Menjaga Keseimbangan
Hidup dan Karier Akademik
Refleksi
Seorang Dosen di Tengah Dinamika Tugas dan Kehidupan Pribadi
Di balik gelar akademik, daftar publikasi, ruang
kelas, dan presentasi konferensi, seorang dosen tetaplah manusia biasa. Ia
memiliki keluarga yang menunggu di rumah, hobi yang mulai terlupakan, kesehatan
yang kadang terabaikan, dan mimpi-mimpi pribadi yang belum tercapai. Namun,
realitas kehidupan akademik kadang membuat sisi-sisi kemanusiaan ini tergerus.
Sebagai dosen, kita dihadapkan pada peran
ganda—bahkan berlapis-lapis: mengajar, meneliti, membimbing mahasiswa, menulis
jurnal, melakukan pengabdian masyarakat, menyusun laporan, mengikuti pelatihan,
serta aktif di berbagai kegiatan institusional. Tidak jarang, hari-hari kita
penuh dari pagi hingga malam. Di sisi lain, kita juga memiliki tanggung jawab
sebagai anak, orang tua, pasangan, teman, bahkan sebagai pribadi yang butuh
waktu untuk diri sendiri.
Lalu, pertanyaannya: mungkinkah menjaga keseimbangan antara
hidup pribadi dan karier akademik? Artikel ini adalah refleksi
dari pengalaman dan percakapan dengan sesama dosen tentang bagaimana kita bisa
menciptakan ruang bernapas di tengah laju pekerjaan yang terus berjalan.
1. Keseimbangan Itu Bukan
Kemewahan, Tapi Kebutuhan
Ada masa ketika saya berpikir bahwa
“mengorbankan waktu pribadi” adalah harga dari dedikasi akademik. Bahwa
begadang demi revisi jurnal atau rapat sampai malam adalah bentuk totalitas
kerja. Namun, saya mulai menyadari bahwa bekerja
terus-menerus tanpa jeda justru membuat saya kehilangan energi, kepekaan,
bahkan semangat mengajar.
Tubuh dan pikiran kita memiliki batas. Bila
kita abaikan, produktivitas justru menurun, relasi sosial merenggang, dan
kelelahan emosional pun menyerang. Keseimbangan hidup bukan kemewahan yang
hanya bisa dimiliki mereka yang punya waktu luang—ia adalah kebutuhan semua orang agar tetap waras dan berkarya.
2. Mengenali Batas dan Belajar Berkata Tidak
Salah satu tantangan terbesar bagi dosen
adalah banyaknya permintaan—menjadi pembicara, menguji sidang, menilai PAK,
menjadi editor jurnal, mengikuti pelatihan ini-itu, hingga mengurus administrasi
prodi. Semua terlihat penting. Semua terdengar mendesak.
Namun, tidak semua harus kita terima.
Belajar mengenali
kapasitas diri dan mengatakan “tidak” dengan bijak adalah kunci
menjaga keseimbangan. Kita tidak harus selalu tampil dalam setiap forum. Tidak
harus menyanggupi semua permintaan. Menolak bukan berarti tidak loyal; kadang
itu bentuk tanggung jawab terhadap diri sendiri agar tetap sehat dan hadir
secara utuh saat benar-benar dibutuhkan.
3. Membuat Jadwal yang
Manusiawi
Sering kali, kita membuat jadwal kerja
berdasarkan tuntutan eksternal: deadline laporan, tenggat publikasi, jadwal
sidang, dan rapat. Tapi jarang kita bertanya: kapan saya istirahat? Kapan saya
berkumpul dengan keluarga? Kapan saya menikmati waktu sendiri?
Saya mulai membiasakan diri menyusun jadwal
mingguan dengan menyisipkan blok waktu
untuk aktivitas non-akademik: membaca buku fiksi, berolahraga ringan,
memasak bersama anak, atau sekadar jalan santai sore hari. Menjadwalkan waktu
pribadi dengan serius memberi pesan kepada diri sendiri bahwa hidup saya bukan
hanya soal kerja, tapi juga tentang menjadi manusia seutuhnya.
4. Mengelola Ekspektasi Diri
dan Lingkungan
Salah satu sumber stres dosen adalah tekanan dari ekspektasi—baik dari
kampus, kolega, mahasiswa, maupun dari dalam diri sendiri. Kita merasa harus
terus menulis, harus terus aktif, harus punya reputasi, harus naik jabatan
secepatnya.
Padahal, setiap orang punya ritme dan
perjalanan karier masing-masing. Tidak semua orang harus menjadi guru besar
sebelum usia 40. Tidak semua orang harus menulis di jurnal Q1 setiap semester.
Kita boleh ambisius, tapi juga harus realistis. Karier akademik adalah maraton panjang, bukan lari cepat
sesaat.
Mengelola ekspektasi juga berarti memberi
ruang pada ketidaksempurnaan. Tidak semua hal bisa berjalan ideal. Kadang kelas
berjalan biasa saja. Kadang jurnal ditolak. Kadang seminar gagal. Dan itu tidak
apa-apa. Kita belajar, kita tumbuh.
5. Menjalin Hubungan yang Menyehatkan
Dunia akademik bisa terasa sunyi jika dijalani
sendiri. Maka penting bagi dosen untuk memiliki komunitas dan relasi yang menyehatkan—baik di lingkungan
kampus maupun di luar kampus.
Berbincang dengan sesama dosen tentang
tantangan mengajar, berbagi cerita tentang kegagalan penelitian, atau sekadar
tertawa bersama bisa menjadi pelepas tekanan yang efektif. Kita tidak perlu
menjadi superman atau superwoman. Kita hanya perlu menjadi manusia yang
didukung manusia lain.
Hubungan sosial yang hangat juga bisa menjadi
pengingat bahwa hidup bukan hanya soal produktivitas, tapi juga soal
kebermaknaan dan kebersamaan.
6. Kesehatan Fisik dan Mental: Prioritas, Bukan Tambahan
Sering kali, kita menunda olahraga, makan
sembarangan, dan tidur larut demi menyelesaikan pekerjaan akademik. Namun pada
akhirnya, tubuh dan pikiran akan “menagih utang” itu. Kelelahan fisik bisa
menjelma menjadi kelelahan emosional, dan akhirnya mengganggu produktivitas
jangka panjang.
Saya mulai belajar untuk tidak merasa bersalah saat mengambil waktu
istirahat. Bahkan, saya menjadwalkan waktu libur akademik bukan
sebagai waktu untuk mengejar pekerjaan lain, tapi sebagai waktu pemulihan diri.
Jika perlu, konsultasi psikologis atau terapi profesional bukanlah tanda
kelemahan, melainkan bentuk kesadaran dan keberanian menjaga kesehatan
mental.
7. Menemukan Makna di Tengah
Rutinitas
Salah satu penyebab kelelahan emosional dalam
dunia akademik adalah hilangnya makna. Saat pekerjaan terasa hanya sebagai
daftar tugas, kita kehilangan semangat.
Maka penting untuk sesekali merefleksikan kembali: mengapa saya menjadi
dosen?
Saat saya merasa lelah mengajar, saya mencoba
mengingat satu dua mahasiswa yang hidupnya berubah karena kelas saya. Saat
jurnal saya ditolak, saya ingat bahwa proses menulisnya telah memperkaya cara
saya berpikir. Saat merasa tak dihargai institusi, saya ingat bahwa kerja saya
tetap punya makna bagi masyarakat.
Makna tidak selalu datang dari pujian atau
penghargaan. Kadang ia datang dalam bentuk email sederhana dari mahasiswa:
“Terima kasih, Pak/Bu, karena sudah membuat saya percaya diri.”
8. Membuat Ruang untuk Diri
Sendiri
Di antara jadwal padat, kita perlu membuat ruang untuk diri sendiri—ruang untuk
merenung, berkarya, dan melakukan hal yang kita sukai. Hobi yang selama ini
tertunda, aktivitas kreatif, atau sekadar menikmati kopi sambil mendengarkan
musik—semua itu bisa menjadi bentuk pemulihan jiwa.
Jangan tunggu waktu luang. Ciptakan waktu. Karena jika kita tidak
memberi ruang untuk diri sendiri, tidak ada orang lain yang akan melakukannya.
Penutup: Menyeimbangkan,
Bukan Menyamakan
Menjaga keseimbangan hidup dan karier akademik
bukan tentang membagi waktu secara sama rata. Kadang ada minggu-minggu yang
sibuk dan penuh tuntutan, dan itu wajar. Tapi keseimbangan berarti mampu mengenali kapan harus fokus, kapan harus
rehat, dan kapan harus mengatakan cukup.
Menjadi dosen adalah profesi mulia. Tapi
jangan biarkan kemuliaan itu mengorbankan kemanusiaan kita. Kita bukan hanya
mesin pencetak nilai dan jurnal, tapi juga manusia yang layak menikmati hidup,
mencintai, tertawa, dan tumbuh.
Mari terus belajar, terus mengajar, dan tetap
menjaga diri kita sendiri. Karena dosen
yang sehat secara fisik dan mental akan lebih mampu menginspirasi dan memberi
makna bagi mahasiswanya.
Ruang
Dosen mengundang Anda untuk berbagi: bagaimana Anda menjaga
keseimbangan hidup di tengah tuntutan akademik? Tips dan refleksi Anda bisa
menjadi inspirasi bagi rekan-rekan dosen lainnya. Kirimkan cerita Anda kepada
kami.
Komentar
Posting Komentar