Surat Terbuka untuk Mahasiswa Generasi Z
Untuk
kalian, mahasiswa Generasi Z,
Kalian yang lahir dan tumbuh di era digital.
Yang mengenal internet sebelum bisa membaca, yang terbiasa mengetik lebih cepat
daripada menulis tangan. Kalian yang berpikir cepat, punya banyak ide, dan
mampu belajar dari mana saja. Kalian yang saat ini duduk di bangku kuliah,
sebagian besar berusia 18 hingga 24 tahun, dan menjadi bagian dari wajah baru
pendidikan tinggi Indonesia—saya ingin menulis surat ini, dari hati seorang
dosen yang juga terus belajar memahami kalian.
Saya tidak akan memuji atau mengkritik. Saya
hanya ingin menyampaikan perasaan yang mungkin tak sempat saya ungkapkan di
ruang kelas. Surat ini bukan sekadar refleksi, tapi juga ajakan untuk saling
memahami, saling belajar, dan tumbuh bersama dalam perjalanan akademik yang
tidak selalu mudah ini.
Kalian Tumbuh dalam Dunia
yang Berubah Cepat
Saya paham bahwa dunia kalian sangat berbeda
dengan masa ketika saya kuliah dulu. Dulu, kami mencari referensi lewat
perpustakaan fisik, menyalin catatan tangan dari teman, dan mengirim tugas
dalam bentuk cetakan. Sekarang, kalian bisa mengakses jurnal ilmiah dari
ponsel, membuat catatan digital yang bisa dibagikan ke ratusan orang, dan
mengerjakan tugas lewat berbagai aplikasi AI.
Kalian hidup dalam era informasi melimpah, dan
itu bisa menjadi berkah sekaligus tantangan. Kalian lebih cepat belajar, lebih
cepat terhubung, tetapi juga lebih mudah terdistraksi. Kalian terbiasa
multitasking, namun kadang sulit fokus mendalam.
Saya tidak menyalahkan. Dunia kalian memang
seperti itu. Namun, saya ingin mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan tidak selalu bisa diserap dengan cepat. Ia butuh
kedalaman, ketekunan, dan ketenangan—tiga hal yang mulai langka di era
notifikasi dan scroll tanpa henti.
Kalian Punya Suara yang
Berani
Saya mengagumi keberanian kalian menyuarakan
pendapat. Di kelas, kalian tidak segan menyanggah argumen dosen, mempertanyakan
sistem, atau menyuarakan keresahan sosial. Ini adalah sesuatu yang dulu jarang
saya lakukan sebagai mahasiswa.
Kalian punya kesadaran kritis. Kalian peduli
pada isu-isu seperti keadilan, lingkungan, kesehatan mental, dan inklusivitas.
Saya melihat unggahan kalian, tulisan kalian, dan kadang mendengar cerita
pribadi yang menggetarkan.
Namun, saya juga ingin mengingatkan: menjadi kritis bukan berarti menjadi sinis,
dan berani berbicara bukan berarti mengabaikan etika. Gunakan keberanian kalian
untuk membangun, bukan untuk menjatuhkan. Kritik yang baik selalu lahir dari
niat tulus untuk memperbaiki, bukan dari kemarahan semata.
Kalian Sangat Mandiri, Tapi Juga Rentan
Banyak dari kalian adalah pejuang. Kalian
kuliah sambil bekerja, mengelola bisnis daring, menjadi konten kreator, atau
bahkan menjadi tulang punggung keluarga. Saya salut. Kalian membuktikan bahwa
usia muda bukan alasan untuk pasif.
Namun, di balik kemandirian itu, saya tahu
banyak dari kalian juga menyimpan kecemasan,
tekanan, bahkan kelelahan mental. Ada yang merasa kesepian di tengah
keramaian media sosial. Ada yang merasa tidak cukup baik karena membandingkan
diri dengan unggahan orang lain. Ada yang menanggung ekspektasi keluarga yang
berat.
Saya ingin mengatakan ini: tidak apa-apa untuk merasa lelah. Tidak apa-apa
untuk meminta bantuan. Tidak apa-apa jika sesekali gagal. Kuliah bukan
perlombaan, apalagi tentang siapa yang lebih sempurna di permukaan. Kampus
seharusnya menjadi tempat aman untuk kalian belajar menjadi manusia
seutuhnya—termasuk belajar menghadapi kegagalan.
Kami (Dosen) Juga Sedang Belajar Memahami Kalian
Percayalah, menjadi dosen bagi generasi kalian
bukan perkara mudah. Kami dibesarkan dalam budaya yang sangat berbeda—serba
formal, hierarkis, dan berjarak. Kalian lahir dalam budaya yang lebih cair,
terbuka, dan egaliter. Kami terbiasa memberi ceramah, kalian lebih suka
berdiskusi. Kami merasa nyaman dengan struktur, kalian lebih suka
fleksibilitas.
Kadang, kami bingung bagaimana harus bersikap.
Apakah kami terlalu kaku, atau justru terlalu longgar? Apakah kami memberi
ruang yang cukup, atau justru membuat kalian kewalahan? Tapi satu hal yang pasti:
kami ingin kalian berhasil. Kami
ingin melihat kalian tumbuh, bukan hanya secara akademik, tapi juga sebagai
pribadi yang matang.
Jadi, bersabarlah jika kadang kami keliru.
Kami juga manusia. Tapi kami terbuka untuk belajar, jika kalian bersedia mengajak
kami berdialog, bukan hanya menuntut.
Tentang Nilai, Etika, dan Integritas
Di era digital, kalian bisa mengakses ribuan
jawaban dalam hitungan detik. Tapi saya ingin kalian tahu, bahwa menjawab soal bukan hal yang paling penting dalam
kuliah. Yang lebih penting adalah bagaimana kalian berpikir,
menganalisis, mengambil keputusan, dan bertanggung jawab.
Plagiarisme, copy-paste tugas, atau
menggunakan teknologi hanya untuk menghindari kerja keras—semua itu bukan hanya
melanggar aturan, tapi menghancurkan
kepercayaan. Saya tidak akan marah jika kalian bertanya karena tidak
mengerti. Tapi saya akan kecewa jika kalian memilih jalan pintas padahal kalian
mampu lebih baik.
Jaga integritas. Bukan karena takut dosen,
tapi karena kalian ingin menjadi versi terbaik dari diri sendiri.
Gunakan Kebebasan Akademik
dengan Bijak
Salah satu hal terbaik dari menjadi mahasiswa
adalah kebebasan berpikir. Di
kampus, kalian boleh tidak setuju, boleh berpikir beda, boleh mengeksplorasi
gagasan di luar arus utama. Ini adalah hak kalian, dan kami sebagai dosen
berkewajiban menjaganya.
Namun ingat, kebebasan bukan berarti semaunya.
Ia datang bersama tanggung jawab. Belajarlah untuk berpikir terbuka, tapi juga mendalam. Berani berbeda, tapi juga
bersedia mendengar. Jangan buru-buru menghakimi, karena tidak semua
hal bisa dinilai dari satu sudut pandang.
Kami Tidak Ingin Kalian
Menjadi Mesin, Tapi Manusia
Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) penting.
Sertifikat penting. Skill digital penting. Tapi di atas itu semua, kami ingin
kalian menjadi manusia yang utuh:
berpikir kritis, punya empati, bisa berkomunikasi, tahu bagaimana menghadapi
tekanan, dan tidak takut gagal.
Jangan ukur keberhasilan kalian hanya dari
nilai atau ranking. Ukurlah dari bagaimana
kalian berubah menjadi lebih baik setiap hari, bagaimana kalian
memperlakukan orang lain, dan bagaimana kalian membangun makna dari setiap hal
yang kalian pelajari.
Penutup: Mari Kita Belajar Bersama
Mahasiswa Generasi Z yang saya hormati,
Saya tidak menganggap diri saya tahu segalanya
tentang kalian. Saya juga sering salah menilai. Tapi surat ini lahir dari niat
tulus untuk memahami dan menemani kalian. Kita berada di zaman yang sama, hanya
dari generasi yang berbeda. Tapi tujuan
kita sama: menciptakan masa depan yang lebih baik lewat pendidikan.
Mari kita belajar bersama. Bukan hanya soal
teori atau rumus, tapi juga tentang menjadi manusia. Karena pendidikan sejati
adalah ketika dosen dan mahasiswa tumbuh
bersama dalam proses yang saling memperkaya.
Jangan ragu untuk bertanya. Jangan takut untuk
salah. Dan jangan lupa bahwa di balik sistem yang kadang membingungkan ini, ada
banyak dosen yang ingin melihat kalian berhasil—bukan hanya lulus, tapi juga
tumbuh menjadi versi terbaik dari diri kalian sendiri.
Terima kasih sudah menjadi bagian dari
perjalanan saya sebagai pendidik. Terima kasih sudah menginspirasi dengan cara
kalian sendiri. Mari terus berjalan, bersama.
Salam hangat,
Dosenmu yang juga terus belajar
Ruang
Dosen mengajak rekan-rekan dosen lain untuk menuliskan refleksi dan
pesan serupa kepada mahasiswa generasi sekarang. Surat-surat kecil seperti ini
bisa menjadi jembatan antargenerasi di ruang kelas kita. Ingin berbagi surat
Anda? Kirimkan pada kami untuk kami tayangkan dalam edisi mendatang.
Komentar
Posting Komentar