Halo pembaca setia Ruang Dosen!
Hari ini saya ingin menulis sesuatu yang cukup sering mengganggu pikiran saya
akhir-akhir ini. Bukan soal nilai, bukan soal akreditasi, tapi tentang mental
mahasiswa masa kini — khususnya tentang betapa mudahnya sebagian dari
mereka menyerah hanya karena hal-hal kecil.
Sebagai dosen yang sudah cukup
lama berkecimpung di dunia pendidikan, saya sudah mengalami berbagai macam
generasi mahasiswa. Dari yang dulu masih mencatat dengan pena dan buku tulis
tebal, sampai sekarang yang serba digital — tinggal buka laptop, tablet, atau
ponsel, semua materi sudah tersedia. Tapi dari semua perubahan itu, ada satu
hal yang justru bikin saya makin resah: semakin banyak mahasiswa yang
kehilangan daya juang.
Koleksi Buku Terlengkap di Toko Buku Kami | CV. Cemerlang Publishing (cvcemerlangpublishing.com)
Fenomena: Izin
Karena Hal Sepele
Mari kita mulai dari hal paling
sederhana.
Beberapa tahun lalu, kalau ada mahasiswa tidak masuk kelas, alasannya biasanya
cukup serius — misalnya sakit yang benar-benar membuatnya tidak bisa ke kampus,
atau ada urusan keluarga yang mendesak. Sekarang? Alasannya bisa sangat ringan,
bahkan kadang bikin saya geleng-geleng kepala.
Ada yang izin karena “ban motor
bocor”, ada yang bilang “cuacanya agak kurang enak”, bahkan ada juga yang
mengirim pesan, “Pak, saya kurang mood hari ini.”
Serius. Saya tidak sedang bercanda.
Tentu saya bukan tipe dosen yang
kaku dan tidak memahami kondisi mahasiswa. Saya tahu kadang tubuh butuh
istirahat, saya tahu kadang suasana hati memang bisa berpengaruh pada semangat
belajar. Tapi kalau setiap hambatan kecil langsung dijadikan alasan untuk tidak
hadir, lalu kapan daya tahan mental itu terbentuk?
Yang membuat saya sedih, fenomena
seperti ini justru muncul di tengah segala kemudahan yang sudah kita ciptakan
di dunia pendidikan.
Ketika Dosen
Sudah Siapkan Segalanya
Sebagai dosen, saya merasa punya
tanggung jawab moral untuk memastikan proses pembelajaran berjalan sebaik
mungkin. Saya bukan hanya datang ke kelas dan bicara dua jam, lalu pulang. Di
balik setiap pertemuan, ada banyak hal yang saya siapkan.
Mulai dari buku ajar ber-ISBN
yang saya tulis sendiri agar mahasiswa punya referensi yang kredibel, sampai Rencana
Pembelajaran Semester (RPS) yang saya susun secara sistematis supaya setiap
pertemuan punya arah dan tujuan jelas.
Saya juga menyediakan materi
kuliah dalam bentuk daring, lengkap dengan video, slide, dan catatan
tambahan yang bisa diakses kapan saja. Mahasiswa tidak harus menunggu saya
menjelaskan di kelas untuk bisa belajar — mereka bisa buka materi di rumah, di
kafe, bahkan di perjalanan sekalipun.
Semua itu saya lakukan dengan
satu niat: agar mahasiswa bisa belajar dengan lebih mudah, lebih fleksibel, dan
lebih mandiri. Tapi ironisnya, kemudahan ini justru kadang membuat sebagian
dari mereka menjadi terlalu santai, bahkan kehilangan rasa urgensi untuk
belajar.
Kuliah Bukan
Sekadar Formalitas
Yang paling saya sayangkan adalah
ketika kuliah hanya dianggap sebagai kewajiban administratif.
Banyak mahasiswa datang ke kelas sekadar untuk memenuhi absensi, bukan untuk
menyerap ilmu. Begitu presensi sudah ditandatangani, pikiran mereka melayang ke
tempat lain — ke pekerjaan sambilan, ke media sosial, atau bahkan ke drama
Korea terbaru yang sedang mereka ikuti.
Padahal, kuliah bukan cuma soal
hadir di ruang kelas. Ia adalah proses membangun karakter dan mentalitas.
Kalau mahasiswa hanya datang secara fisik tapi tidak hadir secara mental, maka
kuliah tidak akan memberikan apa-apa selain nilai di atas kertas.
Saya sering bilang di kelas:
“Kalian datang ke kampus bukan
untuk menyenangkan dosen, tapi untuk menyiapkan masa depan kalian sendiri.”
Kalimat itu mungkin terdengar
klise, tapi maknanya dalam sekali.
Banyak mahasiswa tidak menyadari bahwa setiap pertemuan, setiap tugas, dan
setiap diskusi adalah bagian dari proses pembentukan diri. Di dunia kerja
nanti, tidak ada yang akan memeriksa absensi atau menoleransi alasan-alasan
ringan. Dunia profesional hanya mengenal satu hal: tanggung jawab.
Investasi yang
Tak Terlihat
Saya selalu percaya bahwa kuliah
adalah bentuk investasi terbesar yang bisa dilakukan seseorang di usia muda.
Investasi waktu, tenaga, pikiran, dan tentu saja biaya. Semua itu dilakukan
untuk satu tujuan: memperoleh ilmu dan keterampilan yang akan menjadi bekal
masa depan. Tapi sayangnya, banyak mahasiswa tidak menyadari nilai investasi
itu.
Mereka menganggap kuliah seperti
kegiatan rutin yang harus dijalani — datang, duduk, dengar, lalu pulang.
Padahal, investasi pendidikan itu tidak akan memberikan hasil kalau tidak
disertai dengan mental belajar yang kuat dan disiplin yang konsisten.
Ilmu tidak bisa hanya dihafalkan;
ia harus diresapi dan dipraktikkan.
Dan untuk bisa melakukannya, dibutuhkan semangat yang tidak mudah padam —
bahkan ketika dihadapkan pada tantangan kecil sekalipun.
Dunia Kerja
Tidak Akan Ramah
Inilah poin penting yang sering
saya tekankan kepada mahasiswa.
Kalau sekarang masih bisa beralasan “ban bocor”, “hujan deras”, atau “tidak
sempat”, maka mereka sedang menunda pelajaran paling berharga dalam hidup: ketangguhan
mental.
Dunia kerja nanti tidak sebaik
hati dosen.
Tidak akan ada atasan yang mau menunda rapat hanya karena karyawannya “kurang
mood”. Tidak ada perusahaan yang bisa menoleransi alasan “cuaca buruk” untuk
pekerjaan yang tidak selesai. Dunia profesional menuntut tanggung jawab,
komitmen, dan konsistensi.
Dan tempat terbaik untuk belajar
semua itu sebenarnya adalah kampus.
Kampus adalah miniatur kehidupan nyata — tempat di mana mahasiswa bisa jatuh
bangun, gagal, lalu bangkit lagi. Kalau mental tangguh tidak dibangun di sini,
lalu di mana lagi?
Dosen Bukan
Musuh, Tapi Mitra Belajar
Kadang saya merasa hubungan
antara dosen dan mahasiswa mulai bergeser.
Beberapa mahasiswa menganggap dosen sebagai “penghalang kenyamanan” — orang
yang memberi tugas, memberi ujian, dan memberi nilai rendah kalau mereka tidak
memenuhi standar. Padahal, dosen bukan musuh. Kami justru mitra dalam proses
belajar.
Saya pribadi selalu berusaha
terbuka.
Kalau ada mahasiswa yang punya alasan kuat untuk izin, saya bisa memahami.
Kalau mereka kesulitan memahami materi, saya dengan senang hati akan
menjelaskan ulang. Tapi yang saya harapkan hanyalah satu hal sederhana: sikap
tangguh dan tidak mudah menyerah.
Tidak apa-apa kalau gagal. Tidak
apa-apa kalau salah.
Yang penting, jangan berhenti berusaha hanya karena hambatan kecil.
Mengembalikan
Semangat Belajar
Saya tahu, generasi sekarang
hidup di era yang serba cepat dan serba praktis.
Segala sesuatu bisa dicari lewat Google, bisa dipelajari lewat YouTube, bisa
diselesaikan lewat aplikasi. Tapi kemudahan itu sering kali membuat kita
kehilangan esensi dari proses belajar: perjuangan.
Belajar bukan sekadar
mengumpulkan informasi, tapi melatih kesabaran, disiplin, dan kemampuan
berpikir kritis.
Dan proses itu memang tidak selalu menyenangkan. Kadang melelahkan, kadang membosankan,
bahkan kadang bikin frustrasi. Tapi justru di sanalah nilai sejatinya.
Kalau kita bisa bertahan melewati
rasa malas dan hambatan kecil, maka di situlah mental kuat mulai terbentuk.
Dan mental seperti inilah yang akan menuntun kita pada kesuksesan — bukan hanya
di kampus, tapi juga di dunia nyata nanti.
Penutup: Jangan
Menyerah untuk Hal Kecil
Jadi, buat para mahasiswa yang
mungkin membaca tulisan ini, izinkan saya menyampaikan pesan sederhana:
Jangan biarkan hal-hal kecil menghalangi langkah besar kalian.
Ban bocor bisa diperbaiki. Cuaca
buruk bisa dihadapi. Badan lelah bisa diistirahatkan. Tapi kalau mental sudah
menyerah, tidak ada dosen, teman, atau motivator mana pun yang bisa menolong.
Kampus adalah tempat terbaik
untuk belajar, gagal, dan tumbuh.
Gunakan masa ini untuk membentuk diri menjadi pribadi yang tangguh, mandiri,
dan siap menghadapi tantangan hidup. Karena nanti, di dunia nyata, tidak ada
lagi dosen yang menegur kalau kalian absen — hanya ada kenyataan bahwa waktu
tidak akan menunggu siapa pun yang menyerah terlalu cepat.
Mari kita bangun kembali semangat
belajar yang sejati — semangat untuk terus maju, meski kadang jalannya tidak
mudah.
Karena masa depan yang baik bukan milik mereka yang selalu beruntung, tapi
milik mereka yang tidak pernah berhenti berusaha, sekecil apa pun
langkahnya.
✍️ Ditulis oleh: Aco Nasir
Ratte
Blog: Ruang Dosen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar