Spirit Mengajar: Antara
Panggilan Jiwa dan Tuntutan Profesi
Menjadi dosen bukan sekadar profesi. Ia adalah
panggilan, pengabdian, dan kadang juga pertarungan batin. Ada idealisme yang
dibawa sejak awal, ada harapan untuk menyebarkan ilmu, menginspirasi generasi
muda, dan menciptakan perubahan. Tapi di sisi lain, ada juga tekanan sistem,
target angka kredit, beban administrasi, dan tuntutan profesional yang terus
menghantui.
Di tengah tarik-menarik ini, banyak dosen
bertanya dalam hati: apakah saya masih
mengajar karena panggilan jiwa, atau sekadar memenuhi kewajiban profesi?
Pertanyaan itu tidak mudah dijawab. Tapi dalam
artikel ini, kita akan mencoba merefleksikan ulang apa makna sebenarnya dari
"spirit mengajar", dan bagaimana kita bisa menjaganya tetap hidup—di
tengah kesibukan, kelelahan, dan kompleksitas dunia akademik yang semakin
rumit.
1. Mengajar: Profesi yang Lahir dari Jiwa Mengabdi
Banyak dari kita menjadi dosen bukan karena
motif ekonomi. Bahkan, tidak sedikit yang justru merelakan pekerjaan bergaji
lebih tinggi di sektor industri demi bisa mengajar di kampus. Ada sesuatu yang
tak tergantikan saat berdiri di depan kelas, saat melihat mata mahasiswa yang
berbinar karena baru memahami satu konsep, atau saat mereka berkata, “Terima
kasih, saya jadi paham sekarang.”
Spirit
mengajar lahir dari keinginan untuk berbagi ilmu, bukan sekadar
menyampaikan materi. Ia lahir dari keyakinan bahwa pengetahuan adalah kekuatan
yang harus ditularkan, bukan disimpan sendiri.
Seorang dosen sejati tidak hanya ingin
mahasiswa lulus, tetapi tumbuh. Ia tidak hanya menginginkan ruang kelas yang
tenang, tetapi ruang berpikir yang kritis. Ia tidak hanya mencetak lulusan,
tetapi membentuk manusia pembelajar.
2. Panggilan Jiwa yang Kadang Memudar
Namun dalam perjalanannya, idealisme itu bisa
memudar. Bukan karena kehilangan komitmen, tetapi karena realitas yang begitu
menekan. Beban kerja administrasi yang semakin berat, tekanan publikasi yang
tidak sebanding dengan fasilitas, insentif yang minim, dan birokrasi akademik
yang rumit—semua itu bisa membuat dosen kelelahan fisik dan mental.
Kadang kita merasa seperti mesin: mengajar karena
harus, bukan karena ingin. Menyusun RPS karena wajib, bukan karena ingin
merancang pengalaman belajar yang bermakna. Menerima bimbingan skripsi seperti
rutinitas, bukan sebagai ruang pembelajaran dua arah.
Jika
kita tidak sadar dan tidak menjaga spirit itu, perlahan semangat mengajar bisa
berubah menjadi beban. Dan saat itu terjadi, yang dirugikan bukan
hanya dosen, tapi juga mahasiswa—yang tidak lagi mendapatkan kehadiran penuh
dari gurunya.
3. Antara Dedikasi dan Profesionalisme
Ada anggapan bahwa mengajar dengan “jiwa”
berarti mengajar dengan hati, tanpa hitung-hitungan, bahkan tanpa perlu
dibayar. Namun dalam dunia profesional, kita juga perlu memahami bahwa panggilan jiwa dan profesionalisme bukan hal yang
bertentangan. Justru keduanya harus saling menopang.
Mengajar karena panggilan jiwa membuat kita
bertahan, tapi profesionalisme memastikan
kita berkembang. Seorang dosen bisa mencintai dunia pendidikan, tapi
tetap berhak menuntut hak-haknya: gaji layak, sistem kerja yang manusiawi,
penghargaan atas karya ilmiah, dan perlindungan dari pelecehan akademik atau
tekanan struktural.
Mengajar dengan spirit tidak berarti
mengorbankan diri habis-habisan. Mengajar dengan spirit justru menuntut kita
menjaga keseimbangan antara dedikasi dan
kelayakan profesional. Karena bagaimana kita bisa memberi inspirasi,
jika kita sendiri merasa tercekik?
4. Menyalakan Kembali Api
Semangat
Bagaimana jika spirit mengajar mulai padam?
Bagaimana jika rutinitas dan tekanan membuat kita kehilangan makna dari
mengajar itu sendiri?
Berikut beberapa cara yang bisa kita lakukan
untuk menyalakan kembali semangat itu:
a. Ingat Kembali Alasan Awal
Coba tanyakan kembali: mengapa saya ingin menjadi dosen dulu?
Buka kembali catatan atau karya lama yang kita buat dengan semangat. Ingat
kembali perasaan saat pertama kali mengajar, saat pertama kali mahasiswa
berterima kasih, atau saat kita berhasil membantu seseorang yang hampir
menyerah.
b. Terhubung dengan Mahasiswa secara
Manusiawi
Kadang kita terlalu terjebak dalam struktur
formal akademik. Padahal, percakapan
ringan, diskusi terbuka, atau sekadar mendengar cerita mahasiswa bisa
membuat kita ingat bahwa mereka adalah manusia yang sedang tumbuh—dan kita
punya peran dalam pertumbuhan itu.
c. Bangun Komunitas Sesama Dosen
Jangan hadapi semua sendirian. Berbagi
keresahan, inspirasi, dan strategi dengan sesama dosen bisa menjadi sumber
energi baru. Rasa kebersamaan memperkuat
semangat.
d. Variasi dalam Mengajar
Cobalah pendekatan atau metode baru. Gunakan
media berbeda. Ajak mahasiswa berdiskusi terbuka, studi kasus, atau proyek
sosial. Kadang yang kita butuhkan hanya
sedikit penyegaran.
e. Ambil Waktu Istirahat
Tidak apa-apa untuk rehat. Ambil cuti, kurangi
beban jika perlu. Karena spirit hanya bisa menyala dalam tubuh dan pikiran yang
sehat.
5. Spirit Mengajar yang
Menular
Satu hal yang sering saya alami sebagai dosen:
semangat itu menular. Saat kita
mengajar dengan penuh energi dan cinta, mahasiswa bisa merasakannya. Mereka
lebih terbuka, lebih antusias, bahkan lebih berani bertanya. Dan dari mereka,
semangat itu kembali ke kita.
Saya pernah mengajar dalam keadaan lelah, dan
kelas terasa “dingin”. Tapi di sesi lain, saat saya datang dengan antusias dan
cerita pribadi, tiba-tiba kelas berubah hidup. Saya belajar bahwa kehadiran kita, bukan hanya materi kita, yang
membentuk suasana belajar.
Spirit mengajar bukan soal teori rumit, tapi
soal “bagaimana kita hadir”—dengan
tulus, penuh perhatian, dan niat memberi makna.
6. Spirit yang Tercermin
dalam Warisan
Di akhir masa karier, tidak semua dosen
dikenang karena jumlah publikasi atau jabatan struktural. Banyak yang dikenang
karena “cara mereka mengajar dan
memperlakukan mahasiswa.” Karena kalimat sederhana yang mereka ucapkan
saat mahasiswa putus asa. Karena mereka membuka pintu konsultasi di luar jam
kerja. Karena mereka mengingat nama mahasiswa satu per satu. Karena mereka
melihat manusia di balik angka IPK.
Itulah warisan
seorang dosen yang mengajar dengan spirit. Warisan yang tidak bisa
diukur dengan angka kredit, tapi tertanam dalam ingatan dan hidup para
mahasiswa, bahkan puluhan tahun kemudian.
Penutup: Spirit Itu Perlu Dijaga, Bukan Diasumsikan
Spirit mengajar tidak muncul terus-menerus
secara otomatis. Ia perlu dipelihara, dijaga, dan disegarkan. Ia bisa luntur,
dan itu wajar. Tapi yang penting adalah kesediaan kita untuk terus
merawatnya—karena tanpanya, profesi ini kehilangan ruhnya.
Mengajar bukan hanya soal mentransfer ilmu. Ia adalah seni memberi kehidupan pada
pengetahuan, dan memberi harapan pada generasi masa depan.
Mari kita tetap menjaga spirit itu—bukan
sebagai beban, tapi sebagai nyala kecil
yang memberi terang. Bukan hanya untuk mahasiswa, tapi juga untuk diri kita
sendiri.
Ruang
Dosen mengundang Anda untuk berbagi: bagaimana Anda menjaga semangat
mengajar tetap hidup di tengah tuntutan profesi? Cerita Anda bisa menjadi
inspirasi bagi rekan-rekan pendidik di seluruh penjuru negeri.
Komentar
Posting Komentar