Entri yang Diunggulkan

Pahami Bedanya: Artikel Ilmiah, Prosiding, dan Buku Ajar dalam Dunia Akademik

Pahami Bedanya: Artikel Ilmiah, Prosiding, dan Buku Ajar dalam Dunia Akademik Dalam dunia akademik, istilah seperti artikel ilmiah, prosiding, dan buku ajar sering terdengar berseliweran di antara para dosen, mahasiswa, dan peneliti. Tapi jujur saja, nggak semua orang langsung paham bedanya. Banyak yang masih bingung: “Ini naskah saya masuknya ke kategori artikel ilmiah atau buku ajar ya?” atau “Kalau saya ikut seminar dan makalah saya dimuat di prosiding, apakah itu dihitung publikasi ilmiah juga?” Kalau kamu salah satu yang masih bingung, tenang saja. Di artikel ini, kita bakal bahas perbedaan ketiga jenis karya akademik itu dengan gaya bahasa yang ringan tapi tetap ilmiah. Kita akan bedah satu per satu: mulai dari definisi, ciri-ciri, tujuan, cara penulisan, hingga contoh nyata penggunaannya.   1. Artikel Ilmiah: Karya Singkat yang Padat Ilmu Apa Itu Artikel Ilmiah? Artikel ilmiah adalah tulisan pendek (biasanya 5–15 halaman) yang memuat hasil pemikiran, penelitian,...

Tips Publikasi di Jurnal Terindeks Scopus: Panduan Santai tapi Serius untuk Dosen dan Peneliti

Tips Publikasi di Jurnal Terindeks Scopus: Panduan Santai tapi Serius untuk Dosen dan Peneliti

Bagi banyak dosen dan peneliti, memublikasikan artikel di jurnal terindeks Scopus itu seperti naik gunung: butuh persiapan, tenaga, dan tekad. Tapi percayalah, hal itu bukan hal mustahil. Bahkan kalau dilakukan dengan strategi yang tepat, kita bisa sampai ke “puncak Scopus” tanpa harus tersesat di tengah jalan. Artikel ini ditulis secara santai tapi tetap serius, biar bisa jadi teman ngopi sambil mikir: “Gimana sih caranya bisa tembus jurnal Scopus?”

Yuk kita bahas pelan-pelan, tapi pasti.

 

1. Kenapa Harus Scopus? Emang Penting?

Pertanyaan yang wajar. Buat apa repot-repot mikir publikasi di Scopus, padahal nulis artikel di jurnal lokal aja udah ngos-ngosan?

Jawabannya tergantung pada tujuanmu. Tapi umumnya, publikasi di jurnal Scopus penting karena:

·         Jadi syarat untuk kenaikan jabatan akademik dosen, terutama untuk Lektor Kepala dan Guru Besar.

·         Dianggap sebagai pengakuan internasional atas kualitas riset kita.

·         Menambah nilai dalam proposal hibah penelitian.

·         Meningkatkan visibilitas ilmiah — tulisanmu bisa dibaca peneliti dari seluruh dunia.

Jadi, kalau kamu ingin serius di dunia akademik, publikasi Scopus itu kayak “tiket emas” buat naik level.

 

2. Mulai dari Mana? Bukan dari Tengah, Tapi dari Niat dan Naskah

Hal pertama yang harus kamu punya bukan jurnal Scopus-nya dulu, tapi naskah yang layak publikasi. Banyak orang bingung nyari jurnal sebelum punya artikel yang siap. Padahal mestinya kita fokus dulu pada:

·         Topik yang menarik dan relevan

·         Data yang valid dan terstruktur

·         Metode yang jelas

·         Analisis yang kuat

·         Bahasa yang rapi

Kalau artikelmu masih berantakan, jangan buru-buru kirim. Kamu cuma buang waktu dan bikin reviewer pusing.

 

3. Pilih Jurnal yang Tepat, Jangan Asal Kirim

Ini kesalahan paling umum: asal kirim ke jurnal Scopus tanpa membaca fokus dan scope-nya. Akibatnya? Langsung desk reject, alias ditolak tanpa dibaca lebih jauh.

Tips memilih jurnal:

·         Kunjungi website jurnalnya langsung, jangan cuma lihat dari list di Google.

·         Baca bagian Aims and Scope, pastikan cocok dengan tema artikelmu.

·         Periksa template dan format artikel yang diminta.

·         Lihat acceptance rate dan waktu review (kalau tersedia).

·         Cek publisher-nya (hindari jurnal predator!).

Gunakan tools seperti:

·         ScimagoJR (https://www.scimagojr.com)

·         DOAJ (https://doaj.org)

Atau langsung buka https://www.scopus.com dan cari berdasarkan bidang.

 

4. Kenali Struktur Artikel Jurnal Internasional

Jurnal Scopus biasanya punya struktur yang hampir sama:

1.      Title: ringkas, jelas, dan mengandung kata kunci

2.      Abstract: sekitar 150–250 kata, mencakup tujuan, metode, hasil, dan kesimpulan

3.      Keywords: 4–6 kata kunci yang mewakili isi

4.      Introduction: menjelaskan latar belakang, gap penelitian, dan tujuan

5.      Methodology: rinci, sistematis, bisa direplikasi

6.      Results and Discussion: tampilkan data dengan grafik/tabel, lalu dibahas

7.      Conclusion: ringkasan temuan penting dan implikasi

8.      References: gunakan gaya sitasi yang diminta, misalnya APA, IEEE, atau Harvard

Jangan lupa, setiap bagian harus menyatu secara logis. Jangan ada bagian yang “terlihat nyelip” atau terlalu mengulang.

 

5. Gunakan Bahasa Inggris yang Baik (dan Benar)

Yup, mayoritas jurnal Scopus menggunakan bahasa Inggris. Dan ini tantangan tersendiri bagi penulis non-native speaker.

Tapi tenang, kamu tidak harus menulis seperti Shakespeare. Yang penting:

·         Bahasa jelas dan langsung ke pokok persoalan.

·         Hindari kalimat panjang dan rumit.

·         Periksa grammar dan ejaan. Gunakan bantuan seperti Grammarly atau Quillbot.

·         Kalau ragu, sewa jasa proofreading atau minta bantuan teman yang mahir bahasa Inggris.

Kelemahan bahasa bisa jadi alasan artikel ditolak, meskipun isinya bagus.

 

6. Jangan Pelit Kutipan dan Referensi

Reviewer akan menilai apakah kamu benar-benar menguasai bidangmu atau tidak. Salah satu cara mengetahuinya adalah dari referensi yang kamu gunakan.

Tips:

·         Gunakan minimal 20–30 referensi ilmiah, tergantung kebijakan jurnal.

·         Prioritaskan artikel dari jurnal Scopus atau jurnal bereputasi lainnya.

·         Jangan lupa sitasi diri sendiri secara proporsional, kalau memang relevan.

Tools seperti Mendeley, Zotero, atau EndNote sangat membantu dalam mengatur referensi dan format kutipan.

 

7. Luangkan Waktu untuk Revisi dan Masukan

Artikel yang bagus tidak lahir dalam sekali tulis. Biasanya perlu beberapa kali direvisi. Minta masukan dari rekan sejawat, dosen pembimbing, atau komunitas penulis ilmiah.

Kadang, masukan pedas justru menyelamatkan artikelmu dari penolakan.

 

8. Submit dan Siap Mental untuk Review

Setelah yakin, kirim artikel melalui submission system jurnal yang dituju. Biasanya prosesnya melalui platform seperti:

·         Elsevier (Editorial Manager)

·         Springer (Manuscript Central)

·         Taylor & Francis (ScholarOne)

·         MDPI (internal platform)

Siapkan juga:

·         Surat pengantar (cover letter)

·         Metadata artikel (judul, abstrak, keyword)

·         File utama artikel (tanpa nama penulis kalau double-blind review)

Setelah submit, kamu harus siap:

·         Menunggu (bisa 1–6 bulan, tergantung jurnal)

·         Menerima hasil review: diterima, revisi minor/major, atau ditolak

Kalau diminta revisi, itu berarti kamu masih punya peluang besar diterima. Jangan baper, perbaiki sesuai masukan reviewer.

 

9. Hati-hati dengan Jurnal Predator

Banyak jurnal mengaku terindeks Scopus padahal tidak. Bahkan mereka kirim email tawaran publikasi cepat, asal bayar.

Cara mengenali jurnal predator:

·         Tidak ada proses review yang jelas

·         Minta biaya tinggi di awal tanpa proses peer review

·         Indeksasi palsu

·         Domain web-nya mencurigakan

·         Tidak terdaftar di Scopus meski mengklaim demikian

Selalu verifikasi ISSN jurnal di Scopus langsung atau tanya ke kolega yang lebih senior.

 

10. Jangan Menyerah Kalau Ditolak

Terakhir, jangan baper kalau ditolak. Itu biasa. Bahkan peneliti senior pun mengalami hal serupa.

Kalau ditolak:

·         Baca komentar reviewer dengan objektif

·         Revisi artikel dan cari jurnal lain yang lebih sesuai

·         Jangan kirim ulang ke jurnal yang sama tanpa perubahan signifikan

Intinya: gagal itu biasa, asal jangan berhenti mencoba.

 

Bonus Tips: Komunitas dan Kolaborasi

Kalau kamu merasa sendirian, bergabunglah dengan komunitas dosen atau penulis artikel ilmiah. Banyak grup Facebook, WhatsApp, dan forum online yang saling berbagi jurnal, pengalaman, bahkan kolaborasi.

Kolaborasi dengan dosen dari kampus lain atau luar negeri juga bisa menambah peluang publikasi, karena:

·         Ada dukungan data dan metode yang lebih kuat

·         Menambah nilai keunikan penelitian

·         Reputasi tim lebih tinggi

 

Penutup: Pelan-Pelan Tapi Konsisten

Publikasi di jurnal Scopus itu bukan perkara instan. Butuh proses, latihan, dan ketekunan. Jangan minder duluan, jangan takut salah. Artikel yang baik akan menemukan jalannya, asal kamu tekun memperbaikinya.

Ingat:

"Menulis itu bukan soal siapa yang paling pintar, tapi siapa yang paling konsisten."

Semoga artikel ini membantu kamu yang sedang (atau akan) berjuang menuju jurnal Scopus. Santai aja, tapi tetap serius.


Komentar