Pernahkah kamu bertemu seorang dosen yang bukan cuma mengajar, tapi juga menghidupkan
semangat dalam diri mahasiswanya?
Dosen yang kalau bicara, mahasiswa mendengarkan bukan karena takut nilai jelek,
tapi karena terinspirasi.
Dosen yang kalau berjalan di koridor kampus, mahasiswa menegur dengan senyum
tulus, bukan dengan rasa canggung.
Ya, sosok seperti itulah yang disebut role model
— panutan sejati, bukan karena jabatannya, tapi karena kepribadiannya.
Namun, pertanyaan besar pun muncul:
👉 Bagaimana seorang dosen
bisa menjadi role model di kampus?
Apakah cukup dengan gelar akademik tinggi dan publikasi internasional segunung?
Ataukah ada sesuatu yang lebih sederhana, tapi lebih bermakna?
Mari kita bahas dengan santai — dari ruang dosen, untuk sesama pejuang dunia
akademik.
![]() |
Koleksi Buku Terlengkap di Toko Buku Kami | CV. Cemerlang Publishing (cvcemerlangpublishing.com) |
1. Dosen
Itu Lebih dari Sekadar Pengajar
Di atas kertas, tugas dosen memang jelas: mengajar, meneliti, dan mengabdi.
Tapi di lapangan, peran itu jauh lebih luas.
Dosen bukan cuma penyampai materi, tapi juga pembentuk karakter dan
teladan hidup bagi mahasiswanya.
Bayangkan ini:
Ada dua dosen mengajar mata kuliah yang sama. Yang satu menjelaskan teori
dengan sempurna, tapi jarang hadir tepat waktu. Yang satu lagi mungkin tidak
seformal itu, tapi selalu datang lebih awal, menyapa mahasiswa, dan
mendengarkan cerita mereka.
Menurutmu, siapa yang akan lebih diingat?
Betul. Yang hadir dengan ketulusan.
Itulah esensi menjadi role model — bukan soal kepintaran, tapi soal keteladanan
dalam hal kecil yang konsisten.
2.
Ilustrasi: Cerita tentang Pak Damar dan “Kemeja Flanel”
Ada seorang dosen muda bernama Pak Damar. Ia tidak pernah terlihat memakai
jas atau dasi ke kampus.
Penampilannya sederhana: kemeja flanel, tas ransel lusuh, dan sepatu kets. Tapi
setiap kali masuk kelas, suasana langsung hidup.
Mahasiswa bilang, “Pak Damar itu keren, bukan karena gaya, tapi karena genuine.”
Ia mengajar dengan cara yang jujur dan dekat dengan mahasiswa. Kalau tidak tahu
sesuatu, ia bilang terus terang, “Wah, ini menarik, nanti kita cari bareng ya.”
Dari situ, mahasiswa belajar hal penting: bahwa kejujuran
intelektual itu lebih berharga daripada berpura-pura tahu segalanya.
Pak Damar menjadi role model bukan karena tampilannya, tapi karena sikapnya
yang otentik.
3.
Keteladanan Dimulai dari Hal Sederhana
Banyak yang berpikir, menjadi panutan berarti harus sempurna. Padahal,
mahasiswa tidak mencari dosen yang sempurna — mereka mencari dosen yang manusiawi
tapi konsisten.
Berikut beberapa hal sederhana yang bisa membuat dosen jadi teladan tanpa
perlu pidato panjang:
·
Datang
tepat waktu.
Tindakan kecil ini menunjukkan penghargaan terhadap waktu mahasiswa.
Keteladanan sering dimulai dari jam tangan.
·
Responsif
terhadap mahasiswa.
Sekadar membalas pesan dengan sopan atau memberi umpan balik pada tugas bisa
membangun rasa dihargai.
·
Menepati
janji akademik.
Kalau bilang nilai keluar minggu depan, usahakan benar-benar keluar minggu
depan. Kepercayaan tumbuh dari konsistensi kecil seperti ini.
·
Berani
mengakui kesalahan.
Ketika salah menilai atau keliru memberi contoh, akui. Mahasiswa akan lebih
menghargai dosen yang berani jujur daripada yang bersikeras benar.
4. Antara
Akademik dan Etika
Role model sejati bukan hanya soal kemampuan akademik, tapi juga etika
profesional dan integritas pribadi.
Mahasiswa belajar banyak bukan hanya dari apa yang kita ajarkan, tapi bagaimana
kita mengajarkannya.
Mereka melihat bagaimana kita bersikap dalam rapat, menanggapi kritik,
memperlakukan staf administrasi, bahkan bagaimana kita menilai mereka.
Kalau dosen bisa marah tapi tetap santun, bisa tegas tapi tetap manusiawi,
mahasiswa akan meniru hal itu tanpa sadar.
Seorang mahasiswa pernah bilang:
“Saya ingin jadi dosen seperti Bu Sinta. Tegas, tapi tidak pernah membuat
mahasiswa merasa kecil.”
Itu kalimat sederhana, tapi mencerminkan betapa kuatnya pengaruh karakter
seorang dosen dibanding ribuan slide PowerPoint.
5. Ilustrasi: Mahasiswa yang
Meniru Sikap, Bukan Kata-Kata
Suatu hari, ada seorang mahasiswa yang jadi asisten di laboratorium. Ia
dikenal rajin dan telaten. Saat wawancara beasiswa, ia ditanya,
“Kenapa kamu suka meneliti?”
Mahasiswa itu menjawab,
“Karena saya lihat dosen saya selalu datang ke lab pagi-pagi, bahkan sebelum
mahasiswa datang. Saya pikir, saya juga harus begitu.”
Padahal, dosennya tidak pernah menyuruh siapa pun untuk rajin. Ia hanya memberi
contoh.
Itulah kekuatan keteladanan — influence without instruction.
6.
Tantangan Menjadi Role Model di Era Sekarang
Menjadi panutan di zaman sekarang bukan hal mudah. Dunia kampus sudah
berubah.
Mahasiswa Gen Z lebih kritis, lebih terbuka, dan tidak segan membandingkan
dosennya dengan konten edukatif di internet.
Kalau dulu dosen adalah sumber utama ilmu, sekarang mahasiswa punya ribuan
“dosen virtual” di YouTube, Coursera, dan TikTok Edu.
Maka, peran dosen sebagai role model bukan lagi sekadar
mengajar, tapi memberi arah moral, nilai, dan makna.
Namun, ada tantangan yang sering muncul:
·
Tekanan
administratif yang tinggi. Kadang dosen terlalu sibuk urus
laporan, sampai lupa hadir utuh di kelas.
·
Perbedaan
generasi. Bahasa dan gaya komunikasi sering tidak nyambung.
·
Kelelahan
emosional (burnout). Sulit memberi keteladanan ketika energi
mental sudah terkuras.
Tapi di balik semua itu, mahasiswa tetap mencari sosok yang bisa dijadikan pegangan
moral di tengah derasnya arus digital.
Dan peran itu, tidak bisa digantikan oleh AI atau algoritma mana pun.
7.
Adaptasi: Role Model yang Relevan di Era Digital
Dosen masa kini tidak perlu jadi “influencer” di media sosial, tapi bisa
belajar jadi inspirator digital.
Caranya?
·
Gunakan
media sosial untuk berbagi hal positif.
Tidak harus ilmiah — bisa berupa refleksi ringan, pengalaman mengajar, atau
motivasi yang membumi.
·
Tunjukkan
konsistensi online dan offline.
Jangan bijak di kelas tapi toxic di Twitter 😅. Mahasiswa sekarang
peka terhadap ketidaksesuaian itu.
·
Ajak
mahasiswa berpikir kritis, bukan hanya mencari nilai.
Role model sejati adalah yang menumbuhkan kemandirian berpikir, bukan ketergantungan
pada “jawaban benar”.
Contoh inspiratif datang dari seorang dosen di Yogyakarta yang aktif membuat
thread edukatif di X (Twitter).
Ia membahas topik akademik dengan bahasa ringan dan humor cerdas. Hasilnya?
Mahasiswa tidak hanya belajar dari kelasnya, tapi juga dari jejak
digitalnya.
Itu bukti bahwa menjadi role model bisa dilakukan di ruang virtual juga.
8. Mengajarkan Nilai Lewat Sikap
Dosen yang menjadi role model tidak menggurui tentang nilai, tapi mencontohkannya.
Misalnya:
·
Ketika mahasiswa menyontek,
dosen tidak hanya marah, tapi menjelaskan mengapa integritas
penting di dunia nyata.
·
Ketika mahasiswa terlambat,
dosen memberi konsekuensi tapi juga membantu mereka memahami arti tanggung
jawab.
·
Ketika mahasiswa
berprestasi, dosen tidak sekadar memberi pujian, tapi menanamkan sikap rendah
hati.
Keteladanan bukan tentang “mengatur”, tapi tentang menginspirasi
untuk memilih yang benar tanpa disuruh.
9.
Ilustrasi: “Bu Nia yang Selalu Tersenyum”
Bu Nia, dosen psikologi di sebuah kampus swasta kecil, dikenal dengan satu
hal: senyumnya.
Setiap kali masuk kelas, wajahnya cerah meski mungkin di balik itu ia sedang
lelah.
Suatu ketika, seorang mahasiswa berkata padanya,
“Bu, saya kadang ingin menyerah, tapi lihat Ibu yang selalu tenang dan
sabar, saya jadi malu.”
Padahal Bu Nia tidak pernah memberi nasihat panjang. Tapi ketenangannya
adalah pelajaran hidup.
Dari situ kita tahu, jadi role model tidak butuh kata-kata besar — cukup dengan
konsistensi sikap yang tulus.
10. Dosen
Juga Manusia, Tapi…
Tidak ada dosen yang sempurna. Kadang kita lelah, marah, salah bicara, atau
gagal menyenangkan semua pihak.
Tapi justru di situ letak keindahannya: mahasiswa tidak butuh dosen
sempurna, mereka butuh dosen yang berjuang
jadi lebih baik setiap hari.
Menjadi role model bukan soal tidak pernah jatuh, tapi tentang
bagaimana kita bangkit dengan elegan.
Ketika dosen meminta maaf karena salah menilai, mahasiswa belajar tentang
kerendahan hati.
Ketika dosen terus belajar hal baru di usia 50-an, mahasiswa belajar tentang
semangat tak kenal umur.
Ketika dosen sabar menghadapi kritik, mahasiswa belajar tentang kedewasaan
berpikir.
11. Penutup: Dosen sebagai Cermin
Nilai Kampus
Kampus bisa punya gedung megah, kurikulum modern, dan teknologi canggih.
Tapi kalau dosennya tidak memberi teladan, semua itu kehilangan ruh.
Dosen adalah wajah moral kampus.
Cara kita bersikap, berbicara, menilai, dan bahkan bercanda — semuanya
membentuk budaya akademik.
Jadi, bagaimana dosen bisa menjadi role model di kampus?
Tidak dengan tampil sempurna, tapi dengan kejujuran, empati, dan
komitmen untuk terus tumbuh.
Karena pada akhirnya, mahasiswa tidak akan selalu ingat teori yang kita
ajarkan, tapi mereka akan selalu ingat bagaimana kita membuat
mereka merasa.
Dan mungkin, di masa depan, ketika mereka sudah jadi profesional, mereka
akan berkata:
“Saya ingin jadi seperti dosen saya dulu.”
Kalimat sederhana, tapi itu adalah penghargaan tertinggi yang bisa diterima
seorang pendidik.

.png)