Dosen dan Tantangan Dunia
Kampus yang Kompleks
Dulu, menjadi dosen identik dengan sosok
intelektual yang mengajar di kelas, menulis buku, dan meneliti dalam ketenangan
ruang baca. Namun kini, menjadi dosen berarti memainkan banyak peran
sekaligus—pendidik, peneliti, pengabdi masyarakat, administrator, bahkan kadang
menjadi motivator, konselor, dan manajer proyek. Dunia kampus telah berubah,
dan bersama perubahan itu, tantangan yang dihadapi dosen semakin kompleks dan
multidimensi.
Dalam artikel ini, saya ingin mengajak
rekan-rekan sesama dosen untuk merenungkan bersama: apa saja tantangan yang
kini kita hadapi di kampus? Apa yang membuat dunia akademik tidak lagi
sesederhana dulu? Dan bagaimana kita bisa bertahan, bahkan tumbuh, di tengah
dinamika ini?
1. Beban Kerja yang Terus
Bertambah
Salah satu keluhan paling umum di kalangan
dosen adalah beban kerja yang seolah tak ada habisnya. Di
atas tugas utama mengajar, dosen kini juga dituntut untuk:
·
Meneliti dan menerbitkan
artikel ilmiah di jurnal bereputasi (nasional maupun internasional),
·
Melakukan pengabdian
masyarakat secara terstruktur,
·
Mengikuti pelatihan,
sertifikasi, dan pelaporan beban kinerja,
·
Mengisi sistem-sistem
administratif seperti BKD, SISTER, PAK, dan lain-lain,
·
Terlibat dalam akreditasi
program studi maupun institusi,
·
Menjadi pembimbing skripsi,
tesis, disertasi,
·
Menjadi penguji, reviewer,
narasumber, hingga panitia kegiatan kampus.
Banyak dosen yang merasa kehabisan waktu untuk
melakukan hal yang sebenarnya mereka cintai: mengajar dan berdialog dengan
mahasiswa. Waktu untuk membaca, menulis, atau melakukan
riset mendalam sering kali tersisa sedikit, karena hari-hari habis untuk tugas
administratif dan teknis.
2. Tekanan Publikasi dan “Industri Angka”
Seiring dengan tuntutan kenaikan jabatan
fungsional dan reputasi institusi, dosen menghadapi tekanan luar biasa untuk terus mempublikasikan karya ilmiah,
terutama di jurnal internasional bereputasi.
Muncullah apa yang sering disebut sebagai
“industri angka”—di mana nilai dan kontribusi akademik diukur dari jumlah
artikel, jumlah sitasi, indeks H-Index, dan sebagainya. Publikasi memang
penting, tetapi ketika terlalu diburu secara kuantitatif, ia bisa melahirkan
praktik-praktik tidak sehat seperti:
·
Menulis asal jadi demi
mengejar angka kredit,
·
Plagiarisme dan
self-plagiarism,
·
“Salam tempel” dalam
kolaborasi penulisan,
·
Kecanduan pada konferensi
yang hanya mengejar prosiding, bukan kualitas.
Dalam situasi ini, banyak dosen merasa kehilangan makna
dari penelitian itu sendiri. Penelitian tak lagi menjadi
eksplorasi ilmiah yang tulus, melainkan kewajiban administratif yang menekan.
3. Mahasiswa yang Berubah
Mahasiswa generasi sekarang, terutama Generasi
Z, lahir di era digital dan tumbuh dalam budaya yang sangat berbeda dengan
generasi sebelumnya. Mereka lebih mandiri, kritis, terbiasa multitasking, dan
cenderung tidak segan menyampaikan pendapat.
Namun di sisi lain, mereka juga menghadapi
tantangan tersendiri: tekanan mental, kecemasan sosial, kecanduan media sosial,
dan sering kali rendahnya kemampuan fokus jangka panjang.
Sebagai dosen, kita dituntut untuk menyesuaikan
pendekatan pengajaran, menciptakan ruang belajar yang
interaktif, adaptif, dan empatik. Ini bukan hal mudah. Membuat materi menarik
untuk mahasiswa digital-native sambil tetap menjaga kedalaman akademik butuh
kreativitas, waktu, dan energi lebih.
4. Kompleksitas Administrasi dan Regulasi
Sistem pendidikan tinggi di Indonesia—baik
negeri maupun swasta—semakin dipenuhi dengan berbagai regulasi dan sistem
pelaporan. Tidak sedikit dosen yang merasa lebih banyak mengisi formulir
daripada membaca jurnal.
Administrasi akademik seperti pengisian BKD,
laporan kinerja dosen, laporan hibah, pelaporan akreditasi, sistem SISTER,
sistem PDDikti, hingga laporan kemajuan penelitian bisa menyita berjam-jam
waktu kerja dosen.
Ironisnya, sering kali sistem ini tidak saling
terintegrasi. Dosen harus mengisi data yang sama di berbagai sistem berbeda, dengan
format yang tidak seragam. Ini menimbulkan frustrasi dan menurunkan motivasi.
5. Ketimpangan Akses dan
Sumber Daya
Tidak semua dosen memiliki akses yang sama
terhadap fasilitas, dana riset, atau sumber daya akademik. Di kampus-kampus
kecil atau di luar pulau Jawa, dosen sering menghadapi keterbatasan akses
jurnal, perangkat laboratorium, pendanaan penelitian, hingga kolaborasi
internasional.
Hal ini menimbulkan ketimpangan kesempatan
yang kadang membuat dosen-dosen dari daerah merasa tertinggal, meskipun
kualitas mereka tidak kalah. Pemerataan sumber daya masih menjadi pekerjaan
rumah besar dalam ekosistem pendidikan tinggi kita.
6. Tuntutan Transformasi Digital
Pandemi COVID-19 mempercepat transformasi
digital dalam pendidikan tinggi. Dosen dituntut untuk menguasai berbagai
platform pembelajaran daring, tools evaluasi digital, hingga sistem Learning
Management System (LMS).
Meski bermanfaat, perubahan ini juga menambah
tekanan. Tidak semua dosen terbiasa dengan teknologi. Butuh pelatihan, waktu
belajar mandiri, dan kesiapan infrastruktur yang memadai. Ditambah lagi,
mahasiswa sering kali lebih mahir dari dosennya dalam teknologi, yang bisa
menimbulkan rasa minder atau ketimpangan dalam dinamika kelas.
7. Peran Sosial yang Kian Kompleks
Dosen kini bukan hanya aktor akademik, tapi
juga aktor
sosial. Kita sering diundang untuk bicara dalam webinar,
diminta pendapat soal isu publik, diminta menjadi penggerak perubahan sosial,
hingga diminta tampil di media.
Ekspektasi masyarakat terhadap dosen semakin
tinggi, termasuk sebagai panutan moral, penjaga kebenaran, bahkan “influencer
intelektual.” Tidak semua dosen siap atau nyaman dengan peran ini, namun ruang
privat dosen pun semakin mengecil karena sorotan publik makin tajam.
8. Ketidakpastian Karier dan
Jabatan
Khususnya bagi dosen non-PNS atau dosen
kontrak, ketidakpastian status kepegawaian menjadi beban psikologis tersendiri.
Banyak yang belum diangkat menjadi dosen tetap, harus menjalani evaluasi
tahunan, atau belum bisa mengakses hak-hak dasar seperti sertifikasi dosen.
Sementara itu, proses kenaikan jabatan
akademik pun tidak sederhana. Dosen harus melewati proses penilaian angka
kredit yang panjang, birokratis, dan kadang tidak transparan. Hal ini bisa
mematahkan semangat, terutama bagi dosen-dosen muda.
Haruskah Kita Menyerah?
Dengan semua tantangan di atas, wajar jika
sebagian dosen mulai merasa burnout, mempertanyakan makna profesi ini, atau
bahkan mempertimbangkan untuk meninggalkan dunia kampus. Namun di saat yang
sama, banyak pula dosen yang memilih tetap bertahan dan terus berinovasi.
Kenapa?
Karena meskipun berat, menjadi dosen
tetaplah profesi mulia. Kita bukan hanya pengajar, tapi penjaga
akal sehat, penumbuh harapan, dan pembuka jalan untuk masa depan yang lebih
baik. Kita menyentuh kehidupan lewat ilmu, membentuk karakter lewat
keteladanan, dan mewariskan nilai-nilai lewat dialog.
Jalan Keluar: Berubah dan
Berjejaring
Lalu bagaimana agar kita bisa bertahan, bahkan
berkembang, di tengah dunia kampus yang makin kompleks?
1.
Refleksi Diri Berkala: Tanyakan kembali apa yang membuat
kita mencintai profesi ini. Temukan kembali semangat yang mungkin sempat
hilang.
2.
Berjejaring: Bangun komunitas dengan dosen lain. Saling
berbagi strategi, pengalaman, dan saling menguatkan.
3.
Minta Bantuan Saat Perlu: Jangan ragu mencari mentor,
berkonsultasi, atau mengajukan keberatan administratif. Dosen juga manusia.
4.
Keseimbangan Hidup: Jaga kesehatan mental, ambil cuti
saat perlu, dan jangan merasa bersalah saat butuh rehat.
5.
Inovasi Bertahap: Coba pendekatan baru dalam mengajar
atau meneliti, walau sederhana. Perubahan kecil bisa menyegarkan rutinitas.
Penutup: Kita Tidak Sendiri
Tantangan dunia kampus memang makin kompleks.
Tapi kita tidak sendiri. Ribuan dosen di seluruh Indonesia menghadapi persoalan
yang mirip. Dan dari pengalaman banyak kolega, saya belajar bahwa yang membuat
kita bertahan bukanlah sistem, bukan pula penghargaan, tetapi hubungan
kemanusiaan yang terjalin di antara kita: dosen, mahasiswa, dan masyarakat.
Mari terus belajar, berbagi, dan beradaptasi.
Dunia kampus mungkin berubah, tapi misi kita tetap: menyalakan cahaya dalam pikiran
dan hati para pembelajar.
Ruang
Dosen membuka ruang bagi Anda: Apa tantangan terbesar yang Anda
rasakan sebagai dosen saat ini? Bagaimana Anda menghadapinya? Mari berbagi
cerita, karena dari kisah-kisah nyata, kita menemukan kekuatan bersama.
Komentar
Posting Komentar