Entri yang Diunggulkan

Tips Publikasi di Jurnal Terindeks Scopus: Panduan Santai tapi Serius untuk Dosen dan Peneliti

Tips Publikasi di Jurnal Terindeks Scopus: Panduan Santai tapi Serius untuk Dosen dan Peneliti Bagi banyak dosen dan peneliti, memublikasikan artikel di jurnal terindeks Scopus itu seperti naik gunung: butuh persiapan, tenaga, dan tekad. Tapi percayalah, hal itu bukan hal mustahil. Bahkan kalau dilakukan dengan strategi yang tepat, kita bisa sampai ke “puncak Scopus” tanpa harus tersesat di tengah jalan. Artikel ini ditulis secara santai tapi tetap serius, biar bisa jadi teman ngopi sambil mikir: “Gimana sih caranya bisa tembus jurnal Scopus?” Yuk kita bahas pelan-pelan, tapi pasti.   1. Kenapa Harus Scopus? Emang Penting? Pertanyaan yang wajar. Buat apa repot-repot mikir publikasi di Scopus, padahal nulis artikel di jurnal lokal aja udah ngos-ngosan? Jawabannya tergantung pada tujuanmu. Tapi umumnya, publikasi di jurnal Scopus penting karena: ·          Jadi syarat untuk kenaikan jabatan akademik dosen, terutama untuk Lektor ...

Dosen dan Tantangan Dunia Kampus yang Kompleks

 

Dosen dan Tantangan Dunia Kampus yang Kompleks

Dulu, menjadi dosen identik dengan sosok intelektual yang mengajar di kelas, menulis buku, dan meneliti dalam ketenangan ruang baca. Namun kini, menjadi dosen berarti memainkan banyak peran sekaligus—pendidik, peneliti, pengabdi masyarakat, administrator, bahkan kadang menjadi motivator, konselor, dan manajer proyek. Dunia kampus telah berubah, dan bersama perubahan itu, tantangan yang dihadapi dosen semakin kompleks dan multidimensi.

Dalam artikel ini, saya ingin mengajak rekan-rekan sesama dosen untuk merenungkan bersama: apa saja tantangan yang kini kita hadapi di kampus? Apa yang membuat dunia akademik tidak lagi sesederhana dulu? Dan bagaimana kita bisa bertahan, bahkan tumbuh, di tengah dinamika ini?

 

1. Beban Kerja yang Terus Bertambah

Salah satu keluhan paling umum di kalangan dosen adalah beban kerja yang seolah tak ada habisnya. Di atas tugas utama mengajar, dosen kini juga dituntut untuk:

·         Meneliti dan menerbitkan artikel ilmiah di jurnal bereputasi (nasional maupun internasional),

·         Melakukan pengabdian masyarakat secara terstruktur,

·         Mengikuti pelatihan, sertifikasi, dan pelaporan beban kinerja,

·         Mengisi sistem-sistem administratif seperti BKD, SISTER, PAK, dan lain-lain,

·         Terlibat dalam akreditasi program studi maupun institusi,

·         Menjadi pembimbing skripsi, tesis, disertasi,

·         Menjadi penguji, reviewer, narasumber, hingga panitia kegiatan kampus.

Banyak dosen yang merasa kehabisan waktu untuk melakukan hal yang sebenarnya mereka cintai: mengajar dan berdialog dengan mahasiswa. Waktu untuk membaca, menulis, atau melakukan riset mendalam sering kali tersisa sedikit, karena hari-hari habis untuk tugas administratif dan teknis.

 

2. Tekanan Publikasi dan “Industri Angka”

Seiring dengan tuntutan kenaikan jabatan fungsional dan reputasi institusi, dosen menghadapi tekanan luar biasa untuk terus mempublikasikan karya ilmiah, terutama di jurnal internasional bereputasi.

Muncullah apa yang sering disebut sebagai “industri angka”—di mana nilai dan kontribusi akademik diukur dari jumlah artikel, jumlah sitasi, indeks H-Index, dan sebagainya. Publikasi memang penting, tetapi ketika terlalu diburu secara kuantitatif, ia bisa melahirkan praktik-praktik tidak sehat seperti:

·         Menulis asal jadi demi mengejar angka kredit,

·         Plagiarisme dan self-plagiarism,

·         “Salam tempel” dalam kolaborasi penulisan,

·         Kecanduan pada konferensi yang hanya mengejar prosiding, bukan kualitas.

Dalam situasi ini, banyak dosen merasa kehilangan makna dari penelitian itu sendiri. Penelitian tak lagi menjadi eksplorasi ilmiah yang tulus, melainkan kewajiban administratif yang menekan.

 

3. Mahasiswa yang Berubah

Mahasiswa generasi sekarang, terutama Generasi Z, lahir di era digital dan tumbuh dalam budaya yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka lebih mandiri, kritis, terbiasa multitasking, dan cenderung tidak segan menyampaikan pendapat.

Namun di sisi lain, mereka juga menghadapi tantangan tersendiri: tekanan mental, kecemasan sosial, kecanduan media sosial, dan sering kali rendahnya kemampuan fokus jangka panjang.

Sebagai dosen, kita dituntut untuk menyesuaikan pendekatan pengajaran, menciptakan ruang belajar yang interaktif, adaptif, dan empatik. Ini bukan hal mudah. Membuat materi menarik untuk mahasiswa digital-native sambil tetap menjaga kedalaman akademik butuh kreativitas, waktu, dan energi lebih.

 

4. Kompleksitas Administrasi dan Regulasi

Sistem pendidikan tinggi di Indonesia—baik negeri maupun swasta—semakin dipenuhi dengan berbagai regulasi dan sistem pelaporan. Tidak sedikit dosen yang merasa lebih banyak mengisi formulir daripada membaca jurnal.

Administrasi akademik seperti pengisian BKD, laporan kinerja dosen, laporan hibah, pelaporan akreditasi, sistem SISTER, sistem PDDikti, hingga laporan kemajuan penelitian bisa menyita berjam-jam waktu kerja dosen.

Ironisnya, sering kali sistem ini tidak saling terintegrasi. Dosen harus mengisi data yang sama di berbagai sistem berbeda, dengan format yang tidak seragam. Ini menimbulkan frustrasi dan menurunkan motivasi.

 

5. Ketimpangan Akses dan Sumber Daya

Tidak semua dosen memiliki akses yang sama terhadap fasilitas, dana riset, atau sumber daya akademik. Di kampus-kampus kecil atau di luar pulau Jawa, dosen sering menghadapi keterbatasan akses jurnal, perangkat laboratorium, pendanaan penelitian, hingga kolaborasi internasional.

Hal ini menimbulkan ketimpangan kesempatan yang kadang membuat dosen-dosen dari daerah merasa tertinggal, meskipun kualitas mereka tidak kalah. Pemerataan sumber daya masih menjadi pekerjaan rumah besar dalam ekosistem pendidikan tinggi kita.

 

6. Tuntutan Transformasi Digital

Pandemi COVID-19 mempercepat transformasi digital dalam pendidikan tinggi. Dosen dituntut untuk menguasai berbagai platform pembelajaran daring, tools evaluasi digital, hingga sistem Learning Management System (LMS).

Meski bermanfaat, perubahan ini juga menambah tekanan. Tidak semua dosen terbiasa dengan teknologi. Butuh pelatihan, waktu belajar mandiri, dan kesiapan infrastruktur yang memadai. Ditambah lagi, mahasiswa sering kali lebih mahir dari dosennya dalam teknologi, yang bisa menimbulkan rasa minder atau ketimpangan dalam dinamika kelas.

 

7. Peran Sosial yang Kian Kompleks

Dosen kini bukan hanya aktor akademik, tapi juga aktor sosial. Kita sering diundang untuk bicara dalam webinar, diminta pendapat soal isu publik, diminta menjadi penggerak perubahan sosial, hingga diminta tampil di media.

Ekspektasi masyarakat terhadap dosen semakin tinggi, termasuk sebagai panutan moral, penjaga kebenaran, bahkan “influencer intelektual.” Tidak semua dosen siap atau nyaman dengan peran ini, namun ruang privat dosen pun semakin mengecil karena sorotan publik makin tajam.

 

8. Ketidakpastian Karier dan Jabatan

Khususnya bagi dosen non-PNS atau dosen kontrak, ketidakpastian status kepegawaian menjadi beban psikologis tersendiri. Banyak yang belum diangkat menjadi dosen tetap, harus menjalani evaluasi tahunan, atau belum bisa mengakses hak-hak dasar seperti sertifikasi dosen.

Sementara itu, proses kenaikan jabatan akademik pun tidak sederhana. Dosen harus melewati proses penilaian angka kredit yang panjang, birokratis, dan kadang tidak transparan. Hal ini bisa mematahkan semangat, terutama bagi dosen-dosen muda.

 

Haruskah Kita Menyerah?

Dengan semua tantangan di atas, wajar jika sebagian dosen mulai merasa burnout, mempertanyakan makna profesi ini, atau bahkan mempertimbangkan untuk meninggalkan dunia kampus. Namun di saat yang sama, banyak pula dosen yang memilih tetap bertahan dan terus berinovasi.

Kenapa?

Karena meskipun berat, menjadi dosen tetaplah profesi mulia. Kita bukan hanya pengajar, tapi penjaga akal sehat, penumbuh harapan, dan pembuka jalan untuk masa depan yang lebih baik. Kita menyentuh kehidupan lewat ilmu, membentuk karakter lewat keteladanan, dan mewariskan nilai-nilai lewat dialog.

 

Jalan Keluar: Berubah dan Berjejaring

Lalu bagaimana agar kita bisa bertahan, bahkan berkembang, di tengah dunia kampus yang makin kompleks?

1.      Refleksi Diri Berkala: Tanyakan kembali apa yang membuat kita mencintai profesi ini. Temukan kembali semangat yang mungkin sempat hilang.

2.      Berjejaring: Bangun komunitas dengan dosen lain. Saling berbagi strategi, pengalaman, dan saling menguatkan.

3.      Minta Bantuan Saat Perlu: Jangan ragu mencari mentor, berkonsultasi, atau mengajukan keberatan administratif. Dosen juga manusia.

4.      Keseimbangan Hidup: Jaga kesehatan mental, ambil cuti saat perlu, dan jangan merasa bersalah saat butuh rehat.

5.      Inovasi Bertahap: Coba pendekatan baru dalam mengajar atau meneliti, walau sederhana. Perubahan kecil bisa menyegarkan rutinitas.

 

Penutup: Kita Tidak Sendiri

Tantangan dunia kampus memang makin kompleks. Tapi kita tidak sendiri. Ribuan dosen di seluruh Indonesia menghadapi persoalan yang mirip. Dan dari pengalaman banyak kolega, saya belajar bahwa yang membuat kita bertahan bukanlah sistem, bukan pula penghargaan, tetapi hubungan kemanusiaan yang terjalin di antara kita: dosen, mahasiswa, dan masyarakat.

Mari terus belajar, berbagi, dan beradaptasi. Dunia kampus mungkin berubah, tapi misi kita tetap: menyalakan cahaya dalam pikiran dan hati para pembelajar.

 

Ruang Dosen membuka ruang bagi Anda: Apa tantangan terbesar yang Anda rasakan sebagai dosen saat ini? Bagaimana Anda menghadapinya? Mari berbagi cerita, karena dari kisah-kisah nyata, kita menemukan kekuatan bersama.

 

Komentar