan beban kerja yang seimbang antara pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat."

 

Selain itu, Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi juga menegaskan bahwa dosen memiliki tanggung jawab dalam ketiga aspek tridharma tersebut. Berdasarkan regulasi ini, pemenuhan tridharma tidak hanya menjadi tanggung jawab institusi, tetapi juga merupakan tanggung jawab individual bagi setiap dosen.

 

Beban Kerja Dosen dalam Pemenuhan Tridharma

 

Dalam praktiknya, beban kerja dosen dalam menjalankan tridharma tidak selalu dibagi secara merata antara pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Beberapa faktor yang mempengaruhi komposisi beban kerja dosen antara lain:

 

Kebijakan Perguruan TinggiMenurut UU 14/2005, komposisi masing-masing darma dalam pemenuhan beban kerja dosen ditetapkan oleh pemimpin perguruan tinggi dengan mempertimbangkan pencapaian target kinerja perguruan tinggi. Artinya, perguruan tinggi memiliki wewenang untuk mengatur proporsi tridharma yang harus dijalankan oleh dosennya.

 

Jenjang Jabatan AkademikDosen dengan jabatan akademik lebih tinggi, seperti Lektor Kepala dan Guru Besar, umumnya memiliki kewajiban penelitian lebih besar dibandingkan dengan dosen pemula. Hal ini sejalan dengan persyaratan kenaikan jabatan akademik yang menuntut publikasi ilmiah.

 

Spesialisasi dan Kompetensi DosenDosen yang lebih aktif dalam penelitian mungkin akan diberikan beban kerja penelitian lebih besar, sedangkan dosen yang lebih unggul dalam pengajaran dapat diberikan tugas lebih banyak dalam pengajaran.

 

Kebutuhan Institusi dan MasyarakatPerguruan tinggi juga mempertimbangkan kebutuhan masyarakat dalam menentukan fokus tridharma. Misalnya, dosen di institusi vokasi mungkin lebih banyak berkontribusi dalam pengabdian masyarakat dan pengajaran dibandingkan penelitian.

 

Apakah Dosen Bisa Memilih Fokus pada Salah Satu Tridharma?

 

Secara teoritis, dosen tidak diperbolehkan hanya memilih satu aspek tridharma dan mengabaikan yang lain. Hal ini karena Undang-Undang secara tegas mengamanatkan bahwa dosen harus menjalankan semua unsur tridharma. Namun, dalam praktiknya, perguruan tinggi dapat menyesuaikan proporsi pelaksanaan tridharma berdasarkan keahlian dan tanggung jawab dosen.

 

Sebagai contoh:

 

Dosen di Universitas Riset: Dosen di perguruan tinggi berbasis riset mungkin memiliki beban kerja lebih besar dalam penelitian dan publikasi ilmiah dibandingkan pengajaran.

Dosen di Perguruan Tinggi Vokasi: Dosen di institusi vokasi sering kali lebih fokus pada pengajaran dan pengabdian masyarakat dibandingkan penelitian.

Dosen Profesional (Praktisi): Dalam beberapa program studi, dosen yang berasal dari kalangan praktisi industri mungkin lebih banyak mengajar dibandingkan meneliti, meskipun tetap diwajibkan untuk melakukan pengabdian masyarakat.

Namun, meskipun ada fleksibilitas dalam pembagian beban kerja, setiap dosen tetap wajib memenuhi semua unsur tridharma dalam porsi yang telah ditentukan oleh institusinya.

 

Jabatan Akademik Profesor: Perguruan Tinggi atau Negara?

Dalam regulasi terbaru, Permendikbudristek 44/2024 menetapkan bahwa jabatan akademik profesor kini diatur dan ditetapkan oleh perguruan tinggi, bukan lagi oleh negara. Hal ini menandai perubahan signifikan dalam sistem akademik Indonesia, di mana perguruan tinggi memiliki wewenang penuh dalam menentukan jabatan akademik bagi para dosennya.

Perubahan ini juga berdampak pada status jabatan akademik saat seorang profesor berpindah instansi atau memasuki masa pensiun. Dalam aturan terbaru:

Profesor yang Pindah Instansi: Jika seorang profesor berpindah ke perguruan tinggi lain, status jabatannya harus disesuaikan dan ditetapkan oleh institusi tujuan. Hal ini berbeda dengan sistem sebelumnya, di mana jabatan profesor tetap melekat pada individu tanpa bergantung pada institusi tertentu.

Profesor setelah Pensiun: Karena profesor dianggap sebagai jabatan akademik, bukan gelar, maka setelah pensiun, jabatan tersebut tidak dapat disandang lagi kecuali dalam kapasitas akademik tertentu seperti profesor emeritus.

Apakah Setiap Program Studi Harus Memiliki Minimal Satu Profesor?

Permendikbudristek 44/2024 tidak mengatur secara eksplisit bahwa setiap program studi harus memiliki minimal satu profesor. Namun, perguruan tinggi yang ingin mendapatkan kewenangan untuk mempromosikan dosennya ke jenjang akademik profesor secara mandiri harus memiliki profesor dalam rumpun ilmu tersebut.

Dengan demikian, meskipun tidak ada aturan baku mengenai jumlah profesor dalam setiap program studi, keberadaan profesor di suatu program studi menjadi faktor penting dalam pengembangan akademik dan dalam upaya institusi untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi.

 

Kesimpulan

Berdasarkan kajian di atas, pemenuhan tridharma perguruan tinggi merupakan tanggung jawab bersama antara individu dosen dan institusi perguruan tinggi. Undang-Undang 14/2005 secara eksplisit mewajibkan setiap dosen untuk menjalankan tridharma, tetapi proporsi masing-masing darma dalam beban kerja ditentukan oleh kebijakan perguruan tinggi. Selain itu, jabatan akademik profesor kini menjadi kewenangan perguruan tinggi, bukan lagi negara. Sementara itu, meskipun tidak ada kewajiban setiap program studi memiliki minimal satu profesor, perguruan tinggi yang ingin mempromosikan dosennya ke jenjang profesor secara mandiri harus memiliki profesor dalam rumpun ilmu terkait.

 

Referensi

 

1.     Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.

2.     Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi.

3.     Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 44 Tahun 2024.

4.     Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT).



Bacaan lainnya

👇👇👇