Entri yang Diunggulkan

LLDIKTI Wilayah IX Gelar Bimbingan Teknis Jabatan Fungsional Dosen untuk PTS Se-Wilayah IX

Ichsan Kasnul Faraby memberi sambutan  LLDIKTI Wilayah IX Gelar Bimbingan Teknis Jabatan Fungsional Dosen untuk PTS Se-Wilayah IX Mamuju, 9 Juli 2025 Sebagai tindak lanjut dari terbitnya Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 63/M/Kep/2025 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Dosen, LLDIKTI Wilayah IX menyelenggarakan Bimbingan Teknis (BIMTEK) selama dua hari pada tanggal 9–10 Juli 2025 , bertempat di Universitas Tomakaka, Mamuju, Sulawesi Barat . Kegiatan ini bertujuan meningkatkan pemahaman serta tertib administrasi dalam pengelolaan jabatan fungsional dosen di lingkungan perguruan tinggi swasta. Acara ini dihadiri oleh perwakilan dari 17 perguruan tinggi di bawah koordinasi LLDIKTI Wilayah IX. Sebagai bentuk komitmen dalam mendampingi pelaksanaan kegiatan, tim LLDIKTI Wilayah IX juga hadir secara langsung dan bertindak sebagai narasumber utama . Berdasarkan surat tugas Nomor 4677/LL9/KP.04.00/2025 , tiga pegawai yang ditugaskan sebagai ...

Ketika Mahasiswa Menginspirasi: Kisah Nyata dari Ruang Kelas

 

Ketika Mahasiswa Menginspirasi: Kisah Nyata dari Ruang Kelas

Dalam perjalanan menjadi dosen, sering kali kita berpikir bahwa kita adalah pihak yang mentransfer ilmu, memberi motivasi, dan membentuk masa depan mahasiswa. Namun, seiring waktu, saya justru menyadari bahwa relasi dosen dan mahasiswa tidak pernah satu arah. Banyak momen ketika saya merasa justru mahasiswalah yang menginspirasi saya. Mereka hadir tidak hanya sebagai peserta didik, tetapi juga sebagai pengingat bahwa idealisme, semangat belajar, dan kekuatan bertahan hidup tidak hanya milik orang-orang yang dianggap “berhasil.”

Tulisan ini saya buat sebagai bentuk refleksi dan penghormatan kepada mereka—mahasiswa-mahasiswa yang kisah hidupnya tidak hanya menyentuh hati, tapi juga menjadi pengingat bahwa dunia akademik bukan hanya tentang nilai, gelar, atau indeks prestasi. Ini tentang manusia, perjuangan, dan keberanian untuk terus maju meski hidup tidak selalu berpihak.

 

1. Dina: Belajar di Bawah Lampu Jalan

Saya pertama kali mengenal Dina (nama samaran) di semester awal perkuliahan. Ia duduk di barisan paling depan, selalu datang lebih awal, mencatat dengan rapi, dan aktif bertanya. Sekilas, ia terlihat seperti mahasiswa ideal—cerdas, disiplin, dan antusias. Tapi siapa sangka, di balik sosoknya yang tenang, tersimpan perjuangan luar biasa.

Suatu hari saya menemukannya duduk sendirian di pojok kampus sore hari, membuka laptop sambil mencolok charger ke colokan luar gedung. Saat saya dekati dan ajak bicara, barulah saya tahu bahwa ia tidak punya akses listrik di rumah. Ia tinggal di rumah kontrakan sederhana bersama ibunya yang bekerja sebagai buruh cuci. Untuk menghemat biaya listrik, ia belajar malam hari di bawah lampu jalan atau di kampus sampai malam.

Yang lebih menggetarkan, Dina tidak pernah meminta keringanan tugas. Ia menyelesaikan semuanya tepat waktu, bahkan sering lebih cepat. Ketika saya bertanya apa yang membuatnya terus semangat, ia menjawab, “Saya tidak ingin hidup saya berhenti di kesulitan ini. Kuliah adalah satu-satunya jalan keluar.”

Sejak saat itu, saya berhenti mengeluh soal hal-hal kecil. Jika Dina bisa bertahan dan terus berprestasi di tengah keterbatasan, saya sebagai dosen pun tidak punya alasan untuk setengah-setengah menjalankan peran saya. Ia mengajarkan saya tentang arti ketekunan yang sesungguhnya.

 

2. Farhan: Membangun Harapan dari Keterbatasan

Farhan adalah mahasiswa difabel netra yang mengambil program studi ilmu komunikasi. Banyak yang meragukan keputusannya, termasuk sebagian besar masyarakat di sekitarnya. Tapi Farhan bersikukuh bahwa keterbatasan fisik bukan penghalang untuk berkomunikasi secara efektif. Ia percaya bahwa suara dan gagasan tidak membutuhkan penglihatan.

Saya mengajarnya selama dua semester. Setiap kali ada presentasi, Farhan selalu tampil percaya diri. Ia menggunakan alat bantu pembaca layar, dan sering kali meminta izin sebelumnya untuk diskusi atau konsultasi tambahan agar bisa menyesuaikan materi kuliah. Ia tidak pernah minta perlakuan istimewa, hanya kesempatan yang setara.

Suatu ketika, saya menugaskan mahasiswa untuk membuat kampanye sosial. Farhan membuat kampanye tentang pentingnya akses informasi bagi penyandang disabilitas. Ia merekam podcast, mengundang narasumber sesama difabel, dan menyebarkannya lewat media sosial. Kampanyenya mendapat perhatian dari komunitas lokal dan diundang ke salah satu radio daerah.

Bagi saya, Farhan adalah pengingat bahwa “inklusi” bukan sekadar wacana dalam dokumen RPS. Ia membuat saya merevisi cara mengajar, cara menilai, dan cara memandang keberagaman mahasiswa. Ia menginspirasi saya untuk lebih peka dan terbuka terhadap pendekatan-pendekatan baru dalam proses belajar.

 

3. Laila: Aktivis yang Tetap Berprestasi

Laila adalah tipe mahasiswa yang penuh semangat, aktif di organisasi kemahasiswaan, dan sering kali menjadi penggerak aksi sosial. Beberapa dosen menganggapnya “terlalu sibuk” dan tidak fokus kuliah. Tapi saya melihat sisi lain dari dirinya.

Suatu ketika, saya memintanya menjadi asisten untuk membantu proyek pengabdian masyarakat. Meski jadwalnya padat, ia mengatur waktunya dengan sangat baik. Di lapangan, ia menunjukkan kepemimpinan, empati, dan keterampilan komunikasi yang luar biasa. Bahkan, ia berhasil merancang program pelatihan untuk ibu-ibu rumah tangga di desa binaan kami agar bisa memanfaatkan media sosial untuk menjual produk mereka.

Yang mengejutkan, IPK-nya tetap tinggi. Ketika saya tanyakan rahasianya, ia berkata, “Kegiatan organisasi dan kuliah bukan dua hal yang bertentangan. Justru saya belajar mengelola waktu dan mengasah kemampuan praktis lewat kegiatan luar kelas.”

Laila mengajarkan saya bahwa definisi “mahasiswa berprestasi” tidak selalu tentang nilai akademik semata. Ada pembelajaran kontekstual dan kepemimpinan sosial yang juga penting—dan sayangnya, sering luput dari perhatian sistem evaluasi kita.

 

4. Rudi: Menolak Menyerah pada Stigma

Rudi berasal dari latar belakang yang mungkin akan segera membuat orang menghakimi. Ia pernah terlibat tawuran di masa SMA, punya catatan kelam, dan masuk kampus ini lewat jalur afirmasi. Di awal perkuliahan, ia pendiam dan sering dianggap “bermasalah.” Beberapa dosen memandangnya sebelah mata.

Namun, saya memilih mendekatinya dengan pendekatan yang berbeda. Saya ajak ia berbicara secara pribadi, bertanya apa minatnya, dan memberi kesempatan untuk mengekspresikan diri lewat proyek kreatif. Ternyata, Rudi punya minat besar di bidang video dokumenter. Ia pernah membuat film pendek tentang kehidupan anak jalanan di kotanya.

Saya memberinya ruang untuk membuat tugas-tugas kuliah dalam format video, dan hasilnya sangat baik. Dalam satu kesempatan, ia membuat video tentang kesenjangan pendidikan di daerah terpencil, yang kemudian ditayangkan dalam festival film mahasiswa.

Rudi berubah. Ia mulai lebih percaya diri, aktif di kelas, dan bahkan menjadi mentor bagi adik tingkatnya. Ia berkata, “Terima kasih karena Bu percaya saya bisa. Itu yang tidak saya dapatkan dari banyak orang.”

Rudi mengajarkan saya bahwa setiap mahasiswa punya potensi, jika kita sebagai dosen mau sedikit lebih sabar dan memberi kesempatan. Ia adalah bukti bahwa stigma bisa dihancurkan dengan kepercayaan.

 

Penutup: Dosen Juga Belajar dari Mahasiswa

Sebagai dosen, kita sering merasa berada di posisi yang memberi—memberi ilmu, memberi nilai, memberi nasihat. Tapi dalam 10 tahun perjalanan saya, saya justru banyak menerima. Dari semangat Dina, keberanian Farhan, kegigihan Laila, hingga kebangkitan Rudi, saya menerima pelajaran-pelajaran berharga yang tidak pernah saya dapatkan di buku teks atau pelatihan dosen.

Mahasiswa bukan sekadar objek pembelajaran, tapi juga subjek yang membawa kisah, nilai, dan inspirasi. Jika kita mau membuka diri dan melihat mereka lebih dari sekadar angka di KHS, maka kita akan menemukan makna terdalam dari profesi ini.

Menjadi dosen bukan hanya tentang mengajar, tapi tentang hadir dalam perjalanan hidup orang lain—dan belajar darinya.

 

Ruang Dosen mengundang Anda untuk berbagi kisah serupa: Apakah Anda pernah terinspirasi oleh mahasiswa Anda sendiri? Tuliskan cerita Anda, karena kisah nyata seperti ini layak untuk dikenang dan dibagikan.

 

Komentar