Cerita Dosen Baru: Adaptasi di Tahun Pertama Mengajar
Tahun pertama menjadi dosen adalah masa transisi yang
tidak mudah, sekaligus penuh pembelajaran. Banyak hal yang berubah drastis
ketika seseorang yang sebelumnya menjadi mahasiswa, peneliti, atau praktisi,
tiba-tiba berpindah ke posisi sebagai pengajar di depan kelas. Bagi dosen baru,
tahun pertama sering kali terasa seperti lompatan ke dalam dunia yang penuh
tantangan, harapan, dan kejutan yang tidak terduga.
Tulisan ini merupakan refleksi dari pengalaman pribadi
saya selama tahun pertama menjadi dosen tetap di sebuah perguruan tinggi negeri
di Indonesia. Saya berharap cerita ini bisa menjadi inspirasi, motivasi, atau
bahkan pengingat bagi rekan-rekan sejawat yang tengah atau akan menjalani masa
yang sama.
1. Awal yang
Canggung: Dari Mahasiswa Menjadi “Bapak”
Perubahan paling nyata yang langsung saya rasakan
adalah pergeseran peran. Hanya beberapa bulan setelah menyelesaikan studi
magister, saya resmi bergabung sebagai dosen baru. Rasanya belum lama saya
duduk di bangku kuliah, mendengarkan dosen berbicara di depan kelas—dan kini,
sayalah yang berdiri di sana. Perasaan canggung tidak bisa dihindari, terutama
saat mahasiswa memanggil saya “pak” (karena saya laki), meskipun usia kami
tidak terpaut terlalu jauh.
Rasa tidak percaya diri kerap muncul di awal-awal
perkuliahan. Apakah saya cukup layak? Apakah materi yang saya sampaikan sudah
sesuai? Bagaimana jika saya tidak bisa menjawab pertanyaan mahasiswa?
Kekhawatiran ini menghantui hampir setiap malam sebelum mengajar. Namun saya
belajar bahwa persiapan adalah kunci. Semakin matang saya mempersiapkan materi,
semakin percaya diri saya ketika menyampaikan.
2. Kurikulum, RPS,
dan Administrasi: Dunia Baru yang Harus Dikuasai
Di tahun pertama, saya menyadari bahwa mengajar bukan
sekadar berdiri dan menjelaskan materi. Ada dunia “administratif” yang tidak
pernah diajarkan secara formal di bangku kuliah: menyusun Rencana Pembelajaran
Semester (RPS), mengisi Beban Kinerja Dosen (BKD), membuat soal ujian, menilai
dengan rubrik yang sesuai, hingga menghadiri rapat jurusan dan fakultas yang
kadang memakan waktu berjam-jam.
Saya ingat betul bagaimana paniknya saya saat pertama
kali harus mengisi RPS. Istilah-istilah seperti CPMK, CPL, dan rubrik penilaian
membuat saya kebingungan. Beruntung, ada beberapa senior yang dengan sabar
membimbing saya. Di sinilah saya belajar pentingnya membangun relasi dan
komunikasi yang baik dengan sesama dosen. Mereka bukan hanya rekan kerja, tapi
juga mentor yang membantu saya bertumbuh.
3. Menghadapi
Mahasiswa: Membangun Otoritas tanpa Menjadi Otoriter
Salah satu tantangan besar di tahun pertama adalah
bagaimana membangun otoritas di kelas. Sebagai dosen muda, saya harus menemukan
keseimbangan antara menjadi sosok yang ramah dan tetap dihormati. Sikap terlalu
lembek bisa membuat mahasiswa “semau sendiri”, namun terlalu tegas juga bisa
menciptakan jarak yang membuat komunikasi tidak efektif.
Saya mencoba berbagai pendekatan: membuka sesi
diskusi, memberi tugas yang relevan dengan konteks aktual, dan menyediakan
waktu konsultasi di luar jam kuliah. Ternyata, kehadiran dan keterbukaan saya
lebih dihargai daripada otoritas yang kaku. Mahasiswa lebih mudah terlibat
ketika mereka merasa dihargai pendapatnya.
Namun, tidak selalu berjalan mulus. Pernah ada
mahasiswa yang terang-terangan menyanggah pendapat saya di kelas. Momen itu
membuat saya sadar pentingnya terus belajar dan tidak merasa “paling benar”
hanya karena saya dosen. Saya belajar merespons kritik dengan terbuka, dan
menjadikan itu sebagai bahan refleksi.
4. Mengelola Waktu
dan Energi: Belajar Menjaga Keseimbangan
Tahun pertama juga penuh kejutan dari sisi manajemen
waktu. Tugas mengajar, membuat materi, menilai tugas, mengurus administrasi
kampus, hingga diminta menjadi panitia kegiatan atau pembicara dadakan—semuanya
datang hampir bersamaan. Belum lagi jika sudah menikah atau memiliki tanggung
jawab di rumah.
Awalnya, saya mencoba melakukan semuanya. Akibatnya,
kelelahan fisik dan emosional tak terhindarkan. Saya mulai menyadari pentingnya
menetapkan batas dan mengatakan “tidak” secara bijak. Saya mulai menggunakan
kalender digital untuk mengatur jadwal, menetapkan waktu khusus untuk membaca
jurnal atau menulis artikel, dan tentu saja, menyisihkan waktu untuk
beristirahat dan menjaga kesehatan mental.
5. Dukungan Rekan
Sejawat dan Komunitas: Tidak Harus Sendiri
Salah satu hal paling menenangkan selama tahun pertama
adalah menemukan komunitas dosen muda, baik di kampus maupun di luar kampus,
misalnya lewat media sosial atau forum dosen. Kami saling bertukar cerita,
berbagi tips, bahkan curhat tentang mahasiswa, tekanan akademik, atau
tugas-tugas administratif.
Di sinilah saya menyadari bahwa perasaan bingung,
lelah, atau tidak yakin ternyata juga dirasakan banyak dosen muda lainnya. Saya
tidak sendiri. Justru dari ruang-ruang informal inilah saya menemukan banyak
inspirasi, bahkan kolaborasi penelitian dan pengabdian.
6. Refleksi dan
Pertumbuhan: Dosen Juga Manusia
Setahun mengajar bukan hanya membuat saya lebih paham
soal metode pembelajaran atau teknis administrasi kampus, tapi juga membawa
saya ke proses refleksi yang lebih dalam. Saya belajar bahwa menjadi dosen
bukan hanya soal menyampaikan pengetahuan, tapi juga tentang mendampingi
mahasiswa bertumbuh, menjadi contoh dalam berpikir kritis, bersikap jujur, dan
memiliki integritas.
Saya juga belajar untuk lebih sabar, terbuka terhadap
masukan, dan menyadari bahwa setiap mahasiswa datang dari latar belakang
berbeda. Empati menjadi salah satu keterampilan yang sangat saya butuhkan.
Tentu saja saya belum sempurna. Masih banyak hal yang
ingin saya pelajari: bagaimana membuat kelas lebih interaktif, bagaimana
meneliti dengan lebih produktif, dan bagaimana berkontribusi lebih besar bagi
kampus dan masyarakat. Tapi saya percaya, semua dimulai dari langkah pertama,
dan tahun pertama ini adalah fondasi penting bagi perjalanan saya sebagai
pendidik.
Penutup: Bagi Dosen
Baru, Tidak Perlu Takut Gagal
Menjadi dosen di tahun pertama memang tidak mudah,
tetapi juga sangat berharga. Setiap tantangan yang datang adalah bagian dari
proses belajar dan adaptasi. Jangan takut untuk bertanya, jangan malu untuk
mengakui bahwa kita belum tahu, dan jangan ragu untuk terus mencoba.
Dosen bukan sekadar profesi, melainkan panggilan untuk
membentuk masa depan. Kita tidak hanya mengajar, tapi juga mendidik, memberi
contoh, dan menemani mahasiswa tumbuh.
Untuk Anda yang sedang atau akan memulai tahun pertama
sebagai dosen, yakinlah bahwa perjalanan ini akan memperkaya hidup Anda dengan
cara yang tak terduga. Dan jika merasa lelah, ingatlah: Anda tidak sendirian.
Banyak rekan sejawat yang berjalan bersama Anda, dan kita semua sama-sama
belajar menjadi lebih baik—hari demi hari.
Jika Anda seorang dosen baru atau pernah melewati masa
awal mengajar, silakan bagikan pengalaman Anda di kolom komentar. Cerita Anda
bisa menjadi penyemangat bagi yang lain. Ruang Dosen adalah ruang berbagi,
bertumbuh, dan saling menguatkan.
Komentar
Posting Komentar