Kalau ada yang bilang mengajar itu mudah, mungkin dia belum pernah
benar-benar mencobanya.
Mengajar bukan cuma soal berdiri di depan kelas dan menjelaskan materi, tapi
juga tentang memahami manusia, menjaga semangat, dan menyesuaikan diri dengan
dunia yang terus berubah.
Lima tahun mungkin belum lama-lama amat dalam karier seorang dosen, tapi
cukup untuk belajar banyak hal — mulai dari menghadapi mahasiswa yang
superaktif sampai yang “aktif tidur” di kelas, dari persiapan materi yang ideal
sampai menghadapi realitas listrik kampus yang padam di tengah presentasi.
Dalam perjalanan itu, saya menemukan banyak pelajaran berharga — bukan hanya
tentang mahasiswa, tapi juga tentang diri sendiri.
Berikut ini adalah 10 hal yang saya pelajari setelah 5 tahun
mengajar.
Penerbitan dan Percetakan Buku Cemerlang | CV. Cemerlang Publishing (cvcemerlangpublishing.com)
1. Mengajar Itu Tidak Sama dengan Menjelaskan
Dulu saya pikir, kalau saya bisa menjelaskan materi dengan jelas, berarti
saya sudah mengajar dengan baik.
Ternyata tidak.
Mengajar bukan sekadar menjelaskan, tapi menghidupkan
pelajaran itu di benak mahasiswa.
Ada perbedaan besar antara “mengajar” dan “membuat orang belajar.”
Mengajar itu kegiatan dari dosen. Tapi belajar? Itu terjadi di kepala
mahasiswa.
Ilustrasinya begini:
Kita bisa menyalakan lilin (mengajar), tapi kalau mahasiswa menutup matanya
(tidak belajar), ruangan tetap saja gelap.
Jadi, setelah beberapa tahun, saya belajar bahwa tugas dosen bukan hanya
bicara di depan, tapi menciptakan suasana yang membuat
mahasiswa mau membuka mata.
Kadang itu lewat humor ringan, kadang lewat pertanyaan reflektif, kadang juga
lewat contoh yang dekat dengan kehidupan mereka.
2. Mahasiswa Tidak Akan Peduli Seberapa Pintar Anda, Sebelum
Mereka Tahu Anda Peduli
Ini pelajaran paling berharga: peduli dulu, baru
didengar.
Di awal-awal mengajar, saya terlalu fokus membuktikan bahwa saya “menguasai
materi.”
Saya bicara dengan penuh semangat, menulis rumus dan teori di papan, berharap
mahasiswa kagum.
Tapi yang saya dapat? Tatapan kosong.
Baru saya sadar, mahasiswa tidak akan terhubung secara emosional kalau
mereka merasa dosennya hanya ingin “pamer pintar.”
Ketika saya mulai menyapa mereka dengan lebih personal — menanyakan kabar,
mendengarkan keluhan, sesekali bercanda — barulah suasana kelas berubah.
Mahasiswa mulai terbuka, bahkan yang paling pendiam pun mulai berani bertanya.
Pelajarannya sederhana tapi mendalam:
“Hati yang disentuh lebih mudah menerima ilmu.”
3. Persiapan Materi Itu Penting, Tapi Fleksibilitas Lebih
Penting
Di tahun-tahun pertama, saya selalu datang ke kelas dengan catatan super
lengkap.
PowerPoint sudah rapi, urutan materi sudah disusun detil, bahkan waktu per
topik sudah ditentukan.
Tapi sering kali realitas tidak berjalan sesuai rencana.
Proyektor rusak, mahasiswa datang terlambat, atau topik diskusi tiba-tiba
melebar ke hal yang tidak ada di slide.
Awalnya saya panik.
Namun lama-lama saya sadar, kelas terbaik sering kali lahir dari
spontanitas.
Ketika saya memberi ruang untuk tanya jawab bebas, atau membiarkan mahasiswa
saling berdebat dengan sopan, justru di situlah pembelajaran yang hidup
terjadi.
“Rencana itu penting, tapi kemampuan berimprovisasi adalah kunci.”
4. Tidak Semua Mahasiswa Bisa Diperlakukan Sama
Satu kelas bisa berisi mahasiswa dengan latar belakang, karakter, dan cara
belajar yang sangat berbeda.
Ada yang cepat tangkap, ada yang butuh waktu lebih lama.
Ada yang suka diskusi, ada yang lebih nyaman mendengarkan.
Di awal, saya sering frustrasi.
Kenapa materi yang sama bisa dipahami satu kelompok, tapi membingungkan yang
lain?
Baru kemudian saya sadar bahwa mengajar bukan tentang
menyamaratakan, tapi menyesuaikan.
Kadang saya harus mengulang dengan cara berbeda: memakai analogi, permainan,
atau bahkan cerita.
Misalnya saat menjelaskan konsep public speaking, saya tidak lagi
sekadar membahas teori “ethos, pathos, logos”, tapi saya ajak mahasiswa
memerankan adegan “presentasi gagal total.”
Lucu? Iya. Tapi mereka lebih ingat dan paham.
5. Mengajar Itu Lebih Banyak Belajarnya Daripada Mengajarnya
Lima tahun ini membuat saya sadar, dosen bukanlah “pemberi ilmu,” tapi
“pembelajar yang lebih dulu.”
Setiap kali saya menyiapkan materi, saya selalu menemukan hal baru — teori yang
belum saya pahami sepenuhnya, atau isu terkini yang menantang konsep lama.
Bahkan, mahasiswa sering kali menjadi sumber inspirasi.
Pertanyaan-pertanyaan polos tapi tajam dari mereka memaksa saya berpikir ulang.
Kadang saya malah menjawab,
“Pertanyaan bagus, tapi izinkan saya pelajari dulu ya, nanti kita bahas
minggu depan.”
Dan itu tidak membuat saya kehilangan wibawa — justru membuat mereka melihat
bahwa belajar adalah proses tanpa akhir.
6. Nilai Akademik Tidak Selalu Menggambarkan Kemampuan
Sebenarnya
Dulu saya sangat ketat dalam memberi nilai.
Saya berpikir, mahasiswa yang rajin pasti nilainya tinggi, yang malas nilainya
rendah.
Namun, setelah lima tahun, saya melihat banyak cerita lain.
Ada mahasiswa yang nilainya pas-pasan tapi punya etos kerja luar biasa.
Setelah lulus, dia sukses jadi pengusaha.
Ada pula yang dulu selalu dapat A, tapi kesulitan beradaptasi di dunia kerja.
Dari situ saya belajar bahwa nilai bukan tujuan
akhir, melainkan cermin sementara dari proses belajar.
Tugas saya bukan sekadar memberi angka, tapi membantu mahasiswa mengenali
potensinya.
Sekarang, saya lebih suka memberi umpan balik personal daripada hanya angka
di kertas.
Misalnya:
“Kamu sudah bagus di bagian analisis, tapi coba lebih dalam di bagian
refleksi pribadinya.”
Itu lebih manusiawi, dan lebih membangun.
7. Humor adalah Senjata Rahasia di Kelas
Kelas yang tegang itu cepat membuat otak beku.
Saya belajar bahwa sedikit humor bisa menjadi jembatan
komunikasi yang luar biasa.
Bukan berarti harus jadi pelawak, tapi menciptakan suasana yang ringan dan
menyenangkan.
Kadang saya sengaja memulai kelas dengan meme lucu yang relevan dengan materi,
atau cerita kecil tentang pengalaman pribadi.
Contohnya, saat membahas tentang “public speaking”, saya bilang:
“Dulu waktu pertama kali ngajar, suara saya gemetar, tangan dingin, dan
satu-satunya yang saya hafal cuma kalimat pembuka. Setelah itu… blank total.”
Mahasiswa tertawa, dan tiba-tiba mereka jadi lebih terbuka membicarakan
ketakutan mereka sendiri.
Humor membuat kelas terasa manusiawi.
Dan belajar, pada dasarnya, lebih mudah ketika hati sedang senang.
8. Tidak Semua Hal Bisa Diukur dari Absensi dan Tugas
Sistem akademik sering kali menuntut kita untuk mengukur segalanya: nilai,
kehadiran, partisipasi.
Tapi saya belajar bahwa ada hal-hal penting yang tidak tercatat
di lembar nilai.
Misalnya, mahasiswa yang diam tapi selalu memperhatikan, atau yang jarang
bicara tapi mengirim pesan pribadi berisi pertanyaan mendalam.
Atau mahasiswa yang absen karena alasan keluarga tapi tetap berusaha mengejar
materi dengan membaca sendiri.
Saya mulai lebih menghargai usaha
daripada sekadar hasil.
Kadang saya berkata:
“Saya lebih bangga melihat kamu berjuang, daripada melihat nilai A tanpa
usaha.”
Karena pendidikan sejatinya bukan pabrik nilai, tapi proses membentuk
manusia.
9. Rehat Itu Perlu, Supaya Tidak Kehilangan Cinta Mengajar
Tahun-tahun awal, saya sering memforsir diri: membuat materi hingga larut
malam, membimbing mahasiswa tanpa batas waktu, ikut setiap kegiatan kampus.
Saya pikir itu bentuk dedikasi.
Tapi kemudian saya lelah — fisik dan mental.
Saya mulai kehilangan semangat yang dulu membuat saya jatuh cinta pada dunia
pendidikan.
Dari situ saya belajar, dosen juga manusia.
Kita butuh waktu untuk istirahat, membaca buku yang bukan untuk materi kuliah,
atau sekadar jalan sore menikmati udara.
Rehat bukan tanda malas, tapi cara untuk menjaga api agar tidak padam.
Kalau dosen bahagia, energi positifnya juga akan menular ke mahasiswa.
10. Mengajar Itu Panggilan Hati, Bukan Sekadar Profesi
Setelah lima tahun, saya makin yakin: mengajar bukan hanya pekerjaan, tapi panggilan
jiwa.
Tidak semua orang cocok jadi dosen, sama seperti tidak semua orang cocok jadi
dokter atau pengusaha.
Mengajar membutuhkan kesabaran, empati, dan ketulusan yang tidak bisa
dipaksakan.
Karena pada akhirnya, mengajar adalah tentang menyalakan cahaya
dalam diri orang lain, sambil menjaga cahaya dalam diri sendiri agar tidak
padam.
Ilustrasinya seperti lilin yang membakar diri untuk memberi terang.
Namun, bedanya, dosen tidak benar-benar terbakar habis — justru makin menyala
setiap kali melihat cahaya baru muncul dari para mahasiswanya.
Penutup: Lima Tahun, dan Masih Belajar
Lima tahun mengajar telah mengajarkan saya hal yang tidak ada di buku
pedoman dosen:
Bahwa setiap kelas adalah dunia baru, setiap mahasiswa adalah cerita unik, dan
setiap kegagalan adalah kesempatan untuk tumbuh.
Saya mungkin belum menjadi dosen sempurna — dan mungkin tidak akan pernah.
Tapi saya tahu satu hal: selama saya masih mencintai proses
belajar dan berbagi, saya akan terus mengajar dengan hati.
.png)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar