Entri yang Diunggulkan

Sertifikasi Dosen: Jalur Resmi Menjadi Pendidik Profesional Menurut Permendikbudristek 44/2024

Serdos

Halo, para pejuang pendidikan tinggi!

Kali ini kita bahas sesuatu yang mungkin sudah sering nyangkut di kuping, tapi tetap jadi “batu loncatan” penting dalam karier dosen di Indonesia: Sertifikasi Dosen. Iya, betul. Sertifikasi yang bukan cuma soal gelar dan formalitas, tapi berkaitan langsung dengan pengakuan profesi, karier, dan bahkan penghasilan.

Nah, sejak terbitnya Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024 tentang Profesi, Karier, dan Penghasilan Dosen, bagian keempat dari regulasi ini khusus membahas soal sertifikasi dosen. Dan ternyata, ada beberapa hal penting dan agak berbeda dari aturan sebelumnya. Mari kita kupas pelan-pelan, santai aja, tapi serius ya 😄

Sertifikasi Dosen Itu Apa, Sih?

Secara simpel, sertifikasi dosen adalah proses penilaian yang dilakukan untuk memastikan bahwa seorang dosen memang punya kompetensi profesional, baik dari sisi akademik maupun kinerja. Hasil akhirnya? Ya itu tadi — sertifikat pendidik untuk dosen. Sertifikat inilah yang kemudian jadi bukti bahwa si dosen memang memenuhi syarat sebagai tenaga pendidik profesional.

Kalau udah pegang ini, banyak pintu karier bisa terbuka. Termasuk peluang dapat tunjangan profesi. Tapi tunggu dulu, prosesnya nggak semudah upload dokumen trus langsung dapet email balasan. Yuk kita bedah syarat dan alurnya!

Syarat Awal: Nggak Semua Dosen Bisa Langsung Daftar

Menurut Pasal 14, dosen yang ingin ikut sertifikasi minimal harus:

  1. Punya pengalaman kerja sebagai dosen minimal 2 tahun, dan

  2. Memegang jabatan akademik paling rendah Asisten Ahli.

Oh ya, syarat 2 tahun itu bukan sekadar absen ngajar ya. Tapi harus sudah memenuhi beban kerja minimal 12 SKS per tahun. Jadi, nggak bisa asal nulis nama di kontrak dosen trus nggak pernah ngajar 😅

Diselenggarakan oleh Kampus yang Sudah Terakreditasi

Di Pasal 15, aturan memperjelas siapa yang berhak menyelenggarakan sertifikasi dosen:

  • Harus dari perguruan tinggi terakreditasi, dan

  • Punya prodi yang relevan dengan bidang studi dosen yang akan disertifikasi.

Kalau kampus tempat dosen bekerja belum memenuhi kriteria ini, maka proses sertifikasinya bisa “nitip” ke kampus lain yang sudah qualified.

Setiap tahun, jumlah peserta yang bisa ikut sertifikasi juga akan ditentukan langsung oleh Menteri. Jadi kemungkinan besar, proses ini tidak bisa diikuti sembarangan waktu. Ada sistem kuotanya.

Penilaian Utamanya: Portofolio Dosen

Nah, ini bagian yang paling banyak bikin deg-degan. Di Pasal 16, dijelaskan kalau proses sertifikasi dilakukan melalui uji kompetensi dengan cara penilaian portofolio. Bukan ujian tulis, ya, tapi evaluasi terhadap dokumen-dokumen yang menggambarkan:

  1. Kualifikasi akademik dan kinerja Tridharma.

  2. Persepsi dari atasan, sejawat, mahasiswa, dan diri sendiri — ini terkait kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian.

  3. Pernyataan kontribusi dosen dalam pelaksanaan dan pengembangan Tridharma.

Intinya, dosen harus bisa membuktikan bahwa dia bukan hanya punya gelar, tapi juga aktif dan kompeten menjalankan tugasnya sebagai pendidik, peneliti, dan pengabdi masyarakat.

Kalau portofolionya dinyatakan lulus, maka:

✅ Sertifikat pendidik resmi diberikan
✅ Sertifikat itu akan punya nomor unik dari Kementerian
✅ Semuanya dilakukan lewat sistem online yang dikelola Kemdikbudristek

Tapi kalau belum lulus?

Tenang. Dosen bisa ikut program pengembangan profesionalisme dan melengkapi dokumen untuk ikut lagi di periode berikutnya.

Biayanya Ditanggung Siapa?

Pertanyaan sensitif, tapi penting. Di Pasal 17, dijelaskan bahwa biaya sertifikasi dibebankan kepada Perguruan Tinggi tempat dosen bekerja.

Kalau kampus tempat kerja beda dengan kampus penyelenggara sertifikasi, maka biaya bisa ditarik oleh penyelenggara dari kampus asal dosen — tentu sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku.

Dosen nggak perlu rogoh kocek pribadi ya. Tapi… pastikan kampus tempat kerja memang support penuh proses ini.

Jangan Coba-Coba Main Curang!

Nah, bagian ini penting banget buat dicatat. Di Pasal 18 dan 19, dijelaskan berbagai larangan keras baik bagi perguruan tinggi maupun dosen yang terlibat dalam proses sertifikasi.

Buat kampus, dilarang:

  • Mensertifikasi dosen yang belum memenuhi syarat

  • Menyelenggarakan sertifikasi tanpa akreditasi/prodi relevan

  • Memalsukan proses (misalnya, tidak sesuai aturan penilaian portofolio)

  • Melibatkan pihak-pihak yang pernah melanggar aturan

Sanksinya?

Mulai dari peringatan tertulis sampai pencabutan kewenangan menyelenggarakan sertifikasi, bahkan bisa secara permanen kalau tiga kali melanggar. Ngeri juga, kan?

Sementara untuk dosen, larangan mencakup:

  • Menyampaikan informasi yang tidak benar

  • Melakukan plagiarisme atau pelanggaran akademik

  • Terlibat suap, kolusi, nepotisme (KKN)

Kalau terbukti, sanksinya akan mengacu pada aturan hukum yang berlaku. Bahkan bisa termasuk pembatalan sertifikat, lho.

Sertifikat Bisa Dicabut!

Iya, kamu nggak salah baca. Di Pasal 20, Kementerian bisa membatalkan sertifikat pendidik jika terbukti ada pelanggaran, baik oleh perguruan tinggi maupun oleh dosen.

Prosesnya cukup jelas:

  1. Kementerian kasih perintah tertulis ke pimpinan kampus untuk membatalkan sertifikat.

  2. Kalau dalam 3 bulan tidak dilaksanakan, pembatalannya akan langsung dilakukan oleh Kementerian.

Jadi, sertifikat pendidik itu bukan jaminan seumur hidup. Harus dijaga dengan integritas dan profesionalisme.


Penutup: Sertifikasi Dosen Bukan Cuma Soal Tunjangan

Meski banyak orang mengaitkan sertifikasi dosen dengan tunjangan profesi (yang jumlahnya lumayan, hehe), sejatinya proses ini adalah pengakuan terhadap kualitas dan kontribusi dosen sebagai insan akademik.

Permendikbudristek Nomor 44 Tahun 2024 mencoba menguatkan posisi dosen sebagai profesi yang punya standar dan etika tinggi. Gaya penilaiannya memang lebih berbasis portofolio dan pengalaman kerja, bukan semata nilai ujian.

Tapi satu hal yang perlu digarisbawahi: dosen itu bukan cuma guru di kelas. Dosen adalah agen perubahan, peneliti, penggerak masyarakat, dan panutan moral. Maka proses sertifikasinya pun nggak bisa sembarangan.

Buat kamu yang sedang bersiap ikut sertifikasi, semangat ya! Siapkan portofolio sebaik mungkin, jaga integritas, dan terus belajar. Sertifikat bukan akhir dari perjalanan, tapi justru awal pengakuan sebagai pendidik profesional.

Referensi:

  • Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2024 tentang Profesi, Karier, dan Penghasilan Dosen, Bagian Keempat: Sertifikasi Dosen.

Kalau kamu merasa artikel ini bermanfaat, boleh banget dibagikan ke rekan-rekan dosen lain. Atau kamu bisa tinggalkan komentar di bawah kalau punya pengalaman menarik seputar sertifikasi dosen.

Sampai jumpa di artikel berikutnya di www.ruangdosen.site, tempatnya ngobrol santai tapi berbobot


 seputar dunia dosen!


Komentar