Entri yang Diunggulkan

Refleksi 10 Tahun Menjadi Dosen: Apa yang Berubah?

 

Refleksi 10 Tahun Menjadi Dosen: Apa yang Berubah?

Menjadi dosen selama satu dekade adalah perjalanan yang penuh warna—kadang manis, kadang pahit, tapi selalu kaya makna. Saat saya menoleh ke belakang, banyak hal telah berubah, baik dalam diri saya sebagai pribadi maupun dalam konteks yang lebih luas: mahasiswa, kampus, sistem pendidikan, bahkan peran dosen itu sendiri.

Tulisan ini adalah upaya merekam dan merenungi perjalanan 10 tahun saya di dunia akademik. Refleksi ini bukan semata-mata nostalgia, tapi juga bentuk kesadaran bahwa profesi dosen bukanlah pekerjaan yang stagnan, melainkan sebuah proses transformasi yang terus berlangsung.

 

1. Dari Dosen Pemula ke Dosen Pembelajar

Sepuluh tahun lalu, saya memulai karier dosen dengan modal semangat dan idealisme tinggi. Kala itu saya berpikir, tugas utama dosen adalah mengajar. Saya menyusun materi sedetail mungkin, membuat presentasi yang “wah”, dan berharap mahasiswa terkesan dengan isi perkuliahan saya.

Namun, seiring waktu, saya menyadari bahwa menjadi dosen bukan hanya tentang berbagi pengetahuan. Lebih dari itu, saya adalah fasilitator pembelajaran, motivator, dan dalam banyak kasus, juga pembimbing kehidupan. Ilmu yang saya berikan bisa saja usang dalam lima tahun, tetapi cara saya memperlakukan mahasiswa akan mereka ingat selamanya.

Saya pun belajar untuk lebih banyak mendengarkan. Jika dulu saya cenderung ingin “mengatur kelas”, kini saya berusaha menciptakan ruang belajar yang inklusif dan dialogis. Perubahan ini tidak instan, tapi perlahan terbentuk melalui pengalaman, evaluasi, dan pembelajaran yang terus-menerus.

 

2. Mahasiswa pun Berubah: Dari Pendengar ke Penantang

Mahasiswa generasi sekarang sangat berbeda dari generasi 10 tahun lalu. Jika dulu sebagian besar mahasiswa menerima begitu saja apa yang dikatakan dosen, kini mereka lebih kritis dan aktif mempertanyakan. Mereka juga terbiasa multitasking, cepat bosan, dan sangat dekat dengan teknologi. Ini bukan keluhan, tapi realitas yang perlu dipahami.

Saya tidak bisa lagi mengandalkan metode ceramah konvensional. Saya harus mengemas materi dalam format yang lebih menarik, mengaitkannya dengan isu aktual, atau bahkan melibatkan mereka dalam diskusi-diskusi yang mengusik cara berpikir lama. Tantangannya adalah menjaga keseimbangan antara kedalaman materi dan cara penyampaian yang tidak membosankan.

Ada saatnya saya merasa tertantang ketika mahasiswa mengajukan pertanyaan tajam atau menunjukkan sudut pandang yang berbeda. Tapi justru di situlah letak pertumbuhan. Saya belajar bahwa menjadi dosen bukan berarti selalu benar, melainkan harus selalu siap dikritik dan terus belajar.

 

3. Perubahan Teknologi: Dari Papan Tulis ke LMS

Dalam 10 tahun terakhir, salah satu perubahan paling drastis adalah masuknya teknologi secara masif ke dalam dunia pendidikan. Saya masih ingat masa-masa ketika mengajar menggunakan OHP dan papan tulis. Kini, kita sudah akrab dengan Learning Management System (LMS), Zoom, Google Classroom, dan berbagai aplikasi penunjang lainnya.

Pandemi COVID-19 menjadi akselerator perubahan ini. Dalam waktu singkat, saya (dan banyak dosen lain) dipaksa beradaptasi dengan pembelajaran daring. Ternyata, tidak mudah. Mengubah pendekatan pengajaran dari luring ke daring menuntut keterampilan baru, mulai dari membuat video pembelajaran, mengelola forum diskusi online, hingga menilai tugas secara digital.

Awalnya saya frustrasi. Namun, perlahan saya belajar bahwa teknologi bukan musuh, melainkan alat bantu. Kini saya terbiasa memanfaatkan platform digital untuk memudahkan komunikasi dengan mahasiswa, menyimpan materi, atau bahkan memberikan umpan balik yang lebih personal.

 

4. Peran Ganda: Mengajar, Meneliti, dan Mengabdi

Salah satu hal yang semakin terasa dalam 10 tahun terakhir adalah tuntutan terhadap dosen yang semakin kompleks. Jika dulu saya bisa fokus pada mengajar, kini saya dituntut aktif meneliti, mempublikasikan artikel ilmiah, memperoleh hibah, hingga terlibat dalam pengabdian kepada masyarakat.

Ada kalanya saya merasa peran ini begitu berat, terutama ketika harus membagi waktu antara menyiapkan perkuliahan, menulis jurnal, membimbing mahasiswa, menghadiri rapat, dan menyusun laporan kinerja. Namun, saya juga belajar bahwa setiap aspek ini memiliki nilai tersendiri dalam pengembangan diri dan institusi.

Saya mulai belajar bagaimana menyinergikan kegiatan: menjadikan topik pengabdian sebagai bahan penelitian, melibatkan mahasiswa dalam proyek ilmiah, atau menulis berdasarkan pengalaman lapangan. Kunci utamanya adalah manajemen waktu dan kemampuan berkolaborasi.

 

5. Relasi Sesama Dosen: Dari Kompetisi ke Kolaborasi

Di awal karier, saya sempat merasakan adanya “kompetisi halus” antar dosen—terutama dalam hal publikasi, promosi jabatan, atau prestasi tertentu. Tapi seiring waktu, saya menyadari bahwa kolaborasi jauh lebih membangun daripada kompetisi.

Dalam 10 tahun ini, saya bersyukur bisa bekerja sama dengan banyak kolega dari lintas jurusan, bahkan lintas universitas. Kolaborasi ini memperluas perspektif saya, memperkaya riset, dan mempererat jejaring profesional. Saya belajar bahwa keberhasilan dosen bukan hanya ditentukan oleh pencapaian individu, tapi juga oleh seberapa besar kontribusinya terhadap komunitas akademik.

Saya juga belajar untuk lebih rendah hati. Ketika kita bertukar pikiran, membuka ruang diskusi, atau memberi masukan, kita semua sedang belajar—baik yang senior maupun yang junior.

 

6. Keseimbangan Hidup: Menjaga Diri agar Tidak Habis

Salah satu refleksi penting setelah 10 tahun mengajar adalah pentingnya menjaga keseimbangan antara karier dan kehidupan pribadi. Profesi dosen sering kali menyita waktu dan energi. Deadline publikasi, tumpukan tugas mahasiswa, atau tuntutan administrasi bisa membuat kita lupa bahwa kita juga manusia yang butuh istirahat, keluarga, dan kebahagiaan di luar pekerjaan.

Saya pernah mengalami kelelahan mental, merasa “kosong” di tengah rutinitas akademik. Dari situ saya belajar bahwa produktivitas bukan segalanya. Saya mulai menetapkan batas kerja, mengambil jeda saat dibutuhkan, dan menjaga kesehatan fisik serta mental. Saya juga menemukan bahwa memiliki hobi di luar dunia kampus sangat membantu menjaga semangat.

 

7. Dosen Bukan Segalanya, Tapi Sangat Bermakna

Setelah satu dekade, saya menyadari bahwa menjadi dosen adalah pekerjaan yang senyap, namun berdampak panjang. Mungkin tidak langsung terlihat, tetapi kata-kata kita bisa tertanam dalam benak mahasiswa selama bertahun-tahun. Cara kita memperlakukan mereka, memberi semangat, atau menegur dengan bijak bisa membentuk karakter mereka di masa depan.

Saya tidak lagi mencari pengakuan, melainkan makna. Saya tidak lagi mengajar untuk dinilai hebat, tapi untuk menjadi bagian dari proses tumbuh seseorang. Dan bagi saya, itu cukup.

 

Penutup: Terus Bertumbuh, Terus Belajar

Refleksi 10 tahun ini membawa saya pada satu kesimpulan: menjadi dosen bukan hanya tentang mengajar, meneliti, atau mengabdi. Ini adalah perjalanan menjadi manusia seutuhnya—yang terus belajar, tumbuh, dan berbagi.

Apa yang berubah? Banyak. Tapi yang paling penting adalah saya sendiri—cara saya melihat peran saya, cara saya memperlakukan mahasiswa, cara saya menyikapi tantangan, dan cara saya memahami bahwa dunia akademik adalah ruang pembelajaran yang tak pernah berakhir.

Untuk rekan-rekan dosen di mana pun berada, baik yang baru mulai maupun yang sudah berpuluh tahun mengabdi, mari terus bertumbuh bersama. Karena dunia pendidikan berubah, dan kita pun harus berubah—bukan karena tuntutan semata, tapi karena kita peduli.

 

Ruang Dosen mengundang Anda untuk turut berbagi: Bagaimana pengalaman Anda setelah 5, 10, atau 20 tahun menjadi dosen? Apa yang berubah dalam diri Anda? Cerita Anda bisa menjadi pelita bagi rekan sejawat lainnya.

 

Komentar