Pernahkah kamu merasa bahwa dunia kampus — yang seharusnya menjadi ruang paling ideal untuk berpikir bebas, mengembangkan potensi, dan menyalakan semangat ilmiah — justru terasa seperti dunia yang penuh kompromi dan birokrasi?
Banyak orang
membayangkan kampus sebagai tempat di mana gagasan hebat lahir, di mana para
dosen dan mahasiswa berdiskusi tanpa batas, dan di mana kebenaran dicari dengan
jujur. Tapi ketika kita benar-benar hidup di dalamnya, sering muncul satu
kenyataan pahit: antara idealitas dan realitas, sering kali ada jurang yang
cukup dalam.
Artikel ini
mencoba menelusuri dilema itu — bagaimana kehidupan kampus yang ideal sering
kali harus berbenturan dengan kenyataan sehari-hari. Bukan untuk menghakimi,
tapi untuk memahami, dan mungkin mencari sedikit ruang agar idealisme tetap
bisa bernapas di tengah realitas yang keras.
![]() |
Koleksi Buku Terlengkap di Toko Buku Kami | CV. Cemerlang Publishing (cvcemerlangpublishing.com) |
1. Kampus:
Antara Mimpi dan Mesin
Secara
ideal, kampus adalah ruang intelektual — tempat di mana orang belajar
berpikir kritis, berdialog secara terbuka, dan mencari solusi atas persoalan bangsa.
Namun, di balik tembok tinggi gedung rektorat dan ruang kuliah ber-AC, ada
“mesin” besar bernama sistem yang sering kali membuat kampus lebih mirip
kantor daripada rumah ilmu.
“Kampus
seharusnya tempat membebaskan pikiran, bukan mengekangnya dengan administrasi,”
kata seorang dosen muda suatu hari saat saya berbincang dengannya di kantin.
Benar juga.
Dosen disibukkan dengan laporan, borang akreditasi, dan publikasi jurnal;
mahasiswa dikejar tugas dan jadwal kuliah yang padat.
Lama-kelamaan, kampus kehilangan rohnya sebagai tempat untuk berpikir mendalam.
Semua serba cepat, serba formal, serba “target”.
Idealitasnya: kampus
mencetak manusia berpikir.
Realitasnya: kampus mencetak manusia berformat.
2.
Mahasiswa: Antara Semangat dan Tuntutan
Mahasiswa idealnya
adalah insan pencari ilmu sejati — kritis, aktif, peduli sosial, dan berani
menyuarakan kebenaran. Tapi sekarang, tak bisa dipungkiri, banyak yang terjebak
dalam pusaran realitas: biaya hidup, tekanan keluarga, dan tuntutan ekonomi.
Contoh
sederhana:
Dulu, banyak mahasiswa yang aktif di organisasi, ikut demonstrasi, menulis
opini di koran kampus, atau berdiskusi sampai larut malam.
Sekarang, sebagian besar lebih fokus mencari side job agar bisa bertahan
di kota, atau menjadi content creator untuk menambah uang saku.
Bukan salah
mereka.
Mereka hanya beradaptasi dengan dunia yang makin keras dan pragmatis.
Namun, di sisi lain, hal ini perlahan membuat kampus kehilangan “roh
pergerakan”-nya.
Mahasiswa
ideal di atas kertas kadang tak punya ruang dalam realitas ekonomi yang
menekan.
Mereka ingin berpikir besar, tapi harus memikirkan makan.
3. Dosen:
Antara Dedikasi dan Tekanan Sistem
Kalau
mahasiswa hidup dalam tekanan ekonomi, dosen hidup dalam tekanan administratif.
Setiap semester, ada target publikasi, angka kredit, penelitian wajib,
pengabdian masyarakat, dan seabrek laporan yang harus disetor.
Sampai
akhirnya, waktu untuk mengajar dengan hati menjadi barang langka.
Padahal, idealnya dosen adalah pendidik sejati yang hadir untuk menuntun dan
menginspirasi mahasiswa, bukan sekadar menyampaikan materi lalu menilai ujian.
Ilustrasi
kecil:
Dulu, Pak
Ahmad — dosen filsafat — suka mengajak mahasiswanya berdiskusi di bawah pohon
beringin belakang kampus.
Topiknya bebas, dari politik sampai kehidupan. Mahasiswa merasa dekat dan
banyak belajar.
Tapi
sekarang, ia jarang punya waktu. Ada jadwal rapat, revisi laporan penelitian,
dan tenggat publikasi jurnal.
“Diskusi nanti saja, ya, anak-anak,” katanya sambil tergesa.
Idealitasnya:
dosen sebagai guru dan pembimbing.
Realitasnya: dosen sebagai pekerja administrasi pendidikan.
4. Dunia
Akademik yang Kadang Tak Seindah Teori
Kampus
sering bicara tentang nilai-nilai luhur: kejujuran, integritas, dan
obyektivitas. Tapi dalam praktiknya, ada saja kisah tentang plagiarisme,
politik jabatan, atau penelitian asal jadi.
Ada dosen
yang sibuk menulis jurnal internasional, tapi tidak punya waktu membaca tugas
mahasiswanya dengan sungguh-sungguh.
Ada mahasiswa yang mencontek makalah, tapi tetap mendapat nilai bagus karena
tugas dosen hanya menilai format, bukan isi.
Di sinilah
muncul dilema besar: bagaimana mempertahankan idealisme akademik dalam sistem
yang sering kali lebih menghargai hasil daripada proses?
Kampus yang
seharusnya menjadi penjaga moral intelektual, kadang justru terjebak dalam
permainan angka dan sertifikat.
Akreditasi jadi tujuan, bukan kualitas.
5.
Penelitian: Antara Inovasi dan Formalitas
Dalam
idealitasnya, penelitian di kampus adalah upaya menemukan kebenaran baru
dan memecahkan masalah masyarakat.
Tapi dalam realitasnya, penelitian sering kali hanya jadi syarat administratif
— untuk kenaikan pangkat, atau untuk memenuhi laporan hibah.
Banyak dosen
mengeluh, “Penelitian sekarang bukan lagi karena rasa ingin tahu, tapi karena
kewajiban.”
Padahal,
ilmu berkembang dari keingintahuan yang tulus, bukan dari laporan 20
halaman yang disusun terburu-buru menjelang tenggat.
Begitu juga
mahasiswa. Skripsi sering dianggap “ritual akhir” ketimbang “proses belajar
ilmiah”. Banyak yang hanya ingin cepat selesai, bukan ingin memahami.
Di sini,
idealisme akademik berhadapan langsung dengan realitas pragmatis.
Dan sering kali, realitas menang.
6.
Organisasi Mahasiswa: Dari Gerakan ke Formalitas
Dulu,
organisasi mahasiswa dikenal kritis, vokal, dan punya pengaruh besar terhadap
kehidupan kampus dan sosial. Mereka berdiskusi, menulis, dan bahkan berdebat
soal arah bangsa.
Sekarang,
sebagian organisasi lebih sibuk mengurus proposal kegiatan, surat menyurat, dan
laporan pertanggungjawaban dana.
Diskusi diganti seminar, orasi diganti dokumentasi.
Bukan
berarti generasi sekarang tidak peduli — hanya saja semangat idealisme itu kini
harus bersaing dengan dunia digital, eksistensi sosial media, dan tekanan
akademik.
Mahasiswa
yang ideal di mata sistem adalah mahasiswa yang “tertib dan berprestasi”, bukan
yang kritis dan banyak bertanya.
Akibatnya,
ruang dialog di kampus makin sempit.
Padahal, dari sanalah pemikiran besar seharusnya tumbuh.
7. Dosen dan
Mahasiswa di Tengah Persimpangan
Di satu
sisi, dosen ingin mempertahankan idealismenya: mengajar dengan hati, meneliti
dengan jujur, membimbing mahasiswa dengan sabar.
Tapi di sisi lain, realitas birokrasi membuat semua harus serba efisien dan
terukur.
Begitu pula
mahasiswa: ingin berproses dengan ideal, tapi realitas ekonomi dan sosial membuat
mereka harus “realistis”.
Keduanya akhirnya bertemu di titik kompromi: cukup lulus, cukup nilai, cukup
publikasi.
Kata “cukup”
di sini menjadi simbol realitas yang membatasi ruang idealisme.
8. Di Balik
Semua Itu, Masih Ada Harapan
Meski banyak
dilema dan paradoks di dunia kampus, bukan berarti idealisme sudah mati.
Masih banyak dosen yang tetap mengajar dengan hati, walau lelah dengan
administrasi.
Masih banyak mahasiswa yang tetap berpikir kritis, meski hidupnya tidak mudah.
Misalnya,
sekelompok mahasiswa di sebuah kampus kecil di daerah Mandar membuat komunitas
“Ruang Inspirasi”.
Mereka mengumpulkan buku, mengajar anak-anak di desa, dan berdiskusi setiap
minggu.
Tak ada pendanaan besar, tak ada sertifikat, hanya semangat untuk berbagi.
Itu bukti bahwa
api idealisme belum padam — ia hanya redup di tengah angin realitas,
tapi masih menyala di hati orang-orang yang tulus.
9. Mencari
Titik Temu: Realisme yang Bernurani
Mungkin kita
tidak bisa memaksa kampus kembali sepenuhnya ke idealisme utopis. Dunia
berubah, tuntutan pun berubah. Tapi bukan berarti kita harus menyerah
sepenuhnya pada realitas yang kering makna.
Yang
dibutuhkan adalah realisme yang bernurani — kemampuan untuk tetap
menjaga nilai, meski berada dalam sistem yang kompleks.
Misalnya:
- Dosen bisa tetap menulis jurnal, tapi juga
menulis di hati mahasiswanya.
- Mahasiswa bisa tetap mencari uang, tapi juga
meluangkan waktu berpikir kritis.
- Kampus bisa tetap menuntut laporan, tapi jangan
lupa memberi ruang untuk kebebasan akademik.
Idealitas
dan realitas tidak harus saling meniadakan — keduanya bisa berjalan
berdampingan jika ada niat untuk menjaga keseimbangan.
10. Penutup:
Kampus Adalah Cermin Masyarakat
Kampus bukan
dunia yang terpisah dari realitas sosial; ia adalah miniatur masyarakat itu sendiri.
Jika kampus penuh kompromi, mungkin karena masyarakat juga begitu.
Jika kampus kehilangan idealismenya, mungkin karena kita semua mulai lelah
memelihara mimpi.
Namun,
selama masih ada satu dosen yang mengajar dengan hati, satu mahasiswa yang
belajar dengan jujur, dan satu ruang kecil di mana pikiran bebas berdiskusi —
maka idealitas masih hidup.
Kampus akan
selalu jadi tempat penting bagi lahirnya perubahan, asal kita tidak berhenti
memperjuangkan nilai-nilai yang benar.
“Idealitas
mungkin tak selalu menang,
tapi tanpa idealitas, kita tak akan pernah tahu ke mana arah kita berjalan.”
Ilustrasi
sederhana:
Bayangkan kampus sebagai perahu di tengah lautan luas.
Idealitas adalah kompasnya — menunjukkan arah.
Realitas adalah ombaknya — mengguncang, kadang memaksa kita berbelok.
Tugas kita bukan membuang kompas, tapi belajar menavigasi di antara ombak,
agar kapal tetap menuju tujuan yang benar.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar