Coba bayangkan ini:
Seorang dosen berdiri di depan kelas dengan semangat membara, menulis teori di
papan tulis dengan spidol hitam. Di bangku depan, beberapa mahasiswa sibuk
mencatat… tapi di bangku belakang, sebagian lain justru sibuk mengetik di
laptop.
Sang dosen sempat berpikir, “Wah, rajin sekali mereka mencatat.” Tapi begitu
mendekat, ternyata mereka sedang browsing ChatGPT, YouTube,
dan Google Scholar—mencari referensi tambahan tentang topik yang sedang
dijelaskan. Bahkan, ada yang sudah menemukan penelitian terbaru yang belum
pernah dosennya baca.
Inilah realita dunia pendidikan hari ini: era digital.
Dan mau tidak mau, kita semua—terutama para pendidik—harus menjawab satu
pertanyaan besar:
👉 Apakah kita siap
beradaptasi, atau akan tertinggal?
Penerbitan dan Percetakan Buku Cemerlang | CV. Cemerlang Publishing (cvcemerlangpublishing.com)
1. Dunia Kelas Sudah Berubah
Kalau dulu mengajar berarti berdiri di depan papan tulis dan memberi
ceramah, sekarang “kelas” bisa ada di mana saja: di Zoom, Google Meet, LMS,
YouTube, bahkan TikTok.
Mahasiswa tidak lagi terbatas pada ruang empat dinding. Mereka bisa belajar
kapan saja, dari siapa saja, dan tentang apa saja.
Contoh kecilnya, seorang mahasiswa jurusan komunikasi bisa menonton kuliah
gratis dari Harvard di YouTube, lalu membandingkannya dengan materi dosennya di
kampus lokal.
Bukannya tidak menghormati dosennya, tapi mereka terbiasa hidup di dunia multisumber.
Artinya, otoritas dosen sebagai satu-satunya
sumber ilmu sudah bergeser.
Dosen bukan lagi "pemberi pengetahuan", tapi "pemandu pembelajaran".
Dan ini menuntut cara berpikir baru.
2.
Ilustrasi: Cerita Bu Rara dan Proyektor yang Tak Kunjung Nyala
Suatu pagi, Bu Rara, dosen muda di sebuah universitas, datang ke kelas
dengan semangat membawa PowerPoint keren. Begitu
masuk, ia berkata,
“Anak-anak, hari ini kita pakai presentasi interaktif ya!”
Sayangnya, nasib berkata lain. Proyektor kelas tidak mau nyala. Colokan
rusak, kabel VGA hilang, dan jaringan Wi-Fi lemot. Mahasiswa sudah mulai
gelisah, beberapa malah asyik membuka HP.
Akhirnya Bu Rara memutuskan untuk berimprovisasi. Ia berkata,
“Oke, siapa di sini yang punya akses internet stabil? Tolong buka link ini,
kita belajar bareng lewat padlet online.”
Hasilnya? Kelas justru lebih hidup. Mahasiswa antusias mengirim ide mereka
di layar masing-masing.
Dari situ, Bu Rara belajar satu hal penting: teknologi tidak selalu
sempurna, tapi adaptasi dan kreativitas adalah kunci.
3.
Mahasiswa Digital Natives, Dosen Digital Migrants
Generasi mahasiswa sekarang disebut digital natives—mereka
lahir dan tumbuh dengan teknologi di tangan. Sejak kecil mereka sudah akrab
dengan internet, smartphone, dan media sosial.
Sementara sebagian besar dosen adalah digital migrants—lahir
di zaman analog, baru pindah ke dunia digital ketika sudah dewasa. Akibatnya,
sering ada “kesenjangan budaya” di kelas.
Contoh:
·
Dosen masih suka memberi
tugas “tulis tangan di kertas folio”
·
Mahasiswa bertanya, “Pak,
boleh dikumpul lewat Google Docs aja?”
·
Dosen menjawab, “Tidak
bisa, nanti saya nggak bisa coret pakai pulpen merah.”
Padahal, mahasiswa justru lebih nyaman bekerja secara kolaboratif dan
digital. Di sinilah letak tantangannya: bukan hanya soal kemampuan teknologi,
tapi soal cara berpikir.
4.
Mengapa Adaptasi Itu Penting
Mengajar di era digital bukan berarti harus jago coding, bisa pakai semua
aplikasi, atau paham algoritma AI. Tapi yang paling penting adalah mindset-nya:
mau belajar hal baru dan tidak takut mencoba.
Karena kalau tidak, dunia akan bergerak lebih cepat dari kita.
Bayangkan ini:
·
Mahasiswa menulis esai
dengan bantuan AI writing assistant, tapi
dosennya masih menilai tulisan seolah-olah semua murni buatan tangan.
·
Dosen menyuruh mahasiswa
mencari buku di perpustakaan fisik, sementara mahasiswa sudah menemukan versi
PDF-nya dengan fitur pencarian cepat.
·
Dosen memberi tugas
presentasi dengan PowerPoint, tapi mahasiswa
justru membuat video interaktif di Canva atau CapCut yang jauh lebih menarik.
Kalau kita tidak beradaptasi, bukan hanya kita yang tertinggal—tapi juga kualitas
pembelajaran yang kita berikan.
5.
Ilustrasi: Pak Amir dan Mahasiswa YouTuber
Pak Amir adalah dosen sastra di sebuah kampus swasta. Ia sudah mengajar 20
tahun dengan gaya klasik: ceramah dan diskusi. Suatu hari, ia meminta mahasiswa
membuat tugas analisis puisi.
Namun, salah satu mahasiswa—Rafi—tidak mengumpulkan tulisan. Ia malah
membuat video analisis puisi di YouTube dengan gaya santai, lengkap dengan efek
visual dan narasi indah.
Pak Amir awalnya kesal, “Ini bukan tugas yang saya minta.” Tapi setelah
menonton videonya, ia kagum: analisisnya tajam, pembawaannya menarik, dan
ditonton ribuan orang.
Akhirnya Pak Amir sadar, mungkin cara mahasiswa belajar sudah
berubah.
Tugasnya sebagai dosen bukan lagi menilai format, tapi menghargai
proses berpikir dan kreativitas.
6. Cara
Dosen Beradaptasi di Era Digital
Berikut beberapa langkah realistis (dan tidak terlalu menakutkan) agar dosen
bisa tetap relevan di dunia yang serba digital:
a. Mulai dari yang Sederhana
Tidak perlu langsung bikin channel YouTube atau podcast. Mulailah dari hal
kecil: gunakan Google Classroom, Padlet,
Mentimeter, atau Quizizz
untuk membuat interaksi lebih hidup.
b. Gunakan Teknologi Sebagai Alat, Bukan
Tujuan
Teknologi hanyalah sarana. Yang penting adalah bagaimana
kita menggunakannya untuk mendukung pembelajaran. Gunakan video, forum online,
atau simulasi digital untuk memperkuat konsep, bukan sekadar “pamer
kecanggihan”.
c. Belajar dari Mahasiswa
Tidak perlu gengsi minta tolong ke mahasiswa kalau ada fitur yang tidak kita
pahami. Percaya deh, mereka justru senang kalau bisa membantu dosennya “naik
level”.
d. Berkolaborasi dengan Dosen Lain
Buat komunitas kecil di kampus untuk saling berbagi tips digital teaching.
Kadang satu ide sederhana bisa menginspirasi banyak orang.
e. Bangun Identitas Digital Positif
Jadilah dosen yang aktif berbagi di media sosial profesional seperti
LinkedIn, ResearchGate, atau blog pribadi. Mahasiswa akan melihat bahwa
dosennya bukan hanya mengajar, tapi juga belajar dan
berkontribusi.
7.
Tantangan Nyata: Antara Adaptasi dan Overload
Tentu saja, tidak semua hal di era digital itu indah. Ada juga tantangan
yang bikin kepala cenat-cenut:
·
Tugas
administratif digital yang makin rumit.
Upload di SIAKAD, isi e-learning, unggah laporan penelitian, semua serba online
tapi sistemnya sering error.
·
Tekanan
untuk selalu “up to date”.
Kadang kita capek merasa harus tahu semua hal baru: AI, metaverse, AR, VR, dan
entah apa lagi.
·
Kehilangan
kehangatan interaksi langsung.
Mengajar lewat layar tidak bisa menggantikan tatapan mata mahasiswa yang
benar-benar paham (atau mengantuk 😅).
Jadi, adaptasi digital juga perlu keseimbangan. Jangan sampai kita jadi
robot pengajar yang sibuk klik sana-sini tapi lupa makna sesungguhnya dari
mengajar: hubungan manusia.
8.
Ilustrasi: “Zoom Fatigue dan Kopi Dingin”
Pandemi sempat membuat semua dosen “dipaksa digital”. Tiap hari Zoom, Google
Meet, dan LMS jadi menu wajib.
Saya masih ingat masa-masa itu. Satu sesi kuliah online bisa sampai 3 jam.
Suara mahasiswa kadang hilang, kamera mati, dan background-nya random—dari
pemandangan pantai sampai dapur.
Di akhir semester, hampir semua dosen mengalami hal yang sama: Zoom
fatigue—kelelahan digital. Kopi di meja sudah dingin, mata
lelah, dan kepala penuh notifikasi.
Tapi dari situ juga banyak pelajaran penting: teknologi bisa membantu, tapi
tetap harus ada sentuhan manusia. Maka ketika
kampus mulai buka kembali, banyak dosen justru memilih model blended
learning—kombinasi online dan tatap muka.
Itu adalah bentuk adaptasi paling sehat: memanfaatkan teknologi
tanpa kehilangan sisi kemanusiaan.
9. Mengajar
= Belajar Ulang
Kalimat sederhana tapi bermakna:
“Dosen yang berhenti belajar, berhenti mengajar.”
Era digital memaksa kita untuk terus belajar ulang—tentang cara
berkomunikasi, cara berpikir, dan cara beradaptasi.
Kita belajar membuat konten, belajar memahami algoritma, belajar menghadapi
mahasiswa yang bisa lebih cepat mengakses jurnal daripada kita.
Tapi jangan salah, mahasiswa juga belajar dari kita: tentang kesabaran,
keikhlasan, dan keteladanan dalam proses belajar itu sendiri.
Jadi, selama kita masih mau berkembang, posisi dosen tidak akan tergantikan
oleh teknologi apa pun.
10. Penutup: Adaptasi atau
Tertinggal
Kita hidup di zaman di mana teknologi bukan lagi pilihan, tapi keharusan.
Namun, yang membedakan manusia dari mesin adalah kemampuan
beradaptasi dengan hati.
Mengajar di era digital bukan soal seberapa canggih perangkat yang kita
pakai, tapi seberapa bijak kita memanfaatkannya untuk membuat pembelajaran
lebih bermakna.
Maka, ketika teknologi terus berlari, jangan panik. Kita tidak harus jadi
yang tercepat, tapi jadilah yang paling lentur—yang mau belajar, mau berubah,
dan mau tumbuh.
Karena di akhir hari, dunia pendidikan bukan hanya tentang siapa yang paling
pintar, tapi siapa yang paling mampu beradaptasi tanpa
kehilangan nurani.
Dan itu, teman-teman, adalah esensi sejati dari mengajar di era
digital.
.png)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar