- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Entri yang Diunggulkan
Diposting oleh
ACO NASIR
pada tanggal
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Mekanisme Pelaporan Beban Kerja Dosen yang Melebihi Batas
Beban kerja yang dirasakan melebihi kapasitas oleh dosen merupakan isu penting
yang dapat memengaruhi kualitas kinerja, keseimbangan hidup, serta kesehatan
mental dosen. Jika seorang dosen merasa beban kerja yang diberikan perguruan
tinggi telah melampaui batas yang wajar, tersedia beberapa mekanisme pelaporan
yang dapat diakses. Langkah pertama adalah melaporkan permasalahan tersebut
kepada departemen atau biro sumber daya manusia (SDM) di perguruan tinggi
tempat dosen tersebut bertugas. Unit ini biasanya bertanggung jawab menangani
isu-isu terkait pengelolaan tenaga pengajar, termasuk distribusi beban kerja,
kontrak kerja, dan kesejahteraan staf akademik (Ismail & Rahman, 2021).
Untuk perguruan tinggi negeri (PTN) atau PTN berbadan hukum, dosen memiliki
hak untuk mengajukan keluhan kepada kementerian terkait, seperti Kementerian
Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Mekanisme ini memungkinkan dosen
untuk mengungkapkan keberatan atas beban kerja melalui jalur resmi, yang
biasanya memiliki sistem pengawasan dan evaluasi yang ditetapkan secara
nasional (Nugroho et al., 2020). Sementara itu, untuk perguruan tinggi swasta
(PTS), dosen dapat melapor kepada yayasan yang menaungi perguruan tinggi
tersebut atau Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) sebagai otoritas
pengawas. Yayasan memiliki peran penting dalam memastikan bahwa kebijakan
pengelolaan sumber daya manusia tetap berada dalam koridor etis dan adil,
sedangkan LLDIKTI dapat bertindak sebagai mediator untuk penyelesaian masalah
ini.
Pada perguruan tinggi kedinasan dan lembaga pendidikan di bawah kementerian
atau badan pemerintah tertentu (PTKL), dosen dapat menyampaikan laporan
langsung ke kementerian atau lembaga yang bersangkutan. Hal ini penting
mengingat perguruan tinggi jenis ini memiliki regulasi internal yang biasanya
spesifik dan terkadang berbeda dari perguruan tinggi lainnya (Setyowati et al.,
2021).
Melaporkan beban kerja secara formal juga berfungsi untuk mendokumentasikan
permasalahan struktural yang dapat dievaluasi oleh manajemen perguruan tinggi.
Di banyak institusi, terdapat pula forum diskusi dosen atau serikat tenaga
pendidik yang dapat membantu menyuarakan keluhan tersebut secara kolektif.
Selain itu, dosen yang menghadapi tekanan beban kerja secara berkelanjutan
dapat mempertimbangkan konsultasi psikologis, yang kini mulai tersedia di
banyak perguruan tinggi sebagai bentuk dukungan kesejahteraan dosen
(Widyaningrum et al., 2022).
Dengan adanya mekanisme pelaporan yang jelas, perguruan tinggi dapat secara
proaktif mengevaluasi kebijakan kerja dosen untuk menciptakan lingkungan kerja
yang sehat, efisien, dan mendukung pencapaian tridarma perguruan tinggi.
Jabatan Akademik untuk Dosen Baru di Perguruan Tinggi: Penjelasan
Berdasarkan Aturan
Berdasarkan Permendikbudristek No. 44 Tahun 2024, seorang dosen tetap
memiliki hak untuk mendapatkan jabatan akademik sesuai dengan kualifikasinya
tanpa harus memenuhi syarat masa kerja tertentu. Jika seorang dosen baru
bekerja kurang dari satu tahun di sebuah perguruan tinggi dan memenuhi beban
kerja minimal 12 SKS, maka dosen tersebut secara otomatis memenuhi definisi
sebagai dosen tetap. Oleh karena itu, dosen dapat diberikan jabatan akademik
sesuai dengan latar belakang pendidikan dan jenjang kualifikasi akademiknya,
yaitu Asisten Ahli untuk lulusan magister (S2) dan Lektor untuk lulusan doktor
(S3).
Hal ini mengacu pada fakta bahwa jabatan akademik diberikan bukan
berdasarkan durasi masa kerja, tetapi berdasarkan kualifikasi pendidikan,
kontribusi dalam tridarma perguruan tinggi, serta dokumen kelengkapan yang
diajukan dosen. Dengan demikian, seorang dosen yang baru diangkat menjadi dosen
tetap dapat langsung memiliki jabatan akademik jika memenuhi kriteria yang
ditetapkan. Jabatan akademik ini mencerminkan pengakuan terhadap kapabilitas
dosen dalam melaksanakan tugas tridarma, seperti pengajaran, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat (Iskandar & Susilawati, 2023).
Namun, terdapat prosedur administratif yang perlu dilakukan untuk pengajuan
jabatan akademik. Pengangkatan jabatan akademik, seperti Asisten Ahli atau
Lektor, biasanya membutuhkan proses evaluasi administrasi dan penilaian dari
pihak terkait, seperti Rektor, LLDIKTI, atau kementerian, tergantung pada
status perguruan tinggi (PTN atau PTS). Oleh sebab itu, walaupun tidak ada
batasan masa kerja, dosen perlu melengkapi persyaratan dokumen, seperti surat
keputusan pengangkatan sebagai dosen tetap, laporan kinerja tridarma, serta
karya ilmiah yang relevan (Saputra et al., 2022).
Dengan aturan ini, perguruan tinggi memiliki fleksibilitas lebih dalam
mengembangkan sumber daya dosen baru untuk segera berkontribusi optimal.
Kebijakan ini juga memberikan peluang kepada dosen baru untuk mempercepat
pengembangan karier akademiknya di lingkungan perguruan tinggi, sehingga dapat
berkontribusi lebih cepat dalam mendukung pencapaian target institusional.
Dampak IKD dan BKD terhadap Sertifikasi Dosen dan Tunjangan Profesi Dosen
Menurut Permendikbudristek No. 44 Tahun 2024, Indeks Kinerja Dosen
(IKD) dan Beban Kerja Dosen (BKD) memiliki peran signifikan dalam proses
sertifikasi dosen dan penerimaan tunjangan profesi dosen. Untuk mengikuti
proses sertifikasi, dosen harus memenuhi syarat sebagai berikut:
- Pengalaman
Kerja: Dosen harus memiliki pengalaman mengajar selama minimal dua tahun
dengan memenuhi beban kerja paling sedikit setara dengan 12 SKS.
- Jabatan
Akademik: Dosen harus memiliki jabatan akademik paling rendah Asisten Ahli.
- Portofolio
Kompetensi: Proses sertifikasi dilakukan melalui uji kompetensi berupa penilaian
portofolio yang mencakup pemenuhan IKD, pelaksanaan BKD, serta aktivitas
tridarma lainnya.
Pemenuhan BKD yang merujuk pada pencapaian 12 SKS selama dua tahun menjadi
dasar kelayakan untuk proses sertifikasi, sedangkan IKD mencerminkan
produktivitas dan dampak aktivitas dosen pada tridarma perguruan tinggi.
Kinerja baik dalam kedua aspek ini akan meningkatkan penilaian portofolio dosen
selama proses sertifikasi. Setelah memiliki sertifikat pendidik, dosen tetap
harus memenuhi BKD setiap semester untuk menerima tunjangan profesi dosen,
yaitu penghargaan atas keprofesian mereka yang telah diakui (Sulistiyo &
Andriyani, 2022).
Perbedaan Tunjangan Kinerja dan Tunjangan Profesi Dosen
Tunjangan Kinerja (tukin) berbeda dengan Tunjangan Profesi Dosen (TPD). Tukin adalah
komponen penghasilan ASN yang mencerminkan kinerja individu dalam organisasi
pemerintah. TPD, di sisi lain, merupakan tunjangan bagi dosen (baik ASN maupun
non-ASN) yang telah memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi syarat tambahan
lainnya, termasuk beban kerja minimal 12 SKS per semester serta status sebagai
dosen tetap.
Dosen di bawah naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan
Teknologi (Kemdikbudristek), terutama dosen di PTN Satuan Kerja (PTN Satker),
selama ini tidak mendapatkan tukin. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden No.
131 Tahun 2018, yang mengecualikan dosen dari penerima tunjangan kinerja.
Dengan dicabutnya peraturan tersebut pada tahun 2022, proses harmonisasi untuk
merumuskan kebijakan pemberian tunjangan kinerja dosen sedang berlangsung.
Prospek Tunjangan Kinerja bagi Dosen
Terkait implementasi tunjangan kinerja bagi dosen mulai tahun 2025,
Permendikbudristek No. 44 Tahun 2024 tidak mengatur secara eksplisit hal ini.
Namun, kebijakan terkait sedang disusun dalam bentuk peraturan baru untuk ASN
di lingkungan Kemendikbudristek, yang saat ini masih berada dalam tahap harmonisasi.
Jika kebijakan tersebut diterapkan, dosen yang sebelumnya tidak menerima
tunjangan kinerja diharapkan mulai mendapatkan haknya sebagai ASN, dengan
mekanisme dan kriteria evaluasi kinerja yang sesuai.
Hal ini penting untuk mendorong motivasi dosen serta mengakui peran
strategis mereka dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan pengembangan ilmu
pengetahuan (Rahman & Sari, 2023). Namun, implementasinya membutuhkan
kejelasan tentang mekanisme evaluasi kinerja, sumber dana, serta sinkronisasi
dengan kebijakan nasional di sektor lain.
Referensi
- Rahman,
H., & Sari, N. (2023). Kebijakan tunjangan profesi dosen dan dampaknya
terhadap kinerja tridarma perguruan tinggi. Jurnal Kebijakan
Pendidikan, 15(1), 56-67.
- Sulistiyo,
A., & Andriyani, P. (2022). Tinjauan peraturan tentang sertifikasi dan
tunjangan profesi dosen. Jurnal Pendidikan Tinggi, 12(2), 87-95.
- Iskandar, S., & Susilawati, R. (2023). Kebijakan
pengangkatan jabatan akademik di perguruan tinggi: Tinjauan terhadap
Permendikbudristek No. 44 Tahun 2024. Jurnal
Administrasi Akademik dan Kebijakan Publik, 11(1), 34–48.
- Saputra, T., Rahman, D., & Lestari, P. (2022). Prosedur
administratif pengangkatan jabatan akademik dosen tetap di perguruan
tinggi. Jurnal Pendidikan dan Regulasi, 8(2),
77–89.
- Ismail, A., & Rahman, T. (2021). Pengelolaan sumber daya
manusia pada perguruan tinggi: Sebuah pendekatan strategis. Jurnal Manajemen dan Pendidikan Tinggi, 10(2),
85–97.
- Nugroho, D., Rachmat, B., & Putri, H. (2020). Mekanisme
keluhan beban kerja dosen di perguruan tinggi negeri berbadan hukum. Jurnal Hukum dan Kebijakan Pendidikan, 5(1),
45–60.
- Setyowati, S., Susilo, P., & Haryati, R. (2021). Manajemen
sumber daya manusia pada perguruan tinggi kedinasan: Tinjauan regulasi dan
praktik. Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik,
8(3), 112–124.
- Widyaningrum, S., Anjani, P., & Lestari, A. (2022).
Dukungan kesejahteraan mental untuk dosen di lingkungan pendidikan tinggi.
Jurnal Psikologi Pendidikan, 12(1),
33–45.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
"Perkenalkan, blog saya adalah ruang untuk berbagi cerita, informasi, dan wawasan. Dengan tujuan menginspirasi dan memperkaya pengetahuan, blog ini hadir untuk menjalin koneksi, berbagi pengalaman, dan memberikan nilai tambah bagi setiap pembaca."
Komentar
Posting Komentar