Menjaga Semangat Mengajar
di Tengah Kesibukan
Menjadi dosen bukan hanya tentang berdiri di
depan kelas, menjelaskan teori, atau memberi tugas. Lebih dari itu, menjadi
dosen adalah tentang komitmen jangka panjang dalam mendidik,
menginspirasi, dan membentuk karakter generasi masa depan.
Namun, seiring berjalannya waktu, tidak sedikit dari kita yang mengalami
penurunan semangat mengajar, terutama ketika tuntutan pekerjaan makin bertumpuk
dan waktu terasa tidak pernah cukup.
Kesibukan sebagai dosen bukanlah mitos.
Mengajar, membimbing, meneliti, menulis jurnal, menghadiri rapat, mengikuti
pelatihan, mengelola pengabdian masyarakat, hingga menjadi bagian dari berbagai
panitia institusional adalah realitas sehari-hari. Di tengah semua itu,
bagaimana kita tetap menjaga semangat dan kualitas dalam mengajar?
Artikel ini adalah bentuk refleksi dan berbagi
pengalaman tentang cara menjaga nyala
semangat mengajar, agar tidak padam di tengah derasnya tuntutan
akademik dan non-akademik.
1. Mengingat Kembali
“Mengapa Saya Menjadi Dosen”
Di titik-titik ketika saya mulai merasa lelah,
saya selalu mencoba mengingat kembali alasan awal saya memilih profesi
ini. Bukan gaji, bukan status, bukan gelar, melainkan
kerinduan
untuk berbagi ilmu dan membentuk generasi yang lebih baik.
Refleksi ini penting. Saat rutinitas mulai
terasa menjemukan, saat pekerjaan administratif lebih menyita waktu daripada
interaksi dengan mahasiswa, maka mengingat tujuan awal bisa menjadi pengingat
bahwa mengajar bukan beban, melainkan panggilan.
Saya menyimpan beberapa surat, email, atau
pesan singkat dari mahasiswa yang pernah merasa terbantu atau terinspirasi oleh
materi perkuliahan atau bimbingan saya. Membaca ulang pesan-pesan itu,
sesekali, menjadi "suntikan energi" yang tidak bisa dibeli.
2. Menjaga Kualitas Waktu di
Kelas
Kesibukan kadang membuat kita tergoda untuk
"mengajar sekadarnya"—datang, menyampaikan materi, memberi tugas,
lalu pergi. Tapi kualitas mengajar tidak selalu diukur dari berapa banyak waktu
yang kita habiskan, melainkan seberapa hadir kita saat berada di kelas.
Saya mulai membiasakan diri untuk benar-benar
mematikan notifikasi ponsel saat mengajar, tidak memeriksa email, dan berusaha
fokus pada interaksi dengan mahasiswa. Saya pun lebih banyak menggunakan metode
diskusi, studi kasus, dan kerja kelompok agar mahasiswa lebih aktif.
Ternyata, ketika saya benar-benar “hadir”
secara mental dan emosional di kelas, suasana belajar menjadi jauh lebih hidup.
Mahasiswa pun lebih antusias, dan itu menjadi sumber semangat tersendiri bagi
saya.
3. Membuat Variasi dalam Mengajar
Rutinitas bisa menjadi racun bagi semangat.
Jika setiap semester kita hanya mengulang cara mengajar yang sama, materi yang
sama, dengan pendekatan yang sama, wajar jika rasa bosan mulai muncul. Maka
salah satu cara untuk menjaga semangat adalah membuat variasi dalam mengajar.
Saya mencoba bereksperimen dengan berbagai
media pembelajaran: dari infografis, video interaktif, kuis digital, hingga
simulasi sederhana. Tidak semua berhasil sempurna, tapi proses mencoba hal baru
membuat saya tetap bersemangat dan merasa berkembang.
Mahasiswa pun memberi respons positif. Mereka
merasa lebih terlibat, dan saya merasa lebih puas karena tidak hanya menjadi
“penyampai informasi”, tetapi juga fasilitator pembelajaran yang kreatif.
4. Menjaga Keseimbangan
Hidup
Salah satu sumber kelelahan yang paling umum
adalah tidak
seimbangnya kehidupan kerja dan pribadi. Saat semua waktu dan
energi tercurah pada pekerjaan, wajar jika semangat mengajar pun mulai menurun.
Saya mulai menerapkan batas waktu kerja.
Misalnya, tidak membalas email pekerjaan setelah pukul 19.00, menyisihkan akhir
pekan untuk keluarga, dan tidak membawa pekerjaan rumah saat sedang cuti. Saya
juga menyisihkan waktu untuk membaca buku non-akademik, berkebun, atau sekadar
jalan pagi.
Keseimbangan ini bukan hanya menyegarkan tubuh
dan pikiran, tetapi juga membuat saya lebih fokus dan produktif saat bekerja.
Mengajar pun terasa lebih menyenangkan ketika saya tidak kelelahan secara
emosional.
5. Menjaga Relasi Positif
dengan Mahasiswa
Tidak ada yang lebih menyemangati seorang
dosen selain interaksi yang hangat dengan mahasiswa. Bukan berarti
kita harus akrab secara personal, tetapi membangun komunikasi yang sehat,
terbuka, dan penuh respek bisa menjadi energi positif tersendiri.
Saya membiasakan membuka kelas dengan sedikit
cerita ringan atau pertanyaan reflektif. Kadang saya juga bertanya, “Apa yang
paling membuat kalian tertarik dari materi hari ini?” atau “Bagaimana pendapat
kalian tentang isu ini?”
Respon dari mahasiswa—baik yang serius maupun
yang lucu—membuat kelas lebih dinamis. Mereka merasa dihargai, saya pun merasa
tidak sedang “berbicara sendiri”. Di sinilah letak semangat itu kembali muncul:
saat kita merasa dihargai, didengar, dan dibutuhkan.
6. Menyisihkan Waktu untuk
Belajar
Mengajar terus-menerus tanpa waktu untuk
belajar akan membuat kita kelelahan secara intelektual. Maka, penting bagi
dosen untuk menyisihkan waktu untuk belajar, membaca, dan mengembangkan diri.
Saya menjadwalkan waktu khusus setiap minggu
untuk membaca jurnal terbaru, menonton kuliah daring dari kampus lain, atau
berdiskusi dengan rekan dosen. Aktivitas ini bukan hanya memperkaya materi
ajar, tapi juga membuat saya merasa “hidup” secara intelektual.
Ketika saya menemukan teori baru, pendekatan
baru, atau studi kasus yang menarik, saya jadi tidak sabar membagikannya ke
mahasiswa. Ini seperti menemukan "mainan baru" yang membuat saya
lebih bersemangat saat mengajar.
7. Mengambil Cuti Saat
Dibutuhkan
Ini mungkin terdengar sepele, tapi banyak
dosen yang terus
bekerja tanpa mengambil jeda. Padahal, istirahat bukan
bentuk kemalasan, melainkan kebutuhan. Ketika kelelahan sudah menumpuk dan
semangat mulai hilang, ambillah cuti. Satu atau dua hari bebas dari pekerjaan
bisa menjadi langkah kecil yang berdampak besar.
Saya pernah mengambil cuti sehari hanya untuk
“me time”—menonton film, mematikan ponsel, dan menikmati waktu tanpa tekanan.
Hasilnya, saya kembali ke kampus dengan pikiran yang lebih segar dan semangat
yang pulih.
8. Berjejaring dan Berdiskusi dengan Sesama Dosen
Kesibukan sering membuat kita terisolasi.
Padahal, bertemu dan berdiskusi dengan
sesama dosen bisa menjadi sumber inspirasi. Mendengar pengalaman rekan
sejawat, berbagi strategi mengajar, atau sekadar saling menguatkan dapat
menumbuhkan rasa kebersamaan dan solidaritas.
Saya ikut beberapa komunitas dosen, baik
formal maupun informal. Di sana, kami berbagi praktik baik, berdiskusi tentang
tantangan yang dihadapi, dan kadang saling memberi ide untuk memperbaiki metode
mengajar.
Kebersamaan ini membuat saya merasa tidak
sendiri. Ternyata, banyak dosen lain yang juga berjuang menjaga semangat di
tengah kesibukan. Dan dari mereka, saya belajar bahwa semangat bisa
ditularkan—asal ada ruang untuk saling menguatkan.
Penutup: Menyalakan Ulang
Nyala Mengajar
Menjaga semangat mengajar bukan perkara mudah,
apalagi di tengah tumpukan kesibukan dan tekanan administratif. Namun, kita
selalu bisa memilih untuk menyalakan
ulang nyala itu, meskipun hanya lewat langkah-langkah kecil.
Ingatlah bahwa di balik semua tugas, target,
dan beban kerja, ada wajah-wajah muda yang berharap mendapat inspirasi dari
kita. Ada generasi yang tengah mencari arah, dan salah satu penunjuk jalannya
adalah kehadiran seorang dosen yang tulus mengajar.
Jangan biarkan semangat kita padam oleh
rutinitas. Jaga nyalanya, pupuk kembali motivasinya, dan temukan kembali makna dari
profesi yang luar biasa ini. Karena ketika semangat mengajar terjaga, pengaruh
kita tidak hanya terasa hari ini—tapi bisa hidup di masa depan.
Ruang
Dosen mengundang Anda
untuk berbagi: Apa cara Anda menjaga semangat mengajar di tengah kesibukan?
Tulisan Anda mungkin bisa menginspirasi rekan sejawat yang sedang kehilangan
motivasi. Silakan bagikan di kolom komentar atau kirimkan refleksi Anda untuk
kami tayangkan di edisi berikutnya.
Komentar
Posting Komentar