Entri yang Diunggulkan

Bagaimana Dosen Dapat Menjadi Agen Perubahan di Kampus?

Oleh: Ruang Dosen Halo, para kolega dosen yang selalu semangat berkarya di ruang kelas maupun luar kelas! 👋 Pernah nggak sih kamu bertanya-tanya, "Sebenarnya, peran saya di kampus ini cuma sebatas ngajar, bikin soal, dan setor nilai, atau bisa lebih dari itu?" Kalau pertanyaan itu muncul, selamat! Artinya kamu sedang berada di titik reflektif yang sehat. Sebab faktanya, dosen bukan hanya pengajar , tapi juga bisa menjadi agen perubahan di lingkungan kampus . Tunggu dulu, “agen perubahan”? Kedengarannya berat, ya? Tenang. Kita tidak sedang bicara tentang superhero yang menyelamatkan dunia, tapi lebih ke peran-peran kecil namun berdampak besar yang bisa kita mainkan sebagai bagian dari komunitas akademik. Yuk, kita ulas bersama: bagaimana dosen bisa menjadi agen perubahan di kampus, dengan cara yang realistis, aplikatif, dan pastinya nggak bikin stres.   🎯 Apa Itu Agen Perubahan? Sebelum jauh-jauh membahas peran dosen, mari kita pahami dulu apa itu agen peruba...

Strategi Membangun Kolaborasi Penelitian antar Kampus: Dari Silaturahmi Ilmiah sampai Proyek Bareng

Strategi Membangun Kolaborasi Penelitian antar Kampus: Dari Silaturahmi Ilmiah sampai Proyek Bareng

Kolaborasi itu kata keren di dunia akademik. Tapi sayangnya, sering kali kata itu hanya berhenti di seminar atau MoU. Ya, jujur saja, banyak kerja sama antar kampus yang hanya berakhir di selembar kertas tanpa pernah menyentuh laboratorium atau menghasilkan satu pun publikasi. Padahal, potensi kolaborasi riset antar kampus di Indonesia itu luar biasa besar. Tinggal bagaimana kita bisa merancang strategi yang konkret, luwes, dan realistis.

Nah, dalam tulisan ini, kita akan bahas secara santai tapi bernas: kenapa sih kolaborasi riset penting banget? Apa saja tantangan yang biasa muncul? Dan tentu saja, kita juga akan bahas strategi jitu membangun kolaborasi riset yang benar-benar jalan, bukan sekadar basa-basi.

 

Kenapa Kolaborasi Penelitian Itu Penting?

Bayangkan riset seperti masak rendang. Kalau kamu masak sendiri, bisa saja jadi, tapi butuh waktu lama dan hasilnya belum tentu maksimal. Tapi kalau kamu masak bareng teman yang jago bumbu, satu lagi yang punya daging sapi premium, dan kamu sendiri punya resep rahasia—wah, hasilnya bisa luar biasa!

Begitu juga dengan riset. Kolaborasi mempertemukan:

·         Keahlian yang saling melengkapi (misalnya kampus A jago kuantitatif, kampus B kuat di kualitatif),

·         Sumber daya yang terbatas kalau sendiri (alat lab, database, jurnal),

·         Jaringan dan akses yang lebih luas (lebih mudah tembus jurnal internasional kalau ada co-author dari kampus luar negeri, misalnya).

Menurut Katz dan Martin (1997), kolaborasi dalam riset mencerminkan proses interaksi yang saling memperkaya antar peneliti dan institusi, yang pada akhirnya memperkuat kualitas dan dampak penelitian.

 

Tantangan dalam Kolaborasi Riset Antar Kampus

Sayangnya, niat baik saja nggak cukup. Kolaborasi antar kampus sering kandas di tengah jalan karena beberapa tantangan berikut:

1.      Komunikasi yang tidak efektif
Kadang beda zona waktu (apalagi kalau kolaborasi lintas negara), beda gaya komunikasi, bahkan beda “bahasa akademik” bikin diskusi jalan di tempat.

2.      Ketimpangan sumber daya
Misalnya, satu kampus punya dana besar, sementara yang lain hanya bisa menyumbang tenaga dan waktu. Kalau tidak dikelola dengan baik, bisa timbul ketimpangan kontribusi.

3.      Perbedaan budaya institusi
Ada kampus yang birokratis, ada yang fleksibel. Ada yang langsung eksekusi, ada yang harus lewat rapat dulu lima kali.

4.      Rebutan publikasi
Siapa yang jadi penulis pertama? Siapa yang submit? Siapa yang bayar APC? Ini sering jadi sumber drama dalam kolaborasi yang mestinya penuh semangat kekeluargaan.

5.      Kurangnya leadership yang kuat
Tanpa pemimpin proyek yang tegas tapi komunikatif, kolaborasi bisa kehilangan arah.

Seperti diungkapkan oleh Bozeman dan Boardman (2014), keberhasilan kolaborasi ilmiah sangat ditentukan oleh kapasitas organisasi dan interpersonal peneliti yang terlibat.

 

Strategi Membangun Kolaborasi Penelitian antar Kampus

Nah, sekarang bagian serunya—gimana caranya membangun kolaborasi penelitian yang bukan hanya keren di proposal, tapi juga menghasilkan karya nyata?

1. Mulailah dari Silaturahmi Ilmiah yang Tulus

Sebelum masuk ke kolaborasi formal, bangun dulu relasi informal. Bisa lewat seminar daring, grup riset WhatsApp, atau saling undang jadi narasumber kuliah tamu. Dari ngobrol santai ini, biasanya muncul ide riset bareng yang organik dan lebih natural.

“Kolaborasi terbaik sering kali tumbuh dari interaksi yang tidak disengaja namun penuh rasa ingin tahu bersama” (Wenger, 1998).

2. Tentukan Fokus Riset Bersama Sejak Awal

Kolaborasi akan lebih lancar kalau semua pihak punya minat riset yang beririsan. Misalnya, dua kampus yang sama-sama fokus pada green education, atau sama-sama meneliti literasi digital. Kalau fokusnya beda jauh, akan sulit menyatukan tujuan.

3. Buat Rencana Kerja yang Jelas dan Realistis

Jangan hanya buat MoU yang isinya “akan menjalin kerja sama dalam bidang penelitian”. Buat roadmap konkrit:

·         Topik penelitian apa?

·         Target output-nya apa? (artikel, buku, hak cipta?)

·         Siapa melakukan apa?

·         Tenggat waktunya kapan?

·         Dana dari mana?

Lebih baik bikin rencana kecil tapi realistis daripada rencana megah yang akhirnya jadi wacana.

4. Gunakan Platform Kolaboratif Digital

Kita hidup di era Google Docs, Zoom, Mendeley, Notion, Trello, dan alat bantu kolaborasi lainnya. Gunakanlah! Jangan lagi kirim dokumen lewat email 17 kali bolak-balik. Buat satu folder bersama, share file, update progres secara terbuka. Ini membantu semua pihak tetap “on track”.

5. Libatkan Mahasiswa untuk Efisiensi dan Regenerasi

Kolaborasi dosen akan lebih hidup jika melibatkan mahasiswa, baik sebagai asisten riset atau penulis pendamping. Ini tidak hanya menghemat waktu tapi juga bagian dari regenerasi ilmiah. Mahasiswa juga jadi punya jejaring lebih luas.

Menurut Hara et al. (2003), pelibatan mahasiswa dalam kolaborasi lintas kampus mampu meningkatkan kompetensi riset mereka secara signifikan.

6. Ajukan Proposal Pendanaan Bersama

Banyak skema hibah yang mendukung kolaborasi lintas institusi. Misalnya:

·         Hibah Penelitian Kolaboratif BRIN

·         Riset Terapan Kemendikbudristek

·         Program Matching Fund Kedaireka

·         Skema internasional seperti Erasmus+, Newton Fund, dan lainnya

Dengan mengajukan dana bersama, pembagian peran dan tanggung jawab pun jadi lebih terstruktur.

7. Atur Perjanjian Publikasi di Awal

Jangan tunggu sampai tulisan selesai baru ribut siapa yang jadi penulis utama. Buat kesepakatan dari awal:

·         Urutan penulis

·         Siapa submit?

·         Biaya publikasi ditanggung siapa?

·         Target jurnalnya apa?

Ini bisa dimuat dalam “research collaboration agreement” yang sifatnya internal saja, tidak perlu notaris.

8. Evaluasi Secara Berkala

Setiap 2-3 bulan sekali, adakan pertemuan evaluasi progres. Bisa informal, santai, tapi tetap membahas apakah rencana berjalan sesuai jalur. Kalau ada kendala, segera cari solusi bersama.

 

Kisah Nyata: Kolaborasi yang Berhasil

Salah satu contoh sukses adalah kolaborasi antara Universitas Gadjah Mada dan Universitas Hasanuddin dalam bidang pertanian berkelanjutan. Mereka memulai dari proyek kecil studi komparatif petani jagung di Yogyakarta dan Gowa. Tapi karena cocok, proyek berkembang jadi riset tiga tahun dan menghasilkan tiga artikel Scopus, satu buku, dan beberapa konferensi.

Kuncinya? Ngopi bareng dulu sebelum MoU. Dan yang terpenting: saling menghargai kontribusi, walaupun bentuknya beda-beda.

 

Penutup: Kolaborasi Itu Soal Kepercayaan dan Komitmen

Kolaborasi penelitian antar kampus bukan hanya tentang mengejar output, tapi juga membangun ekosistem ilmiah yang sehat. Dalam kolaborasi, bukan hanya soal siapa yang paling pintar, tapi siapa yang paling bisa dipercaya dan diajak bekerja sama.

Jangan tunggu undangan resmi atau proyek besar. Mulailah dari diskusi kecil, dari seminar daring, dari pertukaran ide di grup riset. Dari situ, kolaborasi sejati akan tumbuh, dan riset-riset luar biasa akan lahir.

Seperti kata pepatah akademik (kalau ada): “Penelitian itu bisa dilakukan sendiri, tapi hasilnya lebih luar biasa kalau dilakukan bersama.”

 

Referensi

Bozeman, B., & Boardman, C. (2014). Research collaboration and team science: A state-of-the-art review and agenda. Springer.

Hara, N., Solomon, P., Kim, S. L., & Sonnenwald, D. H. (2003). An emerging view of scientific collaboration: Scientists' perspectives on collaboration and factors that impact collaboration. Journal of the American Society for Information Science and Technology, 54(10), 952–965.

Katz, J. S., & Martin, B. R. (1997). What is research collaboration? Research Policy, 26(1), 1–18.

Wenger, E. (1998). Communities of practice: Learning, meaning, and identity. Cambridge University Press.

Komentar