Menghadapi Mahasiswa Gen Z: Tantangan dan Peluang Baru

Kalau kamu dosen atau pengajar hari ini, pasti sudah mulai sadar bahwa mahasiswa zaman sekarang berbeda banget dibandingkan generasi sebelumnya. Cara mereka belajar, berkomunikasi, bahkan bereaksi terhadap tugas dan teguran — semua terasa “unik” (kadang bikin kagum, kadang bikin pusing).

Ya, mereka adalah Generasi Z — generasi yang lahir kira-kira antara akhir 1990-an sampai awal 2010-an.
Mereka tumbuh di era internet, media sosial, dan serba digital.
Mereka multitasking, kritis, ekspresif, tapi juga… sensitif dan gampang bosan.

Nah, di sinilah tantangan dan peluang baru muncul.
Menghadapi mahasiswa Gen Z bukan cuma soal bagaimana kita menyampaikan materi, tapi juga bagaimana kita memahami cara pikir dan cara hidup mereka.

Mari kita bahas, dengan santai tapi mendalam, seperti kita ngopi sore di kantin kampus.

 

Penerbitan dan Percetakan Buku Cemerlang | CV. Cemerlang Publishing (cvcemerlangpublishing.com)

1. Siapa Sebenarnya Mahasiswa Gen Z Itu?

Sebelum mengeluh “aduh, anak sekarang susah diajarin,” ada baiknya kita pahami dulu siapa mereka.

Gen Z adalah generasi yang:

  • Digital native — sejak kecil sudah akrab dengan gawai dan internet.
  • Cepat tanggap tapi cepat bosan — mereka terbiasa dengan informasi instan.
  • Kritis tapi kadang emosional — suka mempertanyakan, tapi sensitif terhadap kritik.
  • Peduli isu sosial — mereka vokal soal keadilan, lingkungan, dan hak asasi.
  • Multitasking tapi mudah terdistraksi — bisa mendengarkan dosen sambil buka TikTok dan membalas DM di waktu bersamaan.

Mereka bukan generasi yang mau sekadar “mendengar”, tapi ingin berpartisipasi.
Mereka tidak puas dengan “karena ini sudah aturan”, tapi ingin tahu “mengapa begitu?”.

 

2. Tantangan: Ketika Dosen Berbicara, Mereka Scroll Layar

Mari jujur: di kelas, berapa kali kamu lihat mahasiswa yang matanya fokus ke bawah, bukan ke depan?
Kadang mereka memang mencatat di HP, tapi sering juga sedang buka Instagram, LINE, atau game ringan.

Itu bukan karena mereka tidak hormat. Mereka hanya terbiasa mendapatkan stimulasi cepat dan visual.

Ilustrasi singkat:
Dulu, dosen menjelaskan panjang lebar dengan kapur di papan tulis, mahasiswa mencatat rapi di buku.
Sekarang, dosen baru buka slide kedua, mahasiswa sudah bertanya,
“Pak, boleh langsung ke poinnya aja nggak?”

Ini menggambarkan bahwa pola pikir mereka adalah “langsung ke intinya”, bukan “nikmati prosesnya dulu.”
Bagi dosen yang lahir di generasi sebelumnya, ini bisa terasa seperti kurang sabar. Tapi bagi mereka, itulah cara berpikir yang efisien.

 

3. Tantangan Lain: Mereka Ingin Didengar, Bukan Dinasihati

Mahasiswa Gen Z tidak suka model pengajaran satu arah. Mereka lebih suka dialog daripada ceramah.
Mereka ingin pendapatnya dihargai — meskipun kadang belum terlalu matang.

Jika dosen terlalu kaku, mereka bisa kehilangan semangat.
Tapi jika dosen terbuka untuk berdiskusi, mereka bisa sangat antusias dan kreatif.

Contohnya, ketika membahas topik etika profesional, jangan hanya menjelaskan teori. Ajak mereka berdiskusi,

“Kalau kalian jadi influencer dan ditawari promosi produk yang belum jelas, apa kalian mau?”

Percaya deh, dari situ akan muncul berbagai perspektif menarik.

 

4. Tantangan: Generasi yang Emosional tapi Terbuka

Gen Z tumbuh di era mental health awareness.
Mereka lebih terbuka bicara soal kecemasan, stres, dan tekanan hidup. Tapi di sisi lain, mereka juga lebih sensitif terhadap kritik.

Kalimat seperti “Nilai kamu jelek karena kamu malas” bisa membuat mereka langsung down atau bahkan merasa tidak dihargai.
Mereka butuh bimbingan dengan pendekatan empatik.

Bukan berarti kita harus lembek, tapi cara menyampaikan teguran perlu disesuaikan.
Coba ubah menjadi:

“Kamu sebenarnya bisa, cuma perlu lebih konsisten. Yuk, kita atur strategi biar tugasmu lebih baik.”

Nada yang lebih suportif seperti itu biasanya membuat mereka lebih terbuka untuk memperbaiki diri.

 

5. Peluang: Mereka Kreatif Luar Biasa

Kalau kamu ingin tahu ide segar, tanya mahasiswa Gen Z.
Mereka bisa mengubah tugas kuliah biasa menjadi konten video edukatif, infografik keren, bahkan podcast kecil.

Misalnya, saat diminta membuat makalah tentang komunikasi digital, ada mahasiswa yang justru membuat vlog mini berjudul “Ngomong Sama Algoritma: Cara TikTok Bikin Kita Ketagihan.”
Tugasnya tetap memenuhi kriteria akademik, tapi dikemas dengan cara baru yang relevan.

Inilah peluang besar bagi dosen: menggabungkan kreativitas mereka dengan arah ilmiah.
Kita tinggal menjadi pemandu jalan, bukan pengendali total.

 

6. Peluang: Teknologi Sebagai Jembatan, Bukan Penghalang

Banyak dosen merasa tertinggal karena teknologi berkembang cepat.
Tapi justru di sinilah kuncinya — gunakan teknologi sebagai teman, bukan musuh.

Gunakan media digital dalam proses belajar:

  • Buat polling cepat lewat Mentimeter atau Kahoot.
  • Ajak mereka berdiskusi di grup WhatsApp atau forum daring.
  • Gunakan video pendek sebagai pembuka materi.

Mahasiswa Gen Z lebih mudah menyerap informasi lewat visual dan interaksi digital.
Kalau kita masuk ke “wilayah mereka”, suasana belajar jadi lebih hidup.

 

7. Peluang: Mereka Peduli pada Makna

Berbeda dengan stereotip bahwa anak zaman sekarang hanya peduli pada likes dan followers, banyak dari mereka justru mencari makna dalam apa pun yang dilakukan.

Mereka suka tugas yang berdampak sosial — misalnya proyek pengabdian masyarakat, kampanye lingkungan, atau kegiatan edukasi publik.

Jadi, daripada memberi tugas abstrak seperti “buat makalah tentang etika profesi,”
kenapa tidak ubah jadi:

“Rancang kampanye sosial sederhana tentang pentingnya etika digital di media sosial.”

Dengan begitu, mereka bisa menyalurkan kreativitas sekaligus merasa kontribusinya nyata.

 

8. Tantangan Internal Dosen: Antara Menyesuaikan dan Tetap Tegas

Menghadapi Gen Z bukan berarti dosen harus jadi “kekinian” total.
Kita tidak perlu ikut tren TikTok hanya agar dianggap keren.
Yang penting adalah menyesuaikan pendekatan tanpa kehilangan wibawa.

Bersikap tegas tetap perlu — tapi tegas dengan alasan, bukan karena ego.
Misalnya, kalau mahasiswa terlambat mengumpulkan tugas, jangan langsung berkata,

“Pokoknya saya tidak terima!”
Lebih baik:
“Saya bisa beri kesempatan tambahan kalau kamu bisa tunjukkan progresnya.”

Kita tetap memegang prinsip, tapi memberi ruang belajar.
Itulah keseimbangan antara disiplin dan empati yang sangat dibutuhkan Gen Z.

 

9. Dosen Sebagai Mentor, Bukan Sekadar Pengajar

Bagi Gen Z, dosen ideal bukan yang paling pintar, tapi yang paling mengerti.
Mereka mencari figur yang bisa memberi arah tanpa menggurui.

Kita bisa mulai dengan hal sederhana:

  • Tanyakan pendapat mereka tentang topik tertentu.
  • Ajak mereka berdiskusi santai setelah kelas.
  • Tunjukkan bahwa kita juga manusia yang belajar dan bisa salah.

Dosen yang rendah hati justru lebih dihormati oleh mahasiswa zaman sekarang.
Mereka ingin punya role model, bukan robot pengajar.

 

10. Ilustrasi: “Jembatan Digital di Ruang Kelas”

Bayangkan sebuah ruang kelas:
Di depan, seorang dosen berdiri dengan laptopnya. Di layar, bukan hanya PowerPoint, tapi juga muncul kuis interaktif yang bisa diakses mahasiswa lewat ponsel.
Sambil menjawab, mereka bercanda, tertawa, saling menantang.
Di tengah suasana itu, dosen menjelaskan konsep ilmiah — tapi terasa seperti ngobrol, bukan ceramah.

Inilah bentuk ruang belajar baru di era Gen Z.
Interaktif, fleksibel, dan penuh partisipasi.
Kelas bukan lagi tempat mendengar, tapi tempat berkolaborasi.

 

11. Peluang: Kolaborasi Antar Generasi

Satu hal yang menarik, Gen Z justru senang bekerja dalam tim lintas generasi.
Mereka terbuka terhadap pengalaman dosen senior, asal tidak disampaikan dengan nada menggurui.

Sebaliknya, dosen pun bisa belajar banyak dari mereka — terutama dalam hal teknologi, tren komunikasi, dan cara berpikir kreatif.

Hubungan yang ideal adalah hubungan dua arah:

Dosen berbagi kebijaksanaan, mahasiswa berbagi perspektif baru.

Kalau dua kekuatan ini bersatu, hasilnya luar biasa.

 

12. Menjaga Keseimbangan: Antara Dunia Nyata dan Dunia Maya

Satu hal yang penting diingat: mahasiswa Gen Z hidup di dua dunia — dunia nyata dan dunia maya.
Kadang mereka terlihat aktif di media sosial tapi pasif di kelas.
Tugas dosen adalah membantu mereka menyatukan keduanya.

Misalnya, ketika membahas etika komunikasi, ajak mereka menganalisis fenomena nyata di media sosial.
Atau saat membahas literasi digital, libatkan mereka untuk membuat konten edukatif di platform yang mereka kuasai.

Dengan begitu, belajar tidak terasa “asing” dari kehidupan mereka sehari-hari.

 

13. Penutup: Belajar dari Mereka, Bersama Mereka

Menghadapi mahasiswa Gen Z memang butuh kesabaran ekstra.
Kadang mereka membuat kita geleng-geleng kepala, tapi di sisi lain mereka punya potensi luar biasa.

Mereka cepat belajar, kreatif, dan punya kepekaan sosial yang tinggi.
Tantangannya hanya satu: kita harus mau berubah dulu.

Menjadi dosen di era Gen Z bukan berarti kehilangan otoritas, tapi menemukan cara baru untuk berpengaruh.
Kita bukan lagi pusat pengetahuan, tapi fasilitator pertumbuhan.

Jadi, bukan soal bagaimana membuat mereka seperti kita,
tapi bagaimana kita bisa tumbuh bersama mereka.

 

Ilustrasi Penutup:
Bayangkan sebuah taman.
Dosen adalah tukang kebun yang berpengalaman, tahu cara menanam dan merawat.
Mahasiswa Gen Z adalah bibit-bibit baru yang tumbuh cepat ke segala arah.
Tugas kita bukan memangkasnya agar seragam, tapi mengarahkan agar tumbuh indah dengan caranya sendiri.

Karena pada akhirnya, dunia ini akan mereka warisi — dan tugas kita hanyalah memastikan mereka siap, bukan hanya pintar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar