Entri yang Diunggulkan

Bagaimana Dosen Dapat Menjadi Agen Perubahan di Kampus?

Oleh: Ruang Dosen Halo, para kolega dosen yang selalu semangat berkarya di ruang kelas maupun luar kelas! 👋 Pernah nggak sih kamu bertanya-tanya, "Sebenarnya, peran saya di kampus ini cuma sebatas ngajar, bikin soal, dan setor nilai, atau bisa lebih dari itu?" Kalau pertanyaan itu muncul, selamat! Artinya kamu sedang berada di titik reflektif yang sehat. Sebab faktanya, dosen bukan hanya pengajar , tapi juga bisa menjadi agen perubahan di lingkungan kampus . Tunggu dulu, “agen perubahan”? Kedengarannya berat, ya? Tenang. Kita tidak sedang bicara tentang superhero yang menyelamatkan dunia, tapi lebih ke peran-peran kecil namun berdampak besar yang bisa kita mainkan sebagai bagian dari komunitas akademik. Yuk, kita ulas bersama: bagaimana dosen bisa menjadi agen perubahan di kampus, dengan cara yang realistis, aplikatif, dan pastinya nggak bikin stres.   🎯 Apa Itu Agen Perubahan? Sebelum jauh-jauh membahas peran dosen, mari kita pahami dulu apa itu agen peruba...

Pelajaran Berharga dari Gagal dalam Penelitian

 

Pelajaran Berharga dari Gagal dalam Penelitian

Menjadi dosen tidak hanya soal mengajar. Salah satu pilar utama dari profesi ini adalah penelitian. Namun, di balik laporan yang rapi, publikasi yang terbit, dan seminar yang diikuti, ada sisi lain yang jarang dibicarakan: kegagalan dalam penelitian.

Sebagian dari kita mungkin enggan membicarakan kegagalan. Padahal, di sanalah seringkali pelajaran paling berharga muncul. Saya ingin berbagi refleksi pribadi tentang kegagalan dalam beberapa proyek penelitian yang saya jalani selama bertahun-tahun menjadi dosen—bukan untuk menunjukkan kelemahan, tetapi justru untuk membuka ruang diskusi yang lebih jujur dan manusiawi tentang bagaimana kita belajar dari jatuh, bukan hanya dari berdiri.

 

1. Ekspektasi Tinggi, Hasil Nol

Beberapa tahun lalu, saya mengajukan proposal penelitian hibah kompetitif nasional. Tema saya waktu itu cukup “seksi”—tentang pemanfaatan teknologi digital untuk pendidikan inklusif di daerah tertinggal. Saya optimistis. Desain penelitiannya kuat, mitra sudah disiapkan, dan tim peneliti sudah dibentuk. Kami pun dinyatakan lolos pendanaan.

Tapi kenyataan di lapangan berbeda jauh dari rencana. Lokasi penelitian sulit diakses, mitra lokal tidak bisa dihubungi, dan perangkat yang kami bawa tidak kompatibel dengan infrastruktur setempat. Bahkan dalam salah satu kunjungan, kami harus kembali lebih awal karena kondisi keamanan tidak kondusif.

Akhirnya, data yang kami peroleh sangat minim dan tidak cukup untuk menjawab rumusan masalah. Waktu habis, dana terserap, dan kami tidak bisa menghasilkan publikasi yang direncanakan. Saya merasa gagal total.

Tapi dari kegagalan itu, saya belajar bahwa desain di atas kertas belum tentu sesuai dengan dinamika di lapangan. Kita sering terjebak pada ambisi akademik, tanpa cukup memahami konteks lokal. Sejak saat itu, saya lebih berhati-hati dan realistis dalam menyusun proposal. Saya belajar melibatkan pihak lokal sejak awal, bukan hanya sebagai objek, tapi sebagai mitra sejajar.

 

2. Salah Memilih Metodologi

Dalam salah satu penelitian kuantitatif yang saya lakukan, saya dan tim memutuskan untuk menggunakan model analisis statistik yang kompleks, karena kami ingin menunjukkan bahwa penelitian kami “rigorous”. Kami menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) untuk mengukur hubungan antar variabel dalam studi tentang kepuasan mahasiswa terhadap layanan akademik.

Masalahnya, kami tidak memiliki cukup data. Sampel kami hanya 90 responden, padahal untuk SEM idealnya dibutuhkan minimal 200-300 data. Kami memaksakan analisis, dan hasilnya pun tidak signifikan. Lebih buruk lagi, ketika diajukan untuk publikasi, naskah kami ditolak karena reviewer menilai metode yang kami gunakan tidak sesuai.

Saat itu saya kecewa dan malu. Tapi kemudian saya menyadari bahwa metodologi bukan untuk mempercantik penelitian, tapi untuk menjawab pertanyaan dengan cara yang tepat. Tidak semua riset harus rumit; yang terpenting adalah relevansi dan kesesuaiannya dengan tujuan.

Sejak saat itu, saya lebih fokus pada kekuatan desain dan keterbatasan data. Saya tak lagi terjebak pada istilah-istilah metodologi yang rumit hanya demi kesan “ilmiah”.

 

3. Tim Peneliti yang Tidak Satu Visi

Pernah suatu kali saya tergabung dalam tim riset lintas fakultas. Awalnya saya sangat antusias karena merasa ini kesempatan besar untuk kolaborasi lintas ilmu. Namun, seiring berjalannya waktu, saya menyadari bahwa kami tidak benar-benar satu visi.

Ada anggota tim yang hanya aktif di awal saat pengajuan proposal, tapi menghilang ketika eksekusi dimulai. Ada juga yang hanya tertarik mencantumkan namanya di publikasi, tapi tidak berkontribusi signifikan dalam pengumpulan atau analisis data.

Proyek itu akhirnya selesai, tapi dengan hasil yang tidak maksimal. Artikel kami susah diterima jurnal karena isinya tidak solid, dan diskusi internal kami sering memanas karena perbedaan gaya kerja.

Kegagalan ini mengajarkan saya bahwa riset bukan hanya soal topik atau dana, tapi juga soal tim dan kolaborasi. Sejak saat itu, saya lebih selektif dalam membentuk tim. Saya memilih orang-orang yang punya komitmen, bisa diajak diskusi terbuka, dan mau bekerja sama sejak awal hingga akhir.

 

4. Terlalu Fokus pada Output, Lupa pada Proses

Dalam tekanan untuk memenuhi target BKD, publikasi jurnal internasional, dan akreditasi, saya pernah terjebak dalam siklus penelitian “kejar publikasi.” Saya mengulang topik yang sama, mengubah sedikit pendekatan, dan menulis ulang hasil-hasil yang tidak jauh berbeda. Memang, secara administratif, semua target tercapai. Tapi di dalam hati, saya merasa hampa.

Saya merasa seperti kehilangan makna dari penelitian itu sendiri. Tidak ada kebaruan yang substansial. Tidak ada kontribusi nyata bagi masyarakat atau bidang ilmu. Saya sadar, saya sudah terlalu fokus pada output dan lupa pada proses pembelajaran yang seharusnya menyertai riset.

Dari pengalaman itu, saya mulai mengubah orientasi. Saya menulis jurnal bukan hanya untuk angka kredit, tapi karena ingin menyampaikan sesuatu yang benar-benar saya yakini penting. Saya mulai mengembangkan riset-riset yang punya dampak nyata bagi masyarakat, meskipun jalurnya lebih panjang dan hasilnya tidak secepat riset “ringan” yang hanya untuk memenuhi target.

 

5. Ketika Publikasi Ditolak Berkali-kali

Salah satu pengalaman paling pahit adalah ketika artikel yang sudah saya tulis dengan susah payah—selama berbulan-bulan—ditolak oleh lima jurnal berturut-turut. Alasan penolakan beragam: dari metodologi yang dianggap lemah, kontribusi yang dianggap kurang signifikan, hingga gaya penulisan yang tidak sesuai standar jurnal.

Penolakan demi penolakan itu membuat saya ragu pada kemampuan sendiri. Saya sempat berpikir untuk menyerah. Tapi akhirnya saya meminta pendapat dari rekan senior dan melakukan revisi menyeluruh. Saya menyadari bahwa banyak dari komentar reviewer sangat konstruktif. Saya belajar memperbaiki struktur tulisan, memperkuat argumen, dan memperjelas kontribusi teoritis.

Beberapa bulan kemudian, artikel itu akhirnya diterima di jurnal bereputasi. Bukan karena saya genius, tapi karena saya belajar menerima kegagalan sebagai bagian dari proses ilmiah. Tidak ada penelitian yang langsung sempurna. Revisi, kritik, dan penolakan adalah bagian dari pertumbuhan akademik.

 

Penutup: Gagal dalam Penelitian Bukan Akhir, Tapi Awal

Pengalaman-pengalaman gagal dalam penelitian membuat saya semakin yakin bahwa riset adalah proses yang rawan salah, tapi juga kaya makna. Kegagalan bukanlah aib. Justru di sanalah karakter kita sebagai dosen dan peneliti diuji.

Kita belajar menjadi lebih rendah hati, lebih teliti, dan lebih bijak dalam melihat kompleksitas dunia akademik. Kita belajar bahwa tidak semua proposal akan diterima, tidak semua publikasi akan langsung terbit, dan tidak semua data akan sesuai harapan. Tapi kita juga belajar bahwa setiap kegagalan membawa pelajaran yang membentuk kita menjadi peneliti yang lebih matang.

Bagi rekan-rekan dosen yang sedang atau pernah gagal dalam penelitian, jangan menyerah. Terus belajar, refleksi, dan terbuka terhadap kritik. Karena pada akhirnya, kualitas kita bukan ditentukan oleh seberapa banyak kita berhasil, tapi bagaimana kita bangkit setelah gagal.

 

Ruang Dosen mengajak Anda untuk berbagi: Apakah Anda punya kisah tentang kegagalan dalam penelitian yang justru membawa pelajaran penting? Cerita Anda bisa menjadi inspirasi bagi banyak kolega yang tengah berjuang di jalan sunyi dunia riset.



Komentar