Ketika Mahasiswa Menginspirasi: Kisah
Nyata dari Ruang Kelas
Dalam perjalanan menjadi dosen, sering kali kita
berpikir bahwa kita adalah pihak yang mentransfer ilmu, memberi motivasi, dan
membentuk masa depan mahasiswa. Namun, seiring waktu, saya justru menyadari
bahwa relasi dosen dan mahasiswa tidak pernah satu arah. Banyak momen ketika
saya merasa justru mahasiswalah yang
menginspirasi saya. Mereka hadir tidak hanya sebagai peserta didik,
tetapi juga sebagai pengingat bahwa idealisme, semangat belajar, dan kekuatan
bertahan hidup tidak hanya milik orang-orang yang dianggap “berhasil.”
Tulisan ini saya buat sebagai bentuk refleksi
dan penghormatan kepada mereka—mahasiswa-mahasiswa yang kisah hidupnya tidak
hanya menyentuh hati, tapi juga menjadi pengingat bahwa dunia akademik bukan
hanya tentang nilai, gelar, atau indeks prestasi. Ini tentang manusia, perjuangan, dan keberanian untuk terus
maju meski hidup tidak selalu berpihak.
1. Dina: Belajar di Bawah Lampu Jalan
Saya pertama kali mengenal Dina (nama samaran)
di semester awal perkuliahan. Ia duduk di barisan paling depan, selalu datang
lebih awal, mencatat dengan rapi, dan aktif bertanya. Sekilas, ia terlihat
seperti mahasiswa ideal—cerdas, disiplin, dan antusias. Tapi siapa sangka, di
balik sosoknya yang tenang, tersimpan perjuangan luar biasa.
Suatu hari saya menemukannya duduk sendirian
di pojok kampus sore hari, membuka laptop sambil mencolok charger ke colokan
luar gedung. Saat saya dekati dan ajak bicara, barulah saya tahu bahwa ia tidak
punya akses listrik di rumah. Ia tinggal di rumah kontrakan sederhana bersama
ibunya yang bekerja sebagai buruh cuci. Untuk menghemat biaya listrik, ia
belajar malam hari di bawah lampu jalan atau di kampus sampai malam.
Yang lebih menggetarkan, Dina tidak pernah
meminta keringanan tugas. Ia menyelesaikan semuanya tepat waktu, bahkan sering
lebih cepat. Ketika saya bertanya apa yang membuatnya terus semangat, ia
menjawab, “Saya tidak ingin hidup saya berhenti di kesulitan ini. Kuliah adalah
satu-satunya jalan keluar.”
Sejak saat itu, saya berhenti mengeluh soal
hal-hal kecil. Jika Dina bisa bertahan dan terus berprestasi di tengah
keterbatasan, saya sebagai dosen pun tidak punya alasan untuk setengah-setengah
menjalankan peran saya. Ia mengajarkan saya tentang arti ketekunan yang
sesungguhnya.
2. Farhan: Membangun Harapan
dari Keterbatasan
Farhan adalah mahasiswa difabel netra yang
mengambil program studi ilmu komunikasi. Banyak yang meragukan keputusannya,
termasuk sebagian besar masyarakat di sekitarnya. Tapi Farhan bersikukuh bahwa
keterbatasan fisik bukan penghalang untuk berkomunikasi secara efektif. Ia
percaya bahwa suara dan gagasan tidak membutuhkan penglihatan.
Saya mengajarnya selama dua semester. Setiap
kali ada presentasi, Farhan selalu tampil percaya diri. Ia menggunakan alat
bantu pembaca layar, dan sering kali meminta izin sebelumnya untuk diskusi atau
konsultasi tambahan agar bisa menyesuaikan materi kuliah. Ia tidak pernah minta
perlakuan istimewa, hanya kesempatan yang setara.
Suatu ketika, saya menugaskan mahasiswa untuk
membuat kampanye sosial. Farhan membuat kampanye tentang pentingnya akses
informasi bagi penyandang disabilitas. Ia merekam podcast, mengundang
narasumber sesama difabel, dan menyebarkannya lewat media sosial. Kampanyenya
mendapat perhatian dari komunitas lokal dan diundang ke salah satu radio
daerah.
Bagi saya, Farhan adalah pengingat bahwa
“inklusi” bukan sekadar wacana dalam dokumen RPS. Ia membuat saya merevisi cara
mengajar, cara menilai, dan cara memandang keberagaman mahasiswa. Ia
menginspirasi saya untuk lebih peka dan terbuka terhadap pendekatan-pendekatan
baru dalam proses belajar.
3. Laila: Aktivis yang Tetap
Berprestasi
Laila adalah tipe mahasiswa yang penuh
semangat, aktif di organisasi kemahasiswaan, dan sering kali menjadi penggerak
aksi sosial. Beberapa dosen menganggapnya “terlalu sibuk” dan tidak fokus
kuliah. Tapi saya melihat sisi lain dari dirinya.
Suatu ketika, saya memintanya menjadi asisten
untuk membantu proyek pengabdian masyarakat. Meski jadwalnya padat, ia mengatur
waktunya dengan sangat baik. Di lapangan, ia menunjukkan kepemimpinan, empati,
dan keterampilan komunikasi yang luar biasa. Bahkan, ia berhasil merancang
program pelatihan untuk ibu-ibu rumah tangga di desa binaan kami agar bisa
memanfaatkan media sosial untuk menjual produk mereka.
Yang mengejutkan, IPK-nya tetap tinggi. Ketika
saya tanyakan rahasianya, ia berkata, “Kegiatan organisasi dan kuliah bukan dua
hal yang bertentangan. Justru saya belajar mengelola waktu dan mengasah
kemampuan praktis lewat kegiatan luar kelas.”
Laila mengajarkan saya bahwa definisi
“mahasiswa berprestasi” tidak selalu tentang nilai akademik semata. Ada
pembelajaran kontekstual dan kepemimpinan sosial yang juga penting—dan
sayangnya, sering luput dari perhatian sistem evaluasi kita.
4. Rudi: Menolak Menyerah
pada Stigma
Rudi berasal dari latar belakang yang mungkin
akan segera membuat orang menghakimi. Ia pernah terlibat tawuran di masa SMA,
punya catatan kelam, dan masuk kampus ini lewat jalur afirmasi. Di awal perkuliahan,
ia pendiam dan sering dianggap “bermasalah.” Beberapa dosen memandangnya
sebelah mata.
Namun, saya memilih mendekatinya dengan
pendekatan yang berbeda. Saya ajak ia berbicara secara pribadi, bertanya apa
minatnya, dan memberi kesempatan untuk mengekspresikan diri lewat proyek
kreatif. Ternyata, Rudi punya minat besar di bidang video dokumenter. Ia pernah
membuat film pendek tentang kehidupan anak jalanan di kotanya.
Saya memberinya ruang untuk membuat
tugas-tugas kuliah dalam format video, dan hasilnya sangat baik. Dalam satu
kesempatan, ia membuat video tentang kesenjangan pendidikan di daerah
terpencil, yang kemudian ditayangkan dalam festival film mahasiswa.
Rudi berubah. Ia mulai lebih percaya diri,
aktif di kelas, dan bahkan menjadi mentor bagi adik tingkatnya. Ia berkata,
“Terima kasih karena Bu percaya saya bisa. Itu yang tidak saya dapatkan dari
banyak orang.”
Rudi mengajarkan saya bahwa setiap mahasiswa
punya potensi, jika kita sebagai dosen mau sedikit lebih sabar dan memberi
kesempatan. Ia adalah bukti bahwa stigma bisa dihancurkan dengan kepercayaan.
Penutup: Dosen Juga Belajar dari Mahasiswa
Sebagai dosen, kita sering merasa berada di
posisi yang memberi—memberi ilmu, memberi nilai, memberi nasihat. Tapi dalam 10
tahun perjalanan saya, saya justru banyak menerima. Dari semangat Dina,
keberanian Farhan, kegigihan Laila, hingga kebangkitan Rudi, saya menerima
pelajaran-pelajaran berharga yang tidak pernah saya dapatkan di buku teks atau
pelatihan dosen.
Mahasiswa bukan sekadar objek pembelajaran,
tapi juga subjek yang membawa kisah, nilai, dan inspirasi. Jika kita mau
membuka diri dan melihat mereka lebih dari sekadar angka di KHS, maka kita akan
menemukan makna terdalam dari profesi ini.
Menjadi
dosen bukan hanya tentang mengajar, tapi tentang hadir dalam perjalanan hidup
orang lain—dan belajar darinya.
Ruang
Dosen mengundang Anda untuk berbagi kisah serupa: Apakah Anda pernah
terinspirasi oleh mahasiswa Anda sendiri? Tuliskan cerita Anda, karena kisah
nyata seperti ini layak untuk dikenang dan dibagikan.
Komentar
Posting Komentar