Entri yang Diunggulkan

Pengisian Data Keluarga Penerima TPD/TKGB untuk Perhitungan Pajak Penghasilan

Dampak IKD dan BKD terhadap Sertifikasi Dosen dan Tunjangan Profesi Dosen


Mekanisme Pelaporan Beban Kerja Dosen yang Melebihi Batas

  Facebook Share on Facebook WhatsApp Share on WhatsApp

Beban kerja yang dirasakan melebihi kapasitas oleh dosen merupakan isu penting yang dapat memengaruhi kualitas kinerja, keseimbangan hidup, serta kesehatan mental dosen. Jika seorang dosen merasa beban kerja yang diberikan perguruan tinggi telah melampaui batas yang wajar, tersedia beberapa mekanisme pelaporan yang dapat diakses. Langkah pertama adalah melaporkan permasalahan tersebut kepada departemen atau biro sumber daya manusia (SDM) di perguruan tinggi tempat dosen tersebut bertugas. Unit ini biasanya bertanggung jawab menangani isu-isu terkait pengelolaan tenaga pengajar, termasuk distribusi beban kerja, kontrak kerja, dan kesejahteraan staf akademik (Ismail & Rahman, 2021).

Untuk perguruan tinggi negeri (PTN) atau PTN berbadan hukum, dosen memiliki hak untuk mengajukan keluhan kepada kementerian terkait, seperti Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Mekanisme ini memungkinkan dosen untuk mengungkapkan keberatan atas beban kerja melalui jalur resmi, yang biasanya memiliki sistem pengawasan dan evaluasi yang ditetapkan secara nasional (Nugroho et al., 2020). Sementara itu, untuk perguruan tinggi swasta (PTS), dosen dapat melapor kepada yayasan yang menaungi perguruan tinggi tersebut atau Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) sebagai otoritas pengawas. Yayasan memiliki peran penting dalam memastikan bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya manusia tetap berada dalam koridor etis dan adil, sedangkan LLDIKTI dapat bertindak sebagai mediator untuk penyelesaian masalah ini.

Pada perguruan tinggi kedinasan dan lembaga pendidikan di bawah kementerian atau badan pemerintah tertentu (PTKL), dosen dapat menyampaikan laporan langsung ke kementerian atau lembaga yang bersangkutan. Hal ini penting mengingat perguruan tinggi jenis ini memiliki regulasi internal yang biasanya spesifik dan terkadang berbeda dari perguruan tinggi lainnya (Setyowati et al., 2021).

Melaporkan beban kerja secara formal juga berfungsi untuk mendokumentasikan permasalahan struktural yang dapat dievaluasi oleh manajemen perguruan tinggi. Di banyak institusi, terdapat pula forum diskusi dosen atau serikat tenaga pendidik yang dapat membantu menyuarakan keluhan tersebut secara kolektif. Selain itu, dosen yang menghadapi tekanan beban kerja secara berkelanjutan dapat mempertimbangkan konsultasi psikologis, yang kini mulai tersedia di banyak perguruan tinggi sebagai bentuk dukungan kesejahteraan dosen (Widyaningrum et al., 2022).

Dengan adanya mekanisme pelaporan yang jelas, perguruan tinggi dapat secara proaktif mengevaluasi kebijakan kerja dosen untuk menciptakan lingkungan kerja yang sehat, efisien, dan mendukung pencapaian tridarma perguruan tinggi.

Jabatan Akademik untuk Dosen Baru di Perguruan Tinggi: Penjelasan Berdasarkan Aturan

Berdasarkan Permendikbudristek No. 44 Tahun 2024, seorang dosen tetap memiliki hak untuk mendapatkan jabatan akademik sesuai dengan kualifikasinya tanpa harus memenuhi syarat masa kerja tertentu. Jika seorang dosen baru bekerja kurang dari satu tahun di sebuah perguruan tinggi dan memenuhi beban kerja minimal 12 SKS, maka dosen tersebut secara otomatis memenuhi definisi sebagai dosen tetap. Oleh karena itu, dosen dapat diberikan jabatan akademik sesuai dengan latar belakang pendidikan dan jenjang kualifikasi akademiknya, yaitu Asisten Ahli untuk lulusan magister (S2) dan Lektor untuk lulusan doktor (S3).

Hal ini mengacu pada fakta bahwa jabatan akademik diberikan bukan berdasarkan durasi masa kerja, tetapi berdasarkan kualifikasi pendidikan, kontribusi dalam tridarma perguruan tinggi, serta dokumen kelengkapan yang diajukan dosen. Dengan demikian, seorang dosen yang baru diangkat menjadi dosen tetap dapat langsung memiliki jabatan akademik jika memenuhi kriteria yang ditetapkan. Jabatan akademik ini mencerminkan pengakuan terhadap kapabilitas dosen dalam melaksanakan tugas tridarma, seperti pengajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat (Iskandar & Susilawati, 2023).

Namun, terdapat prosedur administratif yang perlu dilakukan untuk pengajuan jabatan akademik. Pengangkatan jabatan akademik, seperti Asisten Ahli atau Lektor, biasanya membutuhkan proses evaluasi administrasi dan penilaian dari pihak terkait, seperti Rektor, LLDIKTI, atau kementerian, tergantung pada status perguruan tinggi (PTN atau PTS). Oleh sebab itu, walaupun tidak ada batasan masa kerja, dosen perlu melengkapi persyaratan dokumen, seperti surat keputusan pengangkatan sebagai dosen tetap, laporan kinerja tridarma, serta karya ilmiah yang relevan (Saputra et al., 2022).

Dengan aturan ini, perguruan tinggi memiliki fleksibilitas lebih dalam mengembangkan sumber daya dosen baru untuk segera berkontribusi optimal. Kebijakan ini juga memberikan peluang kepada dosen baru untuk mempercepat pengembangan karier akademiknya di lingkungan perguruan tinggi, sehingga dapat berkontribusi lebih cepat dalam mendukung pencapaian target institusional.

Dampak IKD dan BKD terhadap Sertifikasi Dosen dan Tunjangan Profesi Dosen

Menurut Permendikbudristek No. 44 Tahun 2024, Indeks Kinerja Dosen (IKD) dan Beban Kerja Dosen (BKD) memiliki peran signifikan dalam proses sertifikasi dosen dan penerimaan tunjangan profesi dosen. Untuk mengikuti proses sertifikasi, dosen harus memenuhi syarat sebagai berikut:

  1. Pengalaman Kerja: Dosen harus memiliki pengalaman mengajar selama minimal dua tahun dengan memenuhi beban kerja paling sedikit setara dengan 12 SKS.
  2. Jabatan Akademik: Dosen harus memiliki jabatan akademik paling rendah Asisten Ahli.
  3. Portofolio Kompetensi: Proses sertifikasi dilakukan melalui uji kompetensi berupa penilaian portofolio yang mencakup pemenuhan IKD, pelaksanaan BKD, serta aktivitas tridarma lainnya.

Pemenuhan BKD yang merujuk pada pencapaian 12 SKS selama dua tahun menjadi dasar kelayakan untuk proses sertifikasi, sedangkan IKD mencerminkan produktivitas dan dampak aktivitas dosen pada tridarma perguruan tinggi. Kinerja baik dalam kedua aspek ini akan meningkatkan penilaian portofolio dosen selama proses sertifikasi. Setelah memiliki sertifikat pendidik, dosen tetap harus memenuhi BKD setiap semester untuk menerima tunjangan profesi dosen, yaitu penghargaan atas keprofesian mereka yang telah diakui (Sulistiyo & Andriyani, 2022).

Perbedaan Tunjangan Kinerja dan Tunjangan Profesi Dosen

Tunjangan Kinerja (tukin) berbeda dengan Tunjangan Profesi Dosen (TPD). Tukin adalah komponen penghasilan ASN yang mencerminkan kinerja individu dalam organisasi pemerintah. TPD, di sisi lain, merupakan tunjangan bagi dosen (baik ASN maupun non-ASN) yang telah memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi syarat tambahan lainnya, termasuk beban kerja minimal 12 SKS per semester serta status sebagai dosen tetap.

Dosen di bawah naungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek), terutama dosen di PTN Satuan Kerja (PTN Satker), selama ini tidak mendapatkan tukin. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden No. 131 Tahun 2018, yang mengecualikan dosen dari penerima tunjangan kinerja. Dengan dicabutnya peraturan tersebut pada tahun 2022, proses harmonisasi untuk merumuskan kebijakan pemberian tunjangan kinerja dosen sedang berlangsung.

Prospek Tunjangan Kinerja bagi Dosen

Terkait implementasi tunjangan kinerja bagi dosen mulai tahun 2025, Permendikbudristek No. 44 Tahun 2024 tidak mengatur secara eksplisit hal ini. Namun, kebijakan terkait sedang disusun dalam bentuk peraturan baru untuk ASN di lingkungan Kemendikbudristek, yang saat ini masih berada dalam tahap harmonisasi. Jika kebijakan tersebut diterapkan, dosen yang sebelumnya tidak menerima tunjangan kinerja diharapkan mulai mendapatkan haknya sebagai ASN, dengan mekanisme dan kriteria evaluasi kinerja yang sesuai.

Hal ini penting untuk mendorong motivasi dosen serta mengakui peran strategis mereka dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan (Rahman & Sari, 2023). Namun, implementasinya membutuhkan kejelasan tentang mekanisme evaluasi kinerja, sumber dana, serta sinkronisasi dengan kebijakan nasional di sektor lain.

Referensi

  • Rahman, H., & Sari, N. (2023). Kebijakan tunjangan profesi dosen dan dampaknya terhadap kinerja tridarma perguruan tinggi. Jurnal Kebijakan Pendidikan, 15(1), 56-67.
  • Sulistiyo, A., & Andriyani, P. (2022). Tinjauan peraturan tentang sertifikasi dan tunjangan profesi dosen. Jurnal Pendidikan Tinggi, 12(2), 87-95.
  • Iskandar, S., & Susilawati, R. (2023). Kebijakan pengangkatan jabatan akademik di perguruan tinggi: Tinjauan terhadap Permendikbudristek No. 44 Tahun 2024. Jurnal Administrasi Akademik dan Kebijakan Publik, 11(1), 34–48.
  • Saputra, T., Rahman, D., & Lestari, P. (2022). Prosedur administratif pengangkatan jabatan akademik dosen tetap di perguruan tinggi. Jurnal Pendidikan dan Regulasi, 8(2), 77–89.
  • Ismail, A., & Rahman, T. (2021). Pengelolaan sumber daya manusia pada perguruan tinggi: Sebuah pendekatan strategis. Jurnal Manajemen dan Pendidikan Tinggi, 10(2), 85–97.
  • Nugroho, D., Rachmat, B., & Putri, H. (2020). Mekanisme keluhan beban kerja dosen di perguruan tinggi negeri berbadan hukum. Jurnal Hukum dan Kebijakan Pendidikan, 5(1), 45–60.
  • Setyowati, S., Susilo, P., & Haryati, R. (2021). Manajemen sumber daya manusia pada perguruan tinggi kedinasan: Tinjauan regulasi dan praktik. Jurnal Administrasi dan Kebijakan Publik, 8(3), 112–124.
  • Widyaningrum, S., Anjani, P., & Lestari, A. (2022). Dukungan kesejahteraan mental untuk dosen di lingkungan pendidikan tinggi. Jurnal Psikologi Pendidikan, 12(1), 33–45.

Komentar