Kamu pernah nggak, sebagai dosen, sedang menjelaskan sesuatu dengan percaya
diri—dan tiba-tiba ada mahasiswa yang mengangkat tangan lalu berkata,
“Pak, bukannya sekarang teorinya sudah dikembangkan jadi begini ya?”
Dan ternyata... dia benar.
Kamu terdiam sejenak, senyum kaku, lalu dalam hati berkata, “Astaga,
sejak kapan teori itu berubah?” 😅
Nah, inilah momen yang cukup banyak dialami dosen di era sekarang. Mahasiswa
kita bukan lagi “buku kosong” yang hanya menunggu diisi. Mereka punya akses ke
internet, jurnal, video, forum diskusi, bahkan AI yang
bisa menjelaskan konsep lebih cepat dari buku teks.
Jadi, wajar saja kalau kadang mereka tahu sesuatu lebih dulu dari kita. Tapi
apakah itu berarti dosen sudah kehilangan peran? Tentu tidak. Justru di sinilah
letak tantangan dan keindahan dunia pendidikan modern: bagaimana
dosen belajar untuk tidak selalu menjadi yang paling tahu, tapi menjadi yang
paling mau belajar.
![]() |
Koleksi Buku Terlengkap di Toko Buku Kami | CV. Cemerlang Publishing (cvcemerlangpublishing.com) |
1. Zaman Sudah Berubah, Ilmu Pun
Bergerak Cepat
Dulu, ketika dosen bicara di kelas, mahasiswa mencatat setiap kata seperti
menerima wahyu. Dosen adalah sumber utama pengetahuan. Tapi sekarang, Google
dan YouTube sudah jadi “asisten belajar” mereka setiap hari.
Contoh nyata: seorang mahasiswa teknik bisa tahu algoritma terbaru lewat
video konferensi dari MIT sehari setelah rilis, sementara kita dosennya mungkin
baru sempat baca ringkasannya minggu depan.
Ilmu pengetahuan sekarang bergerak secepat update aplikasi di ponsel. Kalau
dulu revisi kurikulum dilakukan setiap lima tahun, sekarang kadang dalam satu
semester saja materi sudah bisa terasa “usang”.
Jadi, jangan heran kalau mahasiswa kadang lebih cepat menangkap perubahan
itu. Mereka hidup dalam arus informasi yang deras, dan kemampuan mereka
menyerap hal baru sering kali lebih lincah daripada kita yang harus
menyeimbangkan banyak hal: mengajar, meneliti, menulis laporan, dan mengisi absen
(yang entah kenapa selalu error di sistem 😅).
2.
Ilustrasi: Cerita Pak Jaka dan “Teori Baru”
Pak Jaka, dosen muda di jurusan ekonomi, sedang semangat menjelaskan teori supply
and demand klasik. Tiba-tiba, salah satu mahasiswanya, Sinta,
mengangkat tangan.
“Pak, tapi dalam konteks digital economy sekarang, bukankah algoritma dan
data customer juga bisa memengaruhi supply secara real-time? Jadi kurvanya
nggak sesederhana model yang ada di papan, kan?”
Pak Jaka berhenti menulis. Dalam hatinya, dia berpikir, “Lho,
ini kok anak ini paham teori big data lebih dalam dari aku ya?”
Setelah jeda beberapa detik, ia hanya tersenyum dan berkata,
“Iya, kamu benar banget. Saya bahkan belum sempat membaca penelitian terbaru
tentang itu. Mau tolong share link-nya nanti ke teman-teman, biar kita bisa
bahas bareng minggu depan?”
Dan tahu apa yang terjadi? Kelas itu jadi jauh lebih hidup. Mahasiswa merasa
dihargai, dan dosennya pun tidak kehilangan wibawa—justru tambah dihormati.
Kadang, menjadi dosen bukan soal tahu segalanya, tapi soal mau
mendengar dan mengakui bahwa ilmu selalu berkembang.
3. Mengapa Kita Tidak Perlu Takut
“Kalah Pintar”
Ada semacam ketakutan tak terucap di dunia akademik:
“Kalau mahasiswa tahu lebih banyak, berarti aku gagal sebagai
dosen.”
Padahal, tidak begitu.
Dosen bukan pesaing mahasiswa, tapi fasilitator belajar. Kita bukan “puncak
pengetahuan”, tapi “penjaga jalan menuju pengetahuan”.
Bayangkan seorang pelatih sepak bola. Apakah dia harus lebih cepat dari
pemainnya? Tidak. Tapi dia tahu bagaimana membimbing pemainnya agar bisa
bermain lebih baik. Begitu juga dengan dosen.
Kalau mahasiswa punya pengetahuan baru, itu artinya kita berhasil membentuk
generasi pembelajar aktif—bukan generasi yang hanya menunggu disuapi.
4. Mahasiswa Zaman Sekarang:
Belajar dari Banyak Arah
Mahasiswa generasi sekarang (Gen Z dan seterusnya) punya karakter belajar
yang berbeda:
·
Mereka multisumber:
belajar dari video, podcast, media sosial, dan platform daring.
·
Mereka cepat
adaptasi: kalau ada hal baru, langsung dicoba, diulik,
dipraktikkan.
·
Mereka suka
kolaborasi: lebih nyaman belajar dengan diskusi dan proyek tim
daripada mendengar kuliah satu arah.
Dengan kondisi itu, dosen tidak lagi bisa hanya menjadi pemberi
materi, tapi perlu bertransformasi menjadi kurator
informasi dan pemandu refleksi.
Artinya, tugas kita bukan sekadar menyampaikan apa yang benar, tapi membantu
mahasiswa memahami mengapa sesuatu itu
benar, dan bagaimana cara memverifikasi
kebenaran tersebut.
5.
Ilustrasi: Kelas yang Berubah Jadi Diskusi
Saya pernah mengalami momen menarik di kelas Psikolinguistik.
Saya sedang menjelaskan teori pemerolehan bahasa dari Chomsky, tentang Language
Acquisition Device (LAD). Salah satu mahasiswa mengangkat tangan:
“Pak, saya baca artikel di jurnal Frontiers in Psychology,
katanya sekarang konsep LAD itu sudah mulai diganti dengan pendekatan berbasis
jaringan saraf otak. Apa benar, Pak?”
Dalam hati saya berkata, “Waduh, anak ini baca jurnal
internasional di semester empat, luar biasa!”
Alih-alih menjawab panjang lebar, saya malah balik bertanya:
“Bagus sekali kamu sudah baca. Coba ceritakan sedikit, bagaimana teori baru
itu menjelaskan pemerolehan bahasa?”
Hasilnya? Diskusi yang luar biasa. Mahasiswa lain ikut bertanya, kami buka
jurnalnya bersama, dan kelas berubah jadi forum ilmiah mini. Saya tidak lagi
“mengajar sendirian”, tapi “belajar bersama”.
Dan anehnya, kelas seperti itu jauh lebih hidup dan bermakna.
Ternyata, ketika dosen mau sedikit menurunkan ego, justru suasana belajar
menjadi lebih menyenangkan.
6. Apa
yang Bisa Dosen Pelajari dari Mahasiswa yang Lebih Pandai
Nah, daripada merasa “terancam”, ada banyak hal yang justru bisa kita
pelajari dari mahasiswa masa kini:
a. Keingintahuan yang Tak Terbatas
Mahasiswa sekarang tidak takut bertanya, bahkan tentang hal yang belum tentu
ada jawabannya. Ini mengingatkan kita bahwa sains selalu bergerak karena rasa
ingin tahu.
b. Kecepatan Adaptasi Teknologi
Mereka cepat beradaptasi dengan teknologi baru: dari AI, coding, hingga
tools analisis data. Kadang, mereka bisa jadi “mentor kilat” bagi kita dalam
hal ini.
c. Keberanian Berpendapat
Banyak mahasiswa sekarang berani berargumen dan mengkritisi teori lama. Ini
bagus, karena berpikir kritis adalah inti dari pendidikan tinggi.
d. Keterbukaan Terhadap Kolaborasi
Mereka tidak segan belajar dari siapa pun, tidak peduli umur, jabatan, atau
status. Semangat kolaboratif ini bisa jadi inspirasi dalam dunia akademik yang
kadang masih terlalu hierarkis.
7.
Tantangan: Ego Akademik yang Perlu Dikelola
Namun tentu saja, tidak semua dosen mudah menerima situasi ini. Kadang ada
rasa tidak nyaman saat “dikoreksi” mahasiswa.
Saya pernah mendengar cerita dari seorang dosen senior yang kesal karena
mahasiswa mempertanyakan teori yang ia pegang teguh selama 20 tahun. Padahal,
ilmu memang berevolusi.
Masalahnya bukan di mahasiswa yang bertanya, tapi di ego kita yang belum
siap berubah.
Menjadi akademisi sejati berarti siap untuk tidak selalu benar.
Bahkan, siap untuk dikoreksi oleh generasi yang kita ajar sendiri. Karena
bukankah itu tanda bahwa kita berhasil?
Kita mendidik orang-orang yang akhirnya bisa melampaui kita.
8. Bagaimana Menyikapi Mahasiswa
yang Lebih Pintar
Berikut beberapa sikap yang bisa kita terapkan:
1. Terima dengan Lapang Dada.
Anggap itu kesempatan belajar, bukan ancaman.
2. Ajak Diskusi, Bukan Debat.
Gunakan pertanyaan balik seperti, “Menarik, bisa jelaskan lebih lanjut?” untuk
menumbuhkan dialog ilmiah.
3. Berikan Ruang untuk Eksplorasi.
Kalau mereka punya topik baru, jadikan itu proyek kecil atau tugas khusus. Ini
menumbuhkan rasa tanggung jawab ilmiah.
4. Jaga Wibawa dengan Kerendahan Hati.
Wibawa bukan datang dari banyaknya pengetahuan, tapi dari kemampuan untuk
menghargai pengetahuan orang lain.
9.
Ilustrasi Penutup: “Dosen dan Murid yang Bertukar Peran”
Suatu hari, di kelas Digital Literacy, saya meminta mahasiswa mempresentasikan
topik tentang AI. Salah satu dari mereka, Dani, menampilkan simulasi interaktif
menggunakan ChatGPT API untuk risetnya.
Saya yang belum pernah mencoba sejauh itu hanya bisa tersenyum sambil berpikir,
“Wah, ini keren banget.”
Setelah presentasi, saya bilang,
“Dani, minggu depan kamu jadi co-trainer, ya. Ajar saya dan teman-teman
dosen cara pakai fitur itu.”
Seluruh kelas tertawa, tapi juga bangga. Dani senang karena merasa dihargai,
dan saya senang karena belajar hal baru.
Hari itu saya sadar: menjadi dosen bukan tentang menjadi yang paling tahu, tapi
yang paling mau tumbuh.
10. Penutup: Dosen yang Belajar,
Mahasiswa yang Menginspirasi
Di dunia yang serba cepat ini, peran dosen tidak lagi sebagai “sumber ilmu
tunggal”, tapi sebagai “penjaga semangat belajar”.
Mahasiswa yang lebih pandai bukan ancaman, tapi hadiah—mereka adalah cermin
bahwa pendidikan berhasil.
Jadi, kalau suatu hari kamu dikoreksi mahasiswa, jangan buru-buru merasa
kecil. Tersenyumlah, dan katakan:
“Terima kasih, kamu sudah membuat saya belajar sesuatu hari ini.”
Karena di ujungnya, belajar adalah proses dua arah.
Dan mungkin, itulah makna sejati dari menjadi seorang pendidik di era modern—bukan
yang paling pintar, tapi yang paling terus belajar.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar