Pelajaran Berharga dari
Gagal dalam Penelitian
Menjadi dosen tidak hanya soal mengajar. Salah
satu pilar utama dari profesi ini adalah penelitian.
Namun, di balik laporan yang rapi, publikasi yang terbit, dan seminar yang
diikuti, ada sisi lain yang jarang dibicarakan: kegagalan dalam penelitian.
Sebagian dari kita mungkin enggan membicarakan
kegagalan. Padahal, di sanalah seringkali pelajaran paling berharga muncul. Saya
ingin berbagi refleksi pribadi tentang kegagalan dalam beberapa proyek
penelitian yang saya jalani selama bertahun-tahun menjadi dosen—bukan untuk
menunjukkan kelemahan, tetapi justru untuk membuka ruang diskusi yang lebih
jujur dan manusiawi tentang bagaimana kita belajar dari jatuh, bukan hanya dari
berdiri.
1. Ekspektasi Tinggi, Hasil
Nol
Beberapa tahun lalu, saya mengajukan proposal
penelitian hibah kompetitif nasional. Tema saya waktu itu cukup “seksi”—tentang
pemanfaatan teknologi digital untuk pendidikan inklusif di daerah tertinggal.
Saya optimistis. Desain penelitiannya kuat, mitra sudah disiapkan, dan tim
peneliti sudah dibentuk. Kami pun dinyatakan lolos pendanaan.
Tapi kenyataan di lapangan berbeda jauh dari
rencana. Lokasi penelitian sulit diakses, mitra lokal tidak bisa dihubungi, dan
perangkat yang kami bawa tidak kompatibel dengan infrastruktur setempat. Bahkan
dalam salah satu kunjungan, kami harus kembali lebih awal karena kondisi
keamanan tidak kondusif.
Akhirnya, data yang kami peroleh sangat minim
dan tidak cukup untuk menjawab rumusan masalah. Waktu habis, dana terserap, dan
kami tidak bisa menghasilkan publikasi yang direncanakan. Saya merasa gagal
total.
Tapi dari kegagalan itu, saya belajar bahwa desain di atas kertas belum tentu sesuai
dengan dinamika di lapangan. Kita sering terjebak pada ambisi
akademik, tanpa cukup memahami konteks lokal. Sejak saat itu, saya lebih
berhati-hati dan realistis dalam menyusun proposal. Saya belajar melibatkan pihak
lokal sejak awal, bukan hanya sebagai objek, tapi sebagai mitra sejajar.
2. Salah Memilih Metodologi
Dalam salah satu penelitian kuantitatif yang
saya lakukan, saya dan tim memutuskan untuk menggunakan model analisis
statistik yang kompleks, karena kami ingin menunjukkan bahwa penelitian kami
“rigorous”. Kami menggunakan Structural Equation Modeling (SEM) untuk mengukur
hubungan antar variabel dalam studi tentang kepuasan mahasiswa terhadap layanan
akademik.
Masalahnya, kami tidak memiliki cukup data.
Sampel kami hanya 90 responden, padahal untuk SEM idealnya dibutuhkan minimal
200-300 data. Kami memaksakan analisis, dan hasilnya pun tidak signifikan.
Lebih buruk lagi, ketika diajukan untuk publikasi, naskah kami ditolak karena
reviewer menilai metode yang kami gunakan tidak sesuai.
Saat itu saya kecewa dan malu. Tapi kemudian
saya menyadari bahwa metodologi bukan
untuk mempercantik penelitian, tapi untuk menjawab pertanyaan dengan cara yang
tepat. Tidak semua riset harus rumit; yang terpenting adalah relevansi
dan kesesuaiannya dengan tujuan.
Sejak saat itu, saya lebih fokus pada kekuatan
desain dan keterbatasan data. Saya tak lagi terjebak pada istilah-istilah
metodologi yang rumit hanya demi kesan “ilmiah”.
3. Tim Peneliti yang Tidak
Satu Visi
Pernah suatu kali saya tergabung dalam tim
riset lintas fakultas. Awalnya saya sangat antusias karena merasa ini
kesempatan besar untuk kolaborasi lintas ilmu. Namun, seiring berjalannya
waktu, saya menyadari bahwa kami tidak benar-benar satu visi.
Ada anggota tim yang hanya aktif di awal saat
pengajuan proposal, tapi menghilang ketika eksekusi dimulai. Ada juga yang
hanya tertarik mencantumkan namanya di publikasi, tapi tidak berkontribusi
signifikan dalam pengumpulan atau analisis data.
Proyek itu akhirnya selesai, tapi dengan hasil
yang tidak maksimal. Artikel kami susah diterima jurnal karena isinya tidak
solid, dan diskusi internal kami sering memanas karena perbedaan gaya kerja.
Kegagalan ini mengajarkan saya bahwa riset bukan hanya soal topik atau dana, tapi juga
soal tim dan kolaborasi. Sejak saat itu, saya lebih selektif dalam
membentuk tim. Saya memilih orang-orang yang punya komitmen, bisa diajak
diskusi terbuka, dan mau bekerja sama sejak awal hingga akhir.
4. Terlalu Fokus pada Output, Lupa pada Proses
Dalam tekanan untuk memenuhi target BKD,
publikasi jurnal internasional, dan akreditasi, saya pernah terjebak dalam
siklus penelitian “kejar publikasi.” Saya mengulang topik yang sama, mengubah
sedikit pendekatan, dan menulis ulang hasil-hasil yang tidak jauh berbeda.
Memang, secara administratif, semua target tercapai. Tapi di dalam hati, saya
merasa hampa.
Saya merasa seperti kehilangan makna dari
penelitian itu sendiri. Tidak ada kebaruan yang substansial. Tidak ada
kontribusi nyata bagi masyarakat atau bidang ilmu. Saya sadar, saya sudah terlalu fokus pada output dan lupa pada proses
pembelajaran yang seharusnya menyertai riset.
Dari pengalaman itu, saya mulai mengubah
orientasi. Saya menulis jurnal bukan hanya untuk angka kredit, tapi karena
ingin menyampaikan sesuatu yang benar-benar saya yakini penting. Saya mulai
mengembangkan riset-riset yang punya dampak nyata bagi masyarakat, meskipun
jalurnya lebih panjang dan hasilnya tidak secepat riset “ringan” yang hanya
untuk memenuhi target.
5. Ketika Publikasi Ditolak
Berkali-kali
Salah satu pengalaman paling pahit adalah
ketika artikel yang sudah saya tulis dengan susah payah—selama
berbulan-bulan—ditolak oleh lima jurnal
berturut-turut. Alasan penolakan beragam: dari metodologi yang
dianggap lemah, kontribusi yang dianggap kurang signifikan, hingga gaya
penulisan yang tidak sesuai standar jurnal.
Penolakan demi penolakan itu membuat saya ragu
pada kemampuan sendiri. Saya sempat berpikir untuk menyerah. Tapi akhirnya saya
meminta pendapat dari rekan senior dan melakukan revisi menyeluruh. Saya
menyadari bahwa banyak dari komentar reviewer sangat konstruktif. Saya belajar
memperbaiki struktur tulisan, memperkuat argumen, dan memperjelas kontribusi
teoritis.
Beberapa bulan kemudian, artikel itu akhirnya
diterima di jurnal bereputasi. Bukan karena saya genius, tapi karena saya belajar menerima kegagalan sebagai bagian dari
proses ilmiah. Tidak ada penelitian yang langsung sempurna. Revisi,
kritik, dan penolakan adalah bagian dari pertumbuhan akademik.
Penutup: Gagal dalam
Penelitian Bukan Akhir, Tapi Awal
Pengalaman-pengalaman gagal dalam penelitian
membuat saya semakin yakin bahwa riset
adalah proses yang rawan salah, tapi juga kaya makna. Kegagalan
bukanlah aib. Justru di sanalah karakter kita sebagai dosen dan peneliti diuji.
Kita belajar menjadi lebih rendah hati, lebih
teliti, dan lebih bijak dalam melihat kompleksitas dunia akademik. Kita belajar
bahwa tidak semua proposal akan diterima, tidak semua publikasi akan langsung
terbit, dan tidak semua data akan sesuai harapan. Tapi kita juga belajar bahwa
setiap kegagalan membawa pelajaran yang membentuk kita menjadi peneliti yang
lebih matang.
Bagi rekan-rekan dosen yang sedang atau pernah
gagal dalam penelitian, jangan menyerah. Terus belajar, refleksi, dan terbuka
terhadap kritik. Karena pada akhirnya, kualitas
kita bukan ditentukan oleh seberapa banyak kita berhasil, tapi bagaimana kita
bangkit setelah gagal.
Ruang
Dosen mengajak Anda untuk berbagi: Apakah Anda punya kisah tentang
kegagalan dalam penelitian yang justru membawa pelajaran penting? Cerita Anda
bisa menjadi inspirasi bagi banyak kolega yang tengah berjuang di jalan sunyi
dunia riset.
Komentar
Posting Komentar