Menghadapi Burnout dalam Dunia Akademik

 

Pernahkah kamu merasa tiba-tiba kehilangan semangat mengajar, padahal dulu kamu sangat berapi-api setiap kali berdiri di depan kelas? Atau merasa lelah secara emosional setiap kali membuka laptop untuk menyiapkan bahan kuliah? Kalau iya, selamat datang di dunia yang tidak asing bagi banyak akademisi — burnout.

Burnout bukan hanya milik pekerja kantoran atau karyawan startup. Dosen, peneliti, dan tenaga akademik juga punya risiko besar mengalaminya. Bahkan, mungkin lebih besar. Bayangkan saja: setiap semester bergulat dengan beban mengajar, penelitian, administrasi kampus, bimbingan skripsi, pengabdian masyarakat, dan tentu saja—tuntutan publikasi. Rasanya seperti sedang berada di atas treadmill yang tidak pernah berhenti.

Artikel ini bukan sekadar curhatan, tapi juga refleksi dan ajakan untuk menyadari bahwa burnout itu nyata, dan kita perlu belajar cara menghadapinya sebelum semangat akademik kita benar-benar padam.

  

Penerbitan dan Percetakan Buku Cemerlang | CV. Cemerlang Publishing (cvcemerlangpublishing.com)

1. Ketika Semangat Mulai Meredup

Awalnya, semua terasa menyenangkan. Mengajar, berdiskusi dengan mahasiswa, menulis artikel ilmiah, menghadiri seminar—semuanya tampak penuh makna. Tapi seiring waktu, ritme yang cepat dan tekanan yang tinggi mulai menggerogoti energi kita.

Suatu sore, saya pernah duduk di ruang dosen setelah kelas terakhir. Mata masih menatap layar laptop, tapi kepala sudah seperti berhenti berpikir. Di sebelah, rekan dosen menghela napas panjang sambil berkata pelan, “Kayaknya aku capek, bukan karena kerjaan, tapi karena semua ini nggak berhenti-berhenti.”

Kalimat itu menampar. Karena ternyata, rasa lelah bukan cuma dari banyaknya tugas, tapi dari perasaan tidak pernah benar-benar selesai. Ada email mahasiswa yang belum dibalas, laporan penelitian yang belum direvisi, artikel jurnal yang masih ditolak, dan entah apa lagi.

Inilah titik di mana banyak akademisi mulai masuk ke fase burnout tanpa sadar. Kita tetap datang ke kampus, tetap mengajar, tetap tersenyum di depan mahasiswa—tapi di dalam hati ada kekosongan yang sulit dijelaskan.

 

2. Burnout Itu Seperti Api yang Padam Perlahan

Kalau stres ibarat nyala api yang besar dan menyala terang, maka burnout adalah bara yang perlahan meredup tanpa disadari. Ia tidak datang tiba-tiba. Dia muncul pelan-pelan—mulai dari rasa bosan, lelah, lalu kehilangan makna.

Kamu mungkin mulai sering berkata dalam hati:

·         “Ah, nanti saja revisinya.”

·         “Sudah capek, mau tidur saja dulu.”

·         “Buat apa sih repot-repot, toh hasilnya juga nggak dihargai.”

Lambat laun, kita mulai menjauh dari hal-hal yang dulu kita cintai. Mengajar yang dulu jadi momen berharga, kini terasa seperti rutinitas. Menulis artikel yang dulu jadi kebanggaan, kini seperti beban.

Dalam dunia akademik, kondisi ini sangat umum. Tapi ironisnya, jarang dibicarakan. Karena di kampus, kita dituntut untuk selalu produktif, profesional, dan bersemangat. Padahal, manusia juga punya batas.

 

3. Ilustrasi: “Rina dan Kalender Penuh Tugas”

Bayangkan Rina, seorang dosen muda. Setiap hari kalendernya penuh. Senin mengajar dua kelas, Selasa bimbingan skripsi, Rabu rapat penelitian, Kamis seminar, Jumat revisi laporan pengabdian, dan Sabtu? Workshop lagi.

Awalnya, Rina merasa hebat—produktif dan dihargai. Tapi beberapa bulan kemudian, tubuhnya mulai protes. Ia sering pusing, susah tidur, dan cepat tersinggung. Suatu hari, di tengah kelas, ia lupa menjelaskan satu bagian penting dari materi yang sudah ia kuasai bertahun-tahun.

Setelah kelas, ia duduk diam di mobil. Tidak menangis, tapi hampa. Ia sadar: tubuh dan pikirannya sudah kelelahan. Tapi anehnya, ia tetap merasa bersalah kalau mengambil waktu untuk istirahat.

Cerita Rina ini bukan fiksi sepenuhnya. Banyak dosen di luar sana punya kisah yang mirip. Burnout memang tidak langsung membuat kita berhenti, tapi perlahan membuat kita kehilangan diri sendiri.

 

4. Mengapa Dunia Akademik Rawan Burnout

Ada beberapa alasan kenapa profesi akademik sangat rentan terhadap burnout:

a. Beban Multi-Peran

Dosen bukan hanya pengajar. Ia juga peneliti, pembimbing, panitia kegiatan, pengabdi masyarakat, editor jurnal, bahkan kadang motivator. Semua peran itu datang bersamaan, dan sering tanpa batas waktu yang jelas.

b. Tekanan Publikasi

Kata “publikasi” sering menjadi momok. Target artikel jurnal terindeks, laporan penelitian, dan luaran-luaran lainnya bisa menjadi sumber stres luar biasa, apalagi jika tidak diimbangi dengan dukungan memadai.

c. Kurangnya Dukungan Emosional

Di banyak kampus, isu kesehatan mental masih dianggap tabu. Dosen yang merasa lelah kadang dianggap “tidak profesional”. Padahal, semua orang butuh ruang aman untuk berbagi tanpa takut dihakimi.

d. Perfeksionisme Akademik

Banyak akademisi merasa harus selalu sempurna—materi harus lengkap, tulisan harus sempurna, pengajaran harus memukau. Padahal, standar tinggi tanpa istirahat hanya membuat kita mudah jatuh.

 

5. Tanda-Tanda Burnout yang Sering Diabaikan

Sebelum terlambat, kita perlu mengenali sinyal-sinyalnya. Beberapa tanda burnout di dunia akademik antara lain:

·         Merasa lelah terus-menerus meski sudah tidur cukup.

·         Sulit fokus saat mengajar atau menulis.

·         Kehilangan motivasi untuk melakukan hal-hal yang dulu menyenangkan.

·         Sering merasa tidak berguna atau tidak cukup baik.

·         Mulai sinis terhadap mahasiswa atau rekan kerja.

·         Menunda-nunda pekerjaan bukan karena malas, tapi karena benar-benar tidak punya energi.

Kalau beberapa dari tanda di atas terasa familiar, itu bukan berarti kamu gagal. Itu artinya kamu manusia.

 

6. Cara Menghadapi Burnout

Burnout tidak bisa diatasi dengan satu hari libur atau segelas kopi. Tapi ada beberapa langkah kecil yang bisa membantu kita mulai pulih.

a. Berhenti Sejenak Tanpa Rasa Bersalah

Ambil waktu untuk benar-benar beristirahat. Tidak perlu ke luar kota—cukup matikan notifikasi, tinggalkan laptop, dan izinkan diri untuk tidak produktif sebentar. Dunia tidak akan runtuh hanya karena kamu istirahat.

b. Buat Batas yang Jelas

Jangan biarkan pekerjaan akademik mencuri semua waktu pribadimu. Tetapkan jam “selesai kerja” meski di rumah. Kalau jam 8 malam, laptop tutup—ya tutup beneran.

c. Bicarakan dengan Rekan atau Mentor

Kadang, berbagi cerita dengan rekan sejawat bisa meringankan beban. Kamu akan sadar bahwa kamu tidak sendirian, dan banyak yang mengalami hal serupa.

d. Temukan Kembali Makna Mengajar

Ingat lagi alasan awal kamu jadi dosen. Apakah karena ingin berbagi ilmu? Menginspirasi mahasiswa? Kadang, mengingat kembali “mengapa” bisa menghidupkan lagi api semangat yang sempat padam.

e. Lakukan Hal di Luar Akademik

Main gitar, berkebun, melukis, atau sekadar jalan sore tanpa tujuan. Aktivitas yang tidak berhubungan dengan kampus bisa membantu pikiranmu bernapas.

 

7. Ilustrasi: “Budi dan Langkah Kecilnya”

Budi, dosen di sebuah universitas swasta, hampir saja menyerah karena burnout. Tapi suatu hari, ia memutuskan hal sederhana: tidak membuka email setelah pukul 7 malam.

Awalnya sulit, karena ia merasa bersalah. Tapi lama-lama, ia mulai menikmati waktu untuk dirinya sendiri. Ia kembali membaca buku non-akademik, menonton film, dan bahkan menulis puisi lagi—hobi yang dulu ia tinggalkan.

Hasilnya? Ia merasa lebih tenang, lebih segar, dan justru lebih kreatif dalam mengajar. Kadang, yang kita butuhkan bukan perubahan besar, tapi langkah kecil yang konsisten.

 

8. Akademisi Juga Manusia

Seringkali, dosen dipandang seperti mesin pengetahuan: selalu tahu, selalu kuat, selalu siap. Tapi kita juga manusia yang bisa lelah, salah, dan butuh waktu untuk pulih. Mengakui itu bukan kelemahan—itu justru bentuk kebijaksanaan.

Jika dunia akademik ingin terus melahirkan generasi hebat, maka para dosennya juga harus sehat—secara fisik, emosional, dan mental. Karena bagaimana mungkin kita bisa menyalakan api semangat pada mahasiswa, kalau api di dalam diri kita sendiri sudah padam?

 

9. Menutup dengan Kesadaran Baru

Burnout bukan akhir dari perjalanan, tapi sinyal bahwa kita butuh jeda. Dunia akademik memang keras, tapi bukan berarti kita harus kehilangan diri di dalamnya.

Jadi, kalau kamu sedang merasa lelah, cobalah tarik napas panjang dan katakan pada diri sendiri:
“Tidak apa-apa untuk berhenti sebentar. Aku hanya butuh istirahat, bukan menyerah.”

 

Akhir kata, menghadapi burnout adalah bagian dari proses menjadi manusia seutuhnya di dunia akademik. Karena mengajar bukan hanya soal transfer ilmu, tapi juga tentang menjaga keseimbangan diri agar bisa terus memberi makna.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar