Strategi Membangun Kolaborasi Penelitian antar Kampus: Dari Silaturahmi Ilmiah sampai Proyek Bareng
Kolaborasi itu kata keren di dunia akademik.
Tapi sayangnya, sering kali kata itu hanya berhenti di seminar atau MoU. Ya,
jujur saja, banyak kerja sama antar kampus yang hanya berakhir di selembar
kertas tanpa pernah menyentuh laboratorium atau menghasilkan satu pun
publikasi. Padahal, potensi kolaborasi riset antar kampus di Indonesia itu luar
biasa besar. Tinggal bagaimana kita bisa merancang strategi yang konkret,
luwes, dan realistis.
Nah, dalam tulisan ini, kita akan bahas secara
santai tapi bernas: kenapa sih kolaborasi riset penting banget? Apa saja
tantangan yang biasa muncul? Dan tentu saja, kita juga akan bahas strategi jitu membangun kolaborasi riset yang
benar-benar jalan, bukan sekadar basa-basi.
Kenapa Kolaborasi Penelitian Itu Penting?
Bayangkan riset seperti masak rendang. Kalau
kamu masak sendiri, bisa saja jadi, tapi butuh waktu lama dan hasilnya belum
tentu maksimal. Tapi kalau kamu masak bareng teman yang jago bumbu, satu lagi
yang punya daging sapi premium, dan kamu sendiri punya resep rahasia—wah,
hasilnya bisa luar biasa!
Begitu juga dengan riset. Kolaborasi
mempertemukan:
·
Keahlian
yang saling melengkapi (misalnya kampus A jago kuantitatif, kampus B
kuat di kualitatif),
·
Sumber
daya yang terbatas kalau sendiri (alat lab, database, jurnal),
·
Jaringan
dan akses yang lebih luas (lebih mudah tembus jurnal internasional
kalau ada co-author dari kampus luar negeri, misalnya).
Menurut Katz dan Martin (1997), kolaborasi
dalam riset mencerminkan proses interaksi yang saling memperkaya antar peneliti
dan institusi, yang pada akhirnya memperkuat kualitas dan dampak penelitian.
Tantangan dalam Kolaborasi Riset Antar Kampus
Sayangnya, niat baik saja nggak cukup.
Kolaborasi antar kampus sering kandas di tengah jalan karena beberapa tantangan
berikut:
1.
Komunikasi yang
tidak efektif
Kadang beda zona waktu (apalagi kalau kolaborasi lintas negara), beda gaya
komunikasi, bahkan beda “bahasa akademik” bikin diskusi jalan di tempat.
2.
Ketimpangan
sumber daya
Misalnya, satu kampus punya dana besar, sementara yang lain hanya bisa
menyumbang tenaga dan waktu. Kalau tidak dikelola dengan baik, bisa timbul
ketimpangan kontribusi.
3.
Perbedaan budaya
institusi
Ada kampus yang birokratis, ada yang fleksibel. Ada yang langsung eksekusi, ada
yang harus lewat rapat dulu lima kali.
4.
Rebutan publikasi
Siapa yang jadi penulis pertama? Siapa yang submit? Siapa yang bayar APC? Ini
sering jadi sumber drama dalam kolaborasi yang mestinya penuh semangat
kekeluargaan.
5.
Kurangnya
leadership yang kuat
Tanpa pemimpin proyek yang tegas tapi komunikatif, kolaborasi bisa kehilangan
arah.
Seperti diungkapkan oleh Bozeman dan Boardman
(2014), keberhasilan kolaborasi ilmiah sangat ditentukan oleh kapasitas
organisasi dan interpersonal peneliti yang terlibat.
Strategi Membangun Kolaborasi Penelitian antar
Kampus
Nah, sekarang bagian serunya—gimana caranya
membangun kolaborasi penelitian yang bukan hanya keren di proposal, tapi juga
menghasilkan karya nyata?
1.
Mulailah dari Silaturahmi Ilmiah yang Tulus
Sebelum masuk ke kolaborasi formal, bangun
dulu relasi informal. Bisa lewat seminar daring, grup riset WhatsApp, atau
saling undang jadi narasumber kuliah tamu. Dari ngobrol santai ini, biasanya
muncul ide riset bareng yang organik dan lebih natural.
“Kolaborasi
terbaik sering kali tumbuh dari interaksi yang tidak disengaja namun penuh rasa
ingin tahu bersama” (Wenger, 1998).
2.
Tentukan Fokus Riset Bersama Sejak Awal
Kolaborasi akan lebih lancar kalau semua pihak
punya minat riset yang beririsan. Misalnya, dua kampus yang sama-sama fokus
pada green education, atau sama-sama
meneliti literasi digital. Kalau fokusnya beda jauh, akan sulit menyatukan
tujuan.
3. Buat
Rencana Kerja yang Jelas dan Realistis
Jangan hanya buat MoU yang isinya “akan
menjalin kerja sama dalam bidang penelitian”. Buat roadmap konkrit:
·
Topik penelitian apa?
·
Target output-nya apa? (artikel, buku, hak
cipta?)
·
Siapa melakukan apa?
·
Tenggat waktunya kapan?
·
Dana dari mana?
Lebih baik bikin rencana kecil tapi realistis
daripada rencana megah yang akhirnya jadi wacana.
4.
Gunakan Platform Kolaboratif Digital
Kita hidup di era Google Docs, Zoom, Mendeley,
Notion, Trello, dan alat bantu kolaborasi lainnya. Gunakanlah! Jangan lagi
kirim dokumen lewat email 17 kali bolak-balik. Buat satu folder bersama, share
file, update progres secara terbuka. Ini membantu semua pihak tetap “on track”.
5.
Libatkan Mahasiswa untuk Efisiensi dan Regenerasi
Kolaborasi dosen akan lebih hidup jika
melibatkan mahasiswa, baik sebagai asisten riset atau penulis pendamping. Ini
tidak hanya menghemat waktu tapi juga bagian dari regenerasi ilmiah. Mahasiswa
juga jadi punya jejaring lebih luas.
Menurut Hara et al. (2003), pelibatan
mahasiswa dalam kolaborasi lintas kampus mampu meningkatkan kompetensi riset
mereka secara signifikan.
6.
Ajukan Proposal Pendanaan Bersama
Banyak skema hibah yang mendukung kolaborasi
lintas institusi. Misalnya:
·
Hibah Penelitian Kolaboratif BRIN
·
Riset Terapan Kemendikbudristek
·
Program Matching Fund Kedaireka
·
Skema internasional seperti Erasmus+, Newton
Fund, dan lainnya
Dengan mengajukan dana bersama, pembagian
peran dan tanggung jawab pun jadi lebih terstruktur.
7. Atur
Perjanjian Publikasi di Awal
Jangan tunggu sampai tulisan selesai baru
ribut siapa yang jadi penulis utama. Buat kesepakatan dari awal:
·
Urutan penulis
·
Siapa submit?
·
Biaya publikasi ditanggung siapa?
·
Target jurnalnya apa?
Ini bisa dimuat dalam “research collaboration
agreement” yang sifatnya internal saja, tidak perlu notaris.
8.
Evaluasi Secara Berkala
Setiap 2-3 bulan sekali, adakan pertemuan
evaluasi progres. Bisa informal, santai, tapi tetap membahas apakah rencana
berjalan sesuai jalur. Kalau ada kendala, segera cari solusi bersama.
Kisah Nyata: Kolaborasi yang Berhasil
Salah satu contoh sukses adalah kolaborasi
antara Universitas Gadjah Mada dan Universitas Hasanuddin dalam bidang
pertanian berkelanjutan. Mereka memulai dari proyek kecil studi komparatif
petani jagung di Yogyakarta dan Gowa. Tapi karena cocok, proyek berkembang jadi
riset tiga tahun dan menghasilkan tiga artikel Scopus, satu buku, dan beberapa
konferensi.
Kuncinya? Ngopi
bareng dulu sebelum MoU. Dan yang terpenting: saling menghargai
kontribusi, walaupun bentuknya beda-beda.
Penutup: Kolaborasi Itu Soal Kepercayaan dan
Komitmen
Kolaborasi penelitian antar kampus bukan hanya
tentang mengejar output, tapi juga membangun ekosistem ilmiah yang sehat. Dalam
kolaborasi, bukan hanya soal siapa yang paling pintar, tapi siapa yang paling
bisa dipercaya dan diajak bekerja sama.
Jangan tunggu undangan resmi atau proyek
besar. Mulailah dari diskusi kecil, dari seminar daring, dari pertukaran ide di
grup riset. Dari situ, kolaborasi sejati akan tumbuh, dan riset-riset luar
biasa akan lahir.
Seperti kata pepatah akademik (kalau ada): “Penelitian itu bisa dilakukan sendiri, tapi
hasilnya lebih luar biasa kalau dilakukan bersama.”
Referensi
Bozeman, B., & Boardman, C. (2014). Research collaboration and team science: A
state-of-the-art review and agenda. Springer.
Hara, N., Solomon, P., Kim, S. L., &
Sonnenwald, D. H. (2003). An emerging view of scientific collaboration:
Scientists' perspectives on collaboration and factors that impact collaboration.
Journal of the American Society for
Information Science and Technology, 54(10), 952–965.
Katz, J. S., & Martin, B. R. (1997). What
is research collaboration? Research Policy,
26(1), 1–18.
Wenger, E. (1998). Communities of practice: Learning, meaning, and identity.
Cambridge University Press.
Komentar
Posting Komentar