Entri yang Diunggulkan

Menyusun Daftar Pustaka dengan Mendeley dan Zotero: Cara Praktis Biar Gak Pusing di Akhir

Menyusun Daftar Pustaka dengan Mendeley dan Zotero: Cara Praktis Biar Gak Pusing di Akhir Siapa yang suka nulis artikel atau skripsi tapi baru nyusun daftar pustaka pas detik-detik terakhir? Kalau kamu salah satunya, kita sepemikiran. Daftar pustaka, meski kelihatan remeh, sering jadi penyebab stres menjelang deadline. Salah satu baris, lupa format, titik koma yang keliru, atau urutan nama yang kacau bisa bikin kita dihukum dosen atau reviewer jurnal. Untungnya, sekarang kita hidup di zaman digital, dan ada dua “penyelamat” utama dalam dunia akademik: Mendeley dan Zotero . Kedua software ini bisa membantu menyusun referensi secara otomatis, konsisten, dan rapi hanya dengan beberapa klik. Tapi tentu saja, kita tetap perlu tahu cara gunainnya dengan benar. Artikel ini bakal ngajak kamu kenalan dan membandingkan Mendeley dan Zotero, sambil kasih tips penggunaan biar kamu bisa fokus nulis tanpa ribet mikirin daftar pustaka.   Kenapa Daftar Pustaka Itu Penting Banget? Sebelum...

Diikuti oleh lebih dari 500 peserta, UNP menitikberatkan pada pengembangan karir dosen dalam kegiatan sosialisasi ini.

 Sosialisasi Pengembangan Karir Dosen yang diselenggarakan pada Senin, 9 September 2024 oleh Kemendikbudristek RI telah memberikan banyak informasi penting dan strategi baru yang akan mengubah lanskap akademik di Indonesia. Beberapa catatan penting dari sosialisasi ini menunjukkan langkah-langkah signifikan yang diambil pemerintah untuk memperbaiki dan menyempurnakan sistem pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya terkait pengembangan karir dosen.

Pertama, peralihan dari aplikasi SINTA ke Anjani sebagai platform utama dalam pengelolaan data dosen adalah langkah besar yang patut diapresiasi. Anjani diharapkan dapat menjadi sistem yang lebih canggih dan responsif dalam mendukung kebutuhan dosen. Pergantian ini menandakan komitmen pemerintah dalam meningkatkan efisiensi dan akurasi data, serta mengurangi beban administrasi yang sering kali menjadi kendala bagi dosen dalam menjalankan tugasnya.

Kedua, kebijakan yang menetapkan minimal satu profesor di setiap program studi adalah sebuah langkah visioner yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas akademik di setiap perguruan tinggi. Namun, ini juga menimbulkan tantangan besar bagi perguruan tinggi yang saat ini masih kekurangan tenaga profesor. Diharapkan, dengan adanya kebijakan ini, proses peningkatan jenjang karir dosen menjadi lebih terstruktur dan terfasilitasi dengan baik.

Poin ketiga, terkait sertifikasi dosen, juga membawa angin segar. Dosen yang memenuhi syarat (eligible) tidak perlu lagi menunggu kuota untuk mendapatkan sertifikasi. Ini adalah langkah yang sangat positif karena dapat mempercepat proses pengakuan kompetensi dosen dan, pada akhirnya, berdampak pada peningkatan mutu pendidikan di Indonesia.

Keputusan untuk memindahkan otoritas pemberian gelar Profesor dari negara ke perguruan tinggi mulai 1 Januari 2025 merupakan perubahan yang cukup signifikan. Dengan demikian, gelar Profesor tidak lagi dianggap sebagai gelar akademik yang melekat seumur hidup, melainkan sebagai jabatan akademik yang dapat dicabut ketika seseorang pensiun atau pindah ke instansi lain. Perubahan ini bisa jadi memunculkan perdebatan, namun di sisi lain, bisa menjadi mekanisme untuk memastikan bahwa jabatan Profesor benar-benar mencerminkan kompetensi dan kontribusi akademik yang terus-menerus.

Selanjutnya, penghapusan penggunaan NIDN, NIDK, dan NUP yang akan digantikan dengan NUPTK adalah langkah lain yang akan menyederhanakan administrasi dosen. Dengan sistem baru ini, diharapkan tidak ada lagi perbedaan yang rumit dalam pengelolaan identitas dosen, yang selama ini mungkin menimbulkan kebingungan dan kendala administratif.

Pengembangan karir dosen juga semakin dipermudah dengan kebijakan baru yang memungkinkan dosen untuk fokus pada salah satu aspek Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kebijakan ini sangat relevan dalam konteks beban kerja dosen yang kerap kali terlalu berat, sehingga dapat menghambat produktivitas dan inovasi. Dengan adanya fleksibilitas dalam menentukan indikator kinerja dosen (IKD), diharapkan setiap dosen dapat lebih optimal dalam berkarya sesuai dengan keahlian dan minat mereka.

Di sisi lain, kebijakan pembebasan dosen yang menjabat struktural seperti Rektor, Wakil Rektor, Dekan, dan Wakil Dekan dari kewajiban Tri Dharma Perguruan Tinggi patut dipertimbangkan lebih lanjut. Meskipun kebijakan ini akan memberikan waktu lebih bagi mereka untuk fokus pada tugas manajerial, namun perlu diingat bahwa kontribusi akademik adalah inti dari eksistensi seorang dosen.

Terakhir, rencana pemberian tunjangan kinerja (tukin) untuk dosen pada tahun 2025 merupakan kebijakan yang sangat dinantikan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah mulai lebih serius memperhatikan kesejahteraan dosen, yang selama ini sering kali menjadi isu krusial di lingkungan pendidikan tinggi.

Secara keseluruhan, sosialisasi ini menggambarkan upaya berkelanjutan dari Kemendikbudristek RI untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi di Indonesia melalui pengembangan karir dosen yang lebih baik, transparan, dan adil. Namun, seperti halnya setiap perubahan besar, implementasinya tentu akan membutuhkan penyesuaian, pengawasan, dan komitmen dari semua pihak terkait.




Komentar